Oleh: Sudirman A. Lamadike
Kebijakan penghematan anggaran yang diterapkan pemerintah di awal tahun 2025 ini telah berdampak signifikan terhadap instansi, termasuk Kementerian Agama. Salah satu langkah efisiensi yang ditempuh adalah pemangkasan perjalanan dinas hingga 50 persen. Meski langkah ini dianggap perlu guna menyeimbangkan anggaran, namun kondisi ini tak pelak menimbulkan sejumlah kecemasan ASN Kementerian Agama, yakni makin berkurangnya kesempatan menambah pendapatan yang bersumber dari kegiatan instansinya. Pada saat yang sama, tunjangan kinerja (tukin) yang diperoleh masih jauh dari yang diharapkan.
Sebagaimana maklum, pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ASN, salah satunya melalui pemberian tunjangan kinerja (tukin). Skema tukin ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalitas kinerja ASN yang sangat dibutuhkan dalam mewujudkan birokrasi yang melayani. Karena, salah satu faktor yang ditandai menjadi penyebab rendahnya kinerja pegawai adalah soal gaji dan tukin yang dirasa kurang layak.
Masalahnya, besaran tukin yang diterima ASN untuk jenis dan jenjang jabatan yang sama berbeda antar Kementerian. Sebagai misal di Kementerian Agama besaran tukin masih dikisaran 70 persen dari total yang seharusnya. Besaran tersebut masih jauh tertinggal dibanding dengan Kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian Perhubungan, yang rata-rata sudah di atas 80 persen. Bahkan ketiga Kementerian yang disebut terakhir telah mendapat persetujuan Kementerian PAN dan RB akan naik menjadi 100 pesen di tahun ini.
Ketimpangan pemberian tukin Kementerian Agama telah menimbukan pertanyaan besar di kalangan pegawai, terutama mereka yang merasa memiliki beban kerja dan tanggungjawab yang setara, bahkan dalam beberapa kasus bisa jadi lebih berat dibanding kementerian lainnya. Hal ini telah memunculkan persepsi kalau ASN Kementerian Agama kurang mendapat penghargaan yang setara secara finansial, sekaligus menganggap negara telah berlaku diskriminatif terhadap aparaturnya.
Padahal, beban kerja ASN Kementerian Agama, terutama yang bertugas di daerah terpencil seringkali lebih kompleks dan beresiko karena mengurusi berbagai layanan keagamaan, mulai dari pendidikan, pernikahan, perceraian, penerangan agama, haji, zakat, infak, sampai masalah hubungan antar umat beragama.
Nah, diakui atau tidak kesenjangan tukin itu kerapkali menjadi penghambat motivasi kerja pegawai. Sementara, pegawai pada Kementerian lain mendapat sokongan finansial yang lebih baik meskipun sama-sama bertanggungjawab atas tugas-tugas strategis negara. Apakah hal ini berarti ASN Kementerian Agama masih dipandang berbeda atau kurang prioritas jika dihadapkan dengan Kementerian lainnya?
Sangat wajar jika kondisi ini lalu memunculkan desakan dari berbagai pihak, termasuk pegawai Kementerian Agama sendiri, untuk mendapatkan tukin yang berkeadilan. Mereka berharap pemerintah dapat memperhatikan kesetaraan tukin, mengingat tugas ASN Kementerian Agama sangat penting dalam melayani masyarakat dan mewujudkan visi pemerintah.
Adanya kesetaraan tukin menjadi satu-satunya harapan pegawai Kementerian Agama guna memenuhi kebutuhannya di tengah situasi keuangan negara yang tidak menentu yang ditandai dengan adanya berbagai kebijakan penghematan dan pemotongan anggaran kementerian.
Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan pemerataan kebijakan tukin secara adil. ASN Kementerian Agama tidak seharusnya dipandang sebagai “pegawai kelas dua”, mengingat peran sentralnya dalam melayani masyarakat dan bangsa ini. Penghargaan yang setara tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan pegawai, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kinerja pelayanan publik secara keseluruhan. (*)