Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Kalo Cinta, Nikah Aja”)
BENCANA non alam: Covid-19 sudah berjalan setahun lebih, sejak awal 2020 hingga kini. Tak sedikit diantara kita yang terpapar sakit bahkan sebagian kecilnya meninggal dunia. Sebuah kondisi yang membuat kita khawatir bahkan ada yang terkena rasa takut yang berlebihan atau paranoid. Rasa khawatir memang manusiawi, namun jangan sampai melampaui batas.
Pada masa pandemi semacam itu tak sedikit yang secara ekonomi benar-benar terdampak. Padahal kondisi ekonomi sebelum masa pandemi sudah tak menentu, kini malah semakin tak menentu. Berbagai cara pun ditempuh minimal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bukan untuk benar-benar terpenuhi, tapi minimal rasa lapar yang dialami hari ini bisa dikurangi. Sebuah ikhtiar yang sangat manusiawi.
Namun, pada kondisi demikian perasaan tidak cukup terus menghampiri. Tentu hal demikian itu sangat manusiawi. Tapi yang sangat fatal adalah manakala pada diri kita muncul perasaan atau prasangka kepada Allah bahwa Ia tidak adil, atau Ia sudah tak punya kasih sayang lagi kepada diri kita. Lalu menjadi manusia yang berputus asa dengan rahmat-Nya. Sebuah sikap yang mestinya tak perlu, karena rahmat Allah itu sangat luas, bahkan ampunan-Nya juga luas.
Allah mengingatkan kita dalam sebuah firman-Nya, “Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang”.” (QS. az-Zumar: 53)
Pada kondisi pandemi ini, baik terpapar maupun tidak, kita tetap berupaya untuk menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur. Kita tak boleh terjebak pada perasaan yang menepikan kita dari hubungan baik dengan Allah. Justru ini adalah momentum yang sangat tepat untuk semakin mengakrabkan diri dengan-Nya. Sisihkan sikap dan tingkah laku yang membuat rahmat Allah menjauh dari diri kita, lalu bersyukurlah. Percayalah, Allah pasti menambah nikmatnya untuk kita.
Allah pun sudah mengingatkan dan berjanji seperti yang Ia sampaikan dalam firman-Nya yang sangat mashur di tengah umat Islam, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”” (QS. Ibrahim: 7)
Maka bersyukurlah atas nikmat agama, akal, kesehatan, pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba, rezeki harta, keluarga, penutupan aib, tetangga yang baik, kolega yang peduli, orang yang empati dan nikmat lain yang tak terhitung.
Jangan sampai kita seperti orang yang hilang akal dan kesadaran, lalu menganggap semua yang terjadi tidak dalam jangkauan Allah. Walaupun pada masa ini kesehatan kita terampas oleh rasa sakit dan kebutuhan hari-hari kita terasa tak terpenuhi, kita tetap mesti menjaga rasa syukur kepada-Nya.
Sadarilah bahwa semua yang terjadi ada dalam jangkauan Allah. Sadarilah bahwa kita sebenarnya adalah orang yang paling kaya. Berupayalah untuk selalu qanaah dan merasa ridha dengan apa yang diberikan Allah. Bersyukur dengan apa yang kita miliki dapat membuat hidup kita lebih bermakna, berkah, serta lebih berarti. Jadikanlah keridhaan itu sebagai tameng yaitu dengan mengosongkan hati dari berbagai sangkaan buruk kepada Allah lalu membiarkan rasa syukur untuk-Nya menghiasi hati dan hidup kita.
Adalah hamba sekaligus utusan-Nya yang paling baik untuk kita teladani yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.” (HR Tirmizi). Ya, kaya pada dasarnya berawal dari hati, dari rasa syukur atas apa pun yang Allah berikan.
Bahkan dalam hadits lain dijelaskan, “Kaya (ghina’) bukanlah diukur dengan banyaknya harta atau kemewahan dunia. Namun kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, merasa cukup dengan apa yang diberikan, sesedikit apapun itu, adalah sikap yang jenial seorang hamba. Bahkan itu adalah bentuk aksi seorang hamba yang sangat kaya, termasuk pada masa pandemi ini.
Masa pandemi dengan segala dampak yang bertubi-tubi pada berbagai sektor kehidupan kita termasuk kebutuhan hidup sehari-hari (ekonomi) memang membuat kita kadang berputus asa. Merasa bahwa sudah tak ada lagi jalan yang bisa ditempuh untuk meraih apa yang ingin diraih. Merasa bahwa Allah sudah tak sayang lagi sama kita, merasa bahwa Allah tak bakal menerima taubat juga doa-doa kita. Padahal Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, juga Maha Pengampun dan Maha Kaya.
Kuncinya adalah kita harus qonaah, bersyukur, bertaubat atau beristighfar dan percaya kepada-Nya, niscaya kita bakal bertambah bahagia dan Allah menambah nikmat kepada kita apapun kondisi kita.
Sungguh, bila kita selalu berikhtiar secara maksimal, menjaga hubungan baik dengan keluarga dan siapapun, berbenah diri dan optimis dengan segala ikhtiar yang kita tempuh, maka Allah pasti memberi yang terbaik untuk kita, termasuk memberi kita hidup bahagia bersama orang-orang yang kita cinta. Bahkan pandemi ini dan dampak buruknya pasti bakal berlalu, insyaa Allah.
Semoga Allah membimbingi ikhtiar, mendengar doa dan mengabulkan harapan kita! (*)