Oleh: Ummi Nissa
(Penulis adalah Anggota Komunitas Muslimah Rindu Surga)
KORUPSI telah menggurita sejak lama. Entah apa yang ada dalam benak penguasa. Saat rakyat sengsara menanggung beban hidup yang semakin berat, budaya korupsi semakin menguat. Di tengah pandemi yang juga belum mereda penjahat berdasi ini seolah terus merajalela.
Berdasarkan data dari Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun drastis. Sebagaimana yang dilansir oleh tasikmalaya.pikiran-rakyat.com (7/2/2021), Mantan Juru Bicara (Jubir) KPK Febri Diansyah mempertanyakan mengapa Indeks Persepsi Korupsi menurun dari tahun sebelumnya.
Dalam cuitan lainnya, Febri juga menjelaskan bahwa posisi Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi saat ini menurun yaitu menempati peringkat ke 102 dari 180 negara lainnya. Dengan penurunan peringkat tersebut, Febri menyebut bahwa Komitmen Pemberantasan Korupsi Indonesia saat ini kian memburuk.
Masalah korupsi sesungguhnya adalah masalah besar yang dihadapi oleh berbagai negara. Tak terkecuali di Indonesia, budaya rasuah ini merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Hal tersebut dapat mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara dan meningkatnya kemiskinan serta ketimpangan pendapatan.
Tindakan korupsi pun telah menzalimi rakyat hingga ke level yang menyedihkan. Inilah yang menjadi alasan dibentuknya KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) pada masa reformasi. Sebuah badan independen yang khusus menangani masalah pemberantasan korupsi. Memang telah banyak kasus korupsi yang bisa dibongkar KPK, seperti mantan menteri, gubernur, bupati, wali kota, anggota dewan, dan lainnya.
Namun demikian, kesan tebang pilih tetap dirasakan, misalnya kenapa kasus besar yang merugikan negara hingga ratusan triliun tidak diungkap hingga kini. Seperti kasus BLBI dan Bank Century yang melibatkan partai berkuasa saat itu. Apalagi semenjak adanya revisi UU KPK No 19 Tahun 2019, semakin melemahkan lembaga anti rasuah ini.
Meskipun lembaga anti korupsi ini telah berdiri sejak lama, akan tetapi seolah tetap tidak memiliki nyali untuk menghentikan para koruptor yang terus menjarah harta milik rakyat. Kondisi ini tidak lain disebabkan negeri ini menganut asas demokrasi.
Pembagian kekuasaan (trias politika) yang diharapkan agar tidak terjadi kekuasaan yang absolut nyatanya hanya sekadar jargon semata. Buktinya yang terbentuk adalah penguasa oligarki untuk mengamankan kekuasaannya. Maka tidak heran jika partai yang melahirkan KPK justru merekalah yang melemahkan kinerja lembaga ini.
Maka pantas saja jika sampai saat ini budaya korupsi tidak pernah mati. Lembaga anti korupsi pun tidak punya taring untuk mengungkap kasus megaproyek yang melibatkan partai dan penguasa. Sebab dipengaruhi oleh politik kepentingan di tubuh KPK. Peristiwa politik di alam demokrasi hanya berbicara lobi-lobi jabatan, dan bagi-bagi “kue” kekuasaan yang menjadi ciri khas demokrasi.
Inilah politik transaksional yang menjadikan hubungan dijalin berdasarkan kemaslahatan semata. Kondisi inipun terjadi dalam tubuh KPK. Lembaga ini lahir dari rahim demokrasi. Keberadaanya hanya sebagai penguat penguasa oligarki yang bisa dicopot kapan saja jika sudah tidak sejalan dengan penguasa. Oleh karenanya jika ingin memberantas korupsi tidak bisa hanya mengandalkan KPK yang tidak akan bisa lepas dari pengaruh politik demokrasi.
Solusi yang tepat agar bisa memberantas korupsi seharusnya mengetahui apa yang menjadi akar penyebab korupsi ini terjadi. Sistem demokrasi kapitalis sekuler menjadi biang keladi lahirnya para koruptor. Tidak sedikit yang memangku jabatan, harus mengeluarkan biaya besar. Tak ayal hal ini menjadikan para pejabat terpilih hanya akan memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal serta balas budi pada pengusaha yang memberikan bantuan.
Dalam sistem ini peran agama pun dipinggirkan, sebab dalam sistem sekuler aturan agama dipisahkan dari kehidupan. Akibatnya materialisme menjadi dasar dalam melakukan setiap perbuatan. Materi menjadi alat pemuas kebahagiaan sehingga menghalalkan segala cara dalam meraup keuntungan.
Para pejabat penguasa dari tingkat daerah sampai pusat tidak memiliki kontrol internal dalam mengendalikan jabatan karena menihilkan nilai ketakwaan. Mengandalkan lembaga independen seperti KPK sebagai pengawas eksternal, tidak akan mampu menghilangkan kebiasaan koruptor. Masalahnya tidak jauh berbeda, pejabat di tubuh KPK pun memiliki mental yang sama. Akhirnya mengabaikan perilaku buruk ini dilakukan untuk mencari posisi aman.
Produk hukum yang dihasilkan dari sistem demokrasi sekuler berasal dari akal manusia yang terbatas. Sehingga sanksi yang diberlakukan untuk menghukum para pelaku koruptor pun tidak membawa keadilan dan efek jera. Menjadikan korupsi justru kian merajalela.
Dengan demikian solusi yang mengakar untuk memberantas budaya korupsi ini adalah kembali menjadikan agama berperan dalam mengatur kehidupan. Islam sebagai agama yang paripurna memiliki seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan seluruh problematika kehidupan manusia, termasuk memberantas korupsi. Sebab aturan Islam berasal dari Allah Swt. Zat yang Mahapencipta.
Akidah Islam menjadi dasar keyakinan individu yang melahirkan nilai-nilai ketakwaan. Setiap diri menyakini Allah Swt. sebagai Zat yang Mahapencipta sekaligus Mahapengatur. Setiap perbuatan akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Sehingga masing-masing individu memiliki kontrol dengan keimanannya untuk mengendalikan apa saja yang akan dilakukannya.
Dalam aturan Islam, untuk menjadi pejabat tidak perlu biaya mahal. Sebab jika telah terpilih pemimpin pusat maka pemimpin daerah akan dipilih oleh pusat, tanpa melibatkan pihak lain seperti pengusaha, yang akan meminta balas jasa setelah terpilihnya seorang penguasa.
Pejabat terpilih akan terlepas dari partai yang mengusungnya. Sehingga yang menjadi perhatian selanjutnya setelah terpilih, ia akan fokus pada tugas serta kewajibannya yakni mengayomi dan mengurusi urusan rakyatnya secara sungguh-sungguh.
Jika pelanggaran hukum tetap terjadi seperti korupsi, hal ini bisa diberantas dengan hukum syariat. Hukum sanksi bagi pelaku pun mampu memberikan efek pencegahan dan menjerakan. Hukum sanksi bagi koruptor adalah ta’zir artinya diserahkan kepada ijtihad kepala negara atau qadhi (hakim). Misalnya pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah cambuk dan dipenjara dalam waktu yang sangat lama. (Muahannaf Ibn Abi Syaibah)
Oleh karena itu, hanya dengan kembali kepada syariat Islamlah permasalahan korupsi terselesaikan. Syariat Islam diturunkan Allah Swt. memang untuk menyelesaikan seluruh urusan manusia.
Wallahu a’lam bishawab