Oleh: Retno Purwaningtias, S.IP
(Aktivis Muslimah, tinggal di Medan)
FENOMENA perebutan kekuasaan dalam internal partai adalah hal yang sering terjadi dalam sistem demokrasi. Karena dalam demokrasi urusan politik adalah pertarungan kekuasaan dan kepentingan golongan tertentu. Politik akan menjadi tujuan.
Dalam sistem ini, -demokrasi-tidak ada entitas sosial politik yang sangat solid, utuh dan bersatu padu. Tak akan ada kawan sejati, tak ada musuh selamanya. Perebutan kekuasaanlah yang abadi.
Sama seperti parpol lainnya. Partai Demokrat yang merupakan salah satu entitas politik seperti bangunan megah dan kokoh. Sesama kader terlihat kompak dan satu suara karena berada dalam satu kelompok partai yang sama.
Namun, ini hanya penampakan bungkus kemasannya saja dan tidak berlangsung lama. Suatu saat bisa timbul pertentangan bila terjadi perbedaan kepentingan dalam internal partai.
Hari ini Partai Demokrat yang sedang menjadi sorotan publik. Diawali dengan gelaran Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 5 Maret lalu. Terjadi dualisme kepemimpinan dalam tubuh Partai Demokrat.
KLB yang menginisiasi Moeldoko menjadi Ketum PD yang baru mendapat pertentangan dari DPP di bawah kepemimpinan Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Aksi baku hantam pun tak terelakkan hingga menyebabkan beberapa orang cedera fisik saat berseteru.
Kubu Moeldoko meyakini hasil KLB Demokrat itu akan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan kubu Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meminta pemerintah tak mengesahkan lantaran KLB itu ilegal dan tak sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga partainya. (nasional.tempo.co, 7/3/2021)
Hal semacam ini bisa terjadi dalam sistem demokrasi karena ikatan yang dibangun dan dibentuk pada kader parpol adalah ikatan golongan/kelompok.
Ikatan golongan/kelompok akan senantiasa menimbulkan perpecahan internal apabila tidak disibukkan dengan berbagai perselisihan yang datang dari luar (dari pihak eksternal partai). Sikap pragmatis akan terus menjadi watak para anggotanya. Tujuannya hanya ditujukan untuk “bagaimana caranya agar bisa berkuasa atau mempertahankan kekuasaan”.
Banyak pihak yang mengklaim kasus KLB adalah bentuk kudeta kepemimpinan. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah perampokan kekuasaan parpol. Berdalih “kebebasan berpendapat” yang menjadi salah satu pilar demokrasi, menjadikan penguasa seolah lepas tangan dan tak terlibat dalam masalah ini.
Menanggapi kisruh ini, Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin juga ikut berkomentar. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Moeldoko dan para pendukungnya telah mendapatkan restu dari penguasa. Hal ini ia sampaikan dari tindakan “diam” para jajaran Istana Kepresidenan.
Padahal, Moeldoko sendiri adalah salah satu pejabat tinggi negara yang juga bertugas di lingkungan Istana Kepresidenan. Selain itu, mengambil alih posisi kepengurusan partai yang secara resmi sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM merupakan tindakan inkonstitusional. (cnnindonesia.com, 7/3/2021)
Dalam sistem demokrasi, jangankan mengkudeta kepemimpinan partai politik, Tuhan saja pun bisa dikudeta. Kelahirannya berasal akidah sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan, pemisahan agama dari negara, dan pemisahan agama dari politik).
Setiap keputusan ditetapkan melalui suara terbanyak, bahkan bila itu melanggar perintah dan larangan Allah sebagai Sang Pengatur kehidupan sekali pun. Maka tak heran dalam sistem ini yang dicari adalah dukungan suara mayoritas, meskipun yang akan dituju adalah sesuatu yang merugikan masyarakat dan melanggar syariat.
Bila dalam demokrasi yang menjadi tujuan utama parpol adalah politik dan kekuasaan, maka, dalam sistem pemerintahan Islam tugas dan misi parpol adalah untuk menyerukan Islam agar mengimani Allah dan tunduk pada semua aturan-aturanNya secara kafah. Parpol juga berfungsi untuk menyeru pada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, baik dilakukan oleh masyarakat ataupun negara.
Ikatan hubungan para anggotanya dibangun dengan ikatan yang kuat, yaitu ikatan akidah. Ikatan akidah ini yang menjadi qiyadah fikriyah (kaidah berpikir) yang akan mengikat para anggotanya. Menjadikan hukum syara’ sebagai parameter atau standar perbuatan, bukan sikap pragmatis yang melahirkan kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Parpol dalam sistem Islam aktivitasnya ialah dakwah, menjaga sistem kehidupan Islam, memastikan hukum-hukum Allah ditegakkan. Parpol akan merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil alamin, bukan sebagai partai yang menentang kebijakan penguasa ataupun berkolaborasi dengan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya.
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104)
Marilah kita kembali pada sistem Islam. Karena Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, melainkan politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih mulia, yaitu untuk kebangkitan Islam yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Apalagi yang mau diharapkan pada selain Islam sebagai satu-satunya jalan kebangkitan hakiki bagi umat?
Wallahu a’lam Bisshowwab. (*)