Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Plan Your Success”)
KALAU kita menelisik perkembangan dan pertumbuhan startup dan bisnis di Indonesia maka kita akan menemukan fakta bahwa startup dan bisnis banyak dipimpin oleh generasi milenial. Perkembangan dan pertumbuhannya pun semakin meningkat. Termasuk pemimpin di level politik atau pemerintahan di berbagai levelnya. Hal itu menjadi salah satu bukti bahwa kaum milenial bukan lagi generasi pengikut tapi generasi penentu.
Generasi milenial juga akrab disebut sebagai generasi digital. Mereka sangat dikenal dengan digital native-nya. Mereka akrab dengan berbagai akun media sosial yang mereka miliki. Mereka gandrung dengan berbagai hal yang bernyawa digital. Bahkan semua kebutuhan mereka didapatkan dari efek digitalisasi. Dampak positifnya tentu saja banyak, seperti kemudahan mendapatkan informasi, media iklan, dan hal lain yang bersifat publikasi. Termasuk membangun jejaring lintas latar belakang.
Pertanyaannya, apa yang harus dimiliki oleh seorang milenial untuk dapat bertahan di lingkungan serba digital semacam ini? Lalu, apa aktivitas sederhana yang mungkin dilakukan dalam mengisi bonus teknologi digital yang selama 10 tahun terakhir semakin menjadi-menjadi bahkan nyaris tak terprediksi? Dan masih banyak pertanyaan lain yang pada intinya agar kaum milenial semakin produktif di era digital ini.
Paling tidak ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan perlu menjadi ciri yang melekat pada diri kaum milenial dalam menghadapi hal atau bila ingin menggapai banyak manfaat pada era serba kompetitif semacam itu.
Pertama, Curiosity. Curiosity berarti rasa ingin tahu. Kaum milenial perlu membangun rasa penasaran pada sesuatu, apapun itu. Keingintahuan merupakan kunci penting dalan mendapatkan informasi yang akurat sehingga mampu memanfaatkan era digital secara produktif.
Rasa ingin tahu itu memiliki banyak manfaat. Misalnya, dengan rasa ingin tahu, akan membuat milenial terdorong untuk menggali informasi yang ingin dicari secara lebih dalam. Mereka tak cukup puas bila mendapatkan sebuah informasi dan konten tertentu dari satu sumber. Mereka bakal terusik dan tertarik untuk mendalaminya dari banyak sumber. Mereka tak cukup membaca sebuah buku atau tulisan, mereka bakal membaca buku atau tulisan lainnya.
Kedua, Collaboration. Milenial mesti gandrung mencari titik temu. Tertarik untuk bekerjasama dan berlolaborasi dengan siapapun dan apapun latar belakangnya. Milenial sudah bukan zamannya lagi untuk berkompetisi, dalam pengertian negatif: saling menepikan atau saling menegaskan. Mereka lebih gandrung untuk bekerjasama.
Mereka lebih memilih untuk berkolaborasi. Dengan bekerjasama dan berkolaborasi, mereka akan semakin solid dan kuat dalam menghadapi berbagai tantangan yang mereka hadapi. Bahkan dalam meraih apa yang mereka impikan.
Milenial tak usah tergoda untuk merespons kampanye pemasaran atau apapun yang bersifat hard selling. Hard selling adalah metode pendekatan sales yang bersifat langsung dan gamblang. Tujuannya adalah agar konsumen terdorong untuk langsung melakukan transaksi. Biasanya hard selling dilakukan secara langsung oleh salesperson, atau mungkin juga diaplikasikan melalui iklan online dan offline.
Sebaliknya, milenial malah lebih senang menjadi bagian dari pencipta karya. Lebih suka terlibat aktif atau menjadi bagian dari proses pencapaian yang dicanangkan. Karena memang secara kultural milenial lebih tertarik menciptakan produk dan terlibat dalam pengembangan produk maupun layanan tertentu.
Mereka terdorong untuk menghasilkan sebuah produktifitas daripada sekadar mencaci maki atau menghina produk kreatifitas. Mereka juga lebih suka melakukan advokasi dan pelayanan bagi masyarakat luas. Titik temu keragaman milenial adalah pada kegandrungan mereka dalam menebar kebaikan dan manfaat.
Ketiga, Critical Thinking. Milenial perlu menjaga ciri utamanya yaitu critical thingking. Ya milenial biasanya tertarik dan memiliki critical thinking, yang artinya mereka lebih kritis terhadap sesuatu. Mereka tidak mudah menerima sebuah penetahuan atau informasi baru.
Mereka lebih suka menggugat hal-hal yang bagi mereka itu mapan atau bisa juga dinilai tak relevan. Hal ini bukan karena antipati, tapi lebih kepada keinginan untuk mengetahui lebih mendalam sesuatu dan tidak mau terjebak pada narasi yang asal-asalan.
Keempat, Creation. Milenial perlu meningkatkan semangat berkreasi. Ketika milenial sudah gandrung dalam berkolaborasi maka milenial perlu tergabung dalam berbagai komunitas tertentu dengan tujuan mampu berkreasi, mewujudkan kreatifitas dan inovasinya.
Biasanya, bila milenial sudah mencapai tingkat kreativitas yang tinggi, mereka bakal mudah untuk berinovasi. Meski inovasi bukan perkara mudah, setidaknya mereka akan mencari cara membuat sesuatu yang baru atau yang lebih baik dari yang sudah ada.
Dalam konteks kekinian, media sosial seperti akun facebook yang kita miliki adalah tempat kita berlatih membangun tradisi milenial yang lebih bermanfaat dan produktif. Mungkin berbicara tentang startup, bisnis dan politik bahkan menekuni ketiganya terlalu berat, maka sebagai pemantik kita bisa menekuni hal sederhana yang sehari-hari sejatinya sehari-hari akrab dengan diri kita. Sebuah bonus lain dari kemajuan teknologi informasi yang semakin tak terbendung.
Ya, facebook yang kita miliki sejatinya bisa dimanfaatkan untuk membangun tradisi literasi, minimal baca-tulis. Selain itu ia juga bisa menjadi media dokumentasi sekaligus publikasi berbagai tulisan. Sebab ada begitu banyak orang yang membaca tulisan yang dipublikasi.
Mungkin pada awalnya jarang yang membaca, karena kualitas tulisan yang masih biasa-biasa saja. Namun bila tema dan kontennya semakin berkualitas, pembaca bakal mencari tulisan kita. Bahkan mencari buku-buku karya kita yang mungkin sebelumnya tidak mereka kenal.
Kuncinya adalah berani memulai. Ini ciri utama milenial. Bahkan menurut Owner Surya Shuttle H. Zaenal Mutaqin (Pak HZM), ketika berbincang santai dengan saya di kantornya di Jalan Evakuasi No. 16 A, Kota Cirebon-Jawa Barat pada Rabu (27/1/2021) lalu, kunci orang sukses adalah berani memulai dan yakin dengan apa yang ditekuninya, serta selalu mengaitkan semuanya kepada Allah dan mesti berdampak baik atau bermanfaat bagi kemanusiaan.
Dalam konteks tradisi baca-tulis, apa yang disampaikan oleh pengusaha muda sukses sekaligus suami Ketua DPRD Kota Cirebon Periode 2019-2024 (Affiati, A.Ma) ini sangat relevan dan layak diteladani oleh siapapun yang hendak menekuni apapun termasuk tradisi baca-tulis.
Bila menulis, tidak perlu takut bila tulisannya dikoreksi, dikritik bahkan dihina pembaca. Sebab itu adalah pemantik semangat dan pemicu motivasi. Semakin banyak tulisan yang dipublikasi maka ruang belajarnya semakin terbuka lebar. Pembaca pun bakal terinspirasi untuk menulis dan menebar manfaat melalui tulisan.
Walau baca-tulis kini menjadi salah satu tradisi yang yang digandrungi banyak kalangan, namun masih ada saja yang mengganggapnya sebagai sesuatu yang tak penting. Ini memang tergantung perspektif seseorang.
Termasuk juga pengalaman dalam menekuni tradisi yang kerap dianggap sebagai kunci ilmu pengetahuan ini. Apapun itu, faktanya, setiap hari kita pasti akrab dengan produk tulisan alias karya tulis. Sebab sehari-hari kita sudah bisa dipastikan bersentuhan dengan handphon alias HP. Setiap hari pasti kita membaca!
Dengan segala tantangan yang dimiliki, tradisi baca-tulis punya dampak besar bagi kehidupan seseorang. Sehingga menekuninya menjadi sebuah keasyikan tersendiri dan perlu ditekuni terutama oleh kaum milenial. Betul bahwa literasi bukan hanya tradisi baca dan tulis, masih banyak tradisi lain yang masuk kategori literasi; tapi dengan membangun tradisi baca-tulis yang sederhana maka itu pertanda embrio literasi sudah terbangun dalam diri seseorang. Tak terkecuali kaum milenial.
Saya sendiri, sebagai bagian dari generasi milenial, baru mulai belajar menekuni tradisi ini. Sehingga kekurangan di sana-sini masih sangat terasa. Saya menekuni ini paling tidak bisa menjadi media belajar. Saya sangat percaya dengan latihan semacam ini kelak saya semakin terdorong untuk melakoni 4C (Curiosity, Collaboration, Critical Thingking, Creation) seperti yang saya singgung di bagian awal tulisan ini.
Semoga pembaca di luar sana atau di seluruh Indonesia berkenan membimbing, menasehati dan mendoakan saya supaya sukses dalam menekuni tradisi literasi ini, ya minimal tradisi baca-tulis yang lebih produktif.
Terima kasih banyak kepada Pak HZM yang telah menerima kunjungan saya pada Rabu (27/1/2021) lalu. Walau ini tergolong pertemuan perdana, saya merasakan ada energi dan inspirasi baru. Saya semakin termotivasi untuk menggaungkan cita-cita mulia yang hendak diraih, termasuk untuk terus menebar manfaat kepada banyak orang melalui karya tulis: artikel dan buku.
Terima kasih pula karena telah bersedia memiliki dan membaca beberapa buku saya yang saya hadirkan sebagai wujud ril dari semangat tradisi literasi terutama baca-tulis yang saya tekuni beberapa tahun terakhir. Semoga suatu saat kita bisa berkolaborasi untuk menulis buku sebagai wujud nyata bahwa kita memang punya senyawa yang sama: literasi.
Sekali lagi, terima kasih Pak HZM, salah satu generasi 4C Kota Cirebon yang sukses membangun usaha dan menggapai karir yang semakin tinggi! (*)