Oleh: Adibah NF
(Komunitas Literasi Islam)
AL-QURAN telah menjelaskan bagaimana toleransi diletakan. Seperti yang terkandung dalam surat Al kafirun ayat 6, yang artinya “ Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.”
Dalam sistem demokrasi, bersikap istikamah terhadap agama dan keyakinannya, jujur dan adil itu sepertinya paling sulit dilakukan oleh umat terlebih para pemegang kebijakan. Karena saat ini semuanya hidup dalam belenggu rantai kapitalis sekuler yang sangat liberal yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang melahirkan berbagai kebebasan, termasuk kebebasan beragama, bersikap dan berpendapat.
Kebebasan beagama selalu menjadi tolok ukur berjalannya pilar demokrasi. Beragama itu seolah tidak boleh ada penghalang dan hambatan, apalagi didiskriminasi. Karena jika demikian akan dianggap sebagai penentangan terhadap prinsip negara demokrasi.
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ketika hadir dalam komunitas Baha’i serta mengucapkan selamat hari Raya Naw Ruz, dinilai merupakan bagian dari prinsip kebebasan dan toleransi.
Meskipun menuai pro dan kontra karena Baha’i dianggap merupakan salah satu aliran sesat, karena menurut Buya Gusrizal Gazahar Dt Palimo Basa, Ketua MUI Sumatera Barat (Sumbar), ditinjau dari latar belakang sejarah, esensi ajaran dan gerakan penyebaran merupakan ajaran sesat yang menodai ajaran Islam dan menjadi pintu masuk musuh-musuh Islam yang bisa merusak umat Islam.
Namun lagi-lagi menurut Menag Yaqut ucapan selamat itu sesuai dengan amanat konstitusi. Kemenag juga menegaskan bahwa kehadirannya dalam komunitas Baha’i semata-mata dalam konteks memastikan negara menjamin kehidupan warganya, tidak dilihat apa agama maupun keyakinannya. (Detik,28/7/2021).
Demikian pula menurut Staf Khusus Menteri Agama, Ishfah Abidal Aziz menyebutkan bahwa langkah Menag selama ini sudah berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, karena beliau bagian dari negara atau bagian dari tugas negara. (CNNIndonesia.com, Kamis (29/7).
Demokrasi Suburkan Moderasi
Demokrasi dalam memegang prinsip kebebasan beragama, negara akan membiarkan bahkan melindungi siapa saja yang keluar dari agamanya dan memeluk agama baru manapun. Negara tidak boleh melarang hak individu dalam beragama. Demikianlah kebebasan beragama dalam sistem demokrasi yang memberi ruang kepada siapapun bebas keluar masuk agama manapun.
Alhasil, banyaknya aliran sesat yang menjelma menjadi agama baru seperti Ahmadiyah dan Baha’i telah memurtadkan ribuan kaum muslimin, mereka rela menanggalkan akidahnya demi menjajaki agama baru atas nama kebebasan beragama. Padahal, meskipun tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, tapi Islam melarang seorang muslim meninggalkan akidah Islam.
Walaupun, Baha’i banyak ditolak negara-negara muslim di dunia. Karena penyimpangan ajarannya yang tidak mau mengakui bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah nabi terakhir dan menafikan kesempurnaan Al-Quran Al-Karim sebagai kitab suci yang sempurna. Atas nama toleransi dan propaganda moderasi, Baha’i pun seakan mendapat tempat di tengah masyarakat.
Tumbuhnya toleransi yang lahir dari pemahaman moderasi beragama mengarah kepada pluralisme yang memiliki paham bahwa semua agama benar dan baik telah menggelincirkan umat Islam kepada kemusyrikan serta menjauhkan umat dari pemahaman Islam Kaffah.
Akidah Umat Hanya Terjaga dengan Islam
Dalam menjaga akidah umat, Islam memiliki mekanisme yang sempurna dan paripurna. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap penjagaan ini. Perhatian yang tulus dan sayang terhadap umatnya dari negara dalam sistem Islam, akan meningkatkan penjagaannya semaksimal mungkin agar umatnya tidak tersentuh api neraka dan mati dalam keadaan kafir atau tergelincir dalam kemusyrikan.
Diantara penjagaan negara terhadap akidah umatnya adalah, pertama, melakukan pembinaan Islam terus menerus diajarkan dan ditanamkan sejak dini dan semua jenjang pendidikan. Kedua, negara tak akan berhenti mendakwahkan Islam melalui berbagai media, tempat-tempat ibadah, majelis- ilmu dan sarana lainnya.
Ketiga, umat senantiasa didorong untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar demi terjaganya akidah dan pemahaman umat dari kesesatan. Keempat, Islam diterapkan secara kaffah dalam sistem Khilafah baik dalam kehidupan keseharian individu, masyarakat dan negara. Sehingga, kemurnian dan keagungan Islam tetap terjaga.
Dengan keempat poin itu, kemunculan aliran-aliran sesat yang menjamur seperti saat ini tidak akan terjadi. Karena negara akan menghentikan, melarang dan menghabisi ajaran sesat itu hingga akar-akarnya. Tidak akan memberi kesempatan sedikitpun masuknya pemikiran kufur seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme dan isme lainnya hidup di negara Khilafah.
Negara dalam sistem Khilafah akan menetapkan sanksi tegas kepada siapa saja yang murtad, menistakan Islam dan ajaran serta mengakui sebagai nabi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Siapa saja yang murtad dari agamanya,bunuhlah.” (HR at-Tirmidzi).
Penjagaan negara terhadap akidah umat dan toleransi yang dianut Islam, telah diterapkan dan dipraktekan sejak masa nabi Muhammad Saw. sebagai suri tauladan terbaik di Madinah. Padahal di sana terdapat beberapa komunitas yaitu Islam, Yahudi dan orang-orang musyrik. Rasulullah Saw. tetap bergaul dengan mereka.
Diantara contoh yang menjadi kisah dalam menerapkan toleransi adalah bagaimana Rasul mengunjungi tetangganya yang sakit meskipun ia kafir. Selain itu Rasul juga melakukan muamalah dengan beberapa komunitas agama di Madinah tanpa ada gesekan dan tanpa keluar dari koridor syariat. Semuanya hidup dalam ketenangan dan kedamaian serta kerukunan.
Begitulah ketika sistem aturan Islam yang diterapkan secara sempurna dalam naungan Khilafah Islamiyah. Semua intrik yang akan menjauhkan umat dari akidahnya, begitupula upaya orang-orang kafir yang memecah persatuan umat tidak akan terjadi. Selain akidah umat akan terjaga, umat pun akan menjalani kehidupannya dengan penuh ketenangan dan keamanan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi