Oleh: Ummi Nissa
(Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga)
SAAT ini rakyat masih terhimpit kesulitan sebagai efek pandemi yang berkepanjangan. Tetapi hal ini tidak menghalangi persiapan para elit partai politik dalam menyusun berbagai langkah dan strategi jitu jelang pesta demokrasi lima tahunan. Padahal kontestasi masih tiga tahun lagi tetapi berbagai langkah politik dilakukan demi meraih kursi kekuasaan.
Koalisi dengan partai pemerintah pun menjadi pilihan Partai Amanat Nasional (PAN), salah satu partai yang selama ini dikenal kritis pada pemerintah dengan posisinya sebagai oposisi. Hal itu sebagai manuver dini dalam langkah politiknya. Menanggapi hal ini pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) ke koalisi pemerintah dianggap sebagai strategi jelang pilpres yang akan datang.
Menurutnya, berdasarkan perhitungan ambang batas minimum presidential threshold, partai oposisi tidak dapat mengajukan calon presidennya. Keberadaan PAN akan semakin memperkuat posisi pemerintah dalam mengambil kebijakan. Ia juga memprediksi bahwa PAN akan mendapat jatah kursi di kabinet. (Bisnis.com, 26/8/2021).
Langkah Partai Amanat Nasional dengan merapat bersama partai koalisi pemerintah disinyalir dapat mengamankan posisisnya agar dapat melaju ke kontestasi 2024 mendatang. Akan tetapi hal ini mengakibatkan partai oposisi semakin minim.
Minimnya partai oposisi dalam sistem demokrasi di Indonesia dinilai sebagai kelemahan. Sebagaimana dilansir dari nasional.sindonews.com (12/1/3021) Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo mengakui bahwa istilah oposisi memang tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia. Tak heran jika Partai Demokrat, PKS, dan PAN selama masa pemerintahan Jokowi terasa kurang greget. Apalagi kini setelah PAN bergabung dengan koalisi partai pemerintah maka suara partai oposisi semakin melemah.
Fenomena koalisi menjadi oposisi atau sebaliknya oposisi menjadi koalisi merupakan hal yang biasa terjadi di alam demokrasi. Sehingga muncul sebuah ungkapan ‘tak ada kawan dan lawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi’.
Politik dalam sistem demokrasi berasaskan manfaat dan kepentingan. Ketika ada peluang untuk meraih keuntungan, maka di situlah langkah akan dilakukan. Seperti halnya suara rakyat hanya dimanfaatkan saat kompetisi pemilu, karena ada kepentingan untuk mendulang suara. Selebihnya, peran dan suara rakyat diabaikan.
Sementara wakil rakyat pun sesungguhnya tidak jauh berbeda. Jika suara di parlemen dikuasai partai koalisi pemerintah, maka suara oposisi akan lemah dan tidak berguna. Sebab kebijakan diputuskan berdasarkan suara mayoritas, yakni wakil rakyat yang ada dalam koalisi pemerintah, yang pada hakikatnya adalah wakil partai bukan wakil rakyat.
Dalam sistem demokrasi tidak ada yang benar-benar berjuang demi rakyat. Buktinya saat rakyat menjerit minta haknya dipenuhi akan tetapi wakil rakyat seolah tidak mendengar aspirasi yang disampaikan. Pandemi yang masih membutuhkan penanganan ekstra dari berbagai pihak termasuk para wakil rakyat, realitasnya mereka sibuk berkoalisi demi amankan posisi untuk meraih kursi.
Politik yang terjadi saat ini merupakan politik dalam sistem demokrasi yang muncul dari pemahaman sekuler. Dimana aktivitasnya hanya dijadikan sebagai cara untuk meraih kekuasaan semata. Tidak heran jika berbicara politik hanya seputar koalisi, oposisi, dan kontestasi. Bahkan tidak segan menghalalkan berbagai cara dalam rangka meraih kursi kekuasaan.
Dalam sistem ini nilai-nilai agama pun dijauhkan. Sehingga wajar jika pada akhirnya menghantarkan pada terkikisnya nilai kemanusiaan pada diri elit politik. Rasa empati pada kondisi rakyat yang sedang sulit pun tergerus oleh hausnya kekuasaan dan jabatan. Sebab tujuan hidupnya hanya untuk menggapai kebahagiaan dunia dengan mendapatkan sebesar-besarnya nilai materi.
Partai politik hanyalah kendaraan yang digunakan demi meraih kepentingan pribadi dan golongannya. Jauh dari peran dan fungsinya sebagai wakil atau pelayan rakyat.
Oleh sebab itu semestinya kondisi ini mampu menyadarkan umat agar melek terhadap politik. Pada saat banyak elit dan partai politik yang kini tidak peduli akan penderitaan rakyat, maka rakyatlah yang harus berupaya melakukan penyadaran dengan pemahaman politik yang benar.
Pemahaman tentang politik yang benar hanya datang dari pandangan Islam. Sebab Islam adalah agama yang sempurna, bukan hanya agama yang mengatur sekelumit ibadah semata. Akan tetapi lebih jauhnya Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk mengatur urusan politik.
Politik dalam pandangan Islam adalah mengurusi urusan umat dengan aturan yang disyariatkan oleh Allah. Berbicara masalah politik bukan hanya sebatas jabatan dan kekuasaan. Oleh sebab itu umat tidak boleh alergi atau fobia terhadap politik.
Salah satu aktivitas politik adalah muhasabah (mengingatkan) penguasa dan pejabat yang zalim. Misalnya saat mereka abai terhadap kebutuhan rakyat, mengkritisi kebijakan yang bertentangan dengan aturan Islam, atau menasehati penguasa agar tetap menjalankan roda pemerintahan sesuai aturan. Dalam Islam semua aktivitas ini merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar kepada penguasa (muhasabah lil hukam).
Sebagai bagian dari umat Islam kita tidak boleh hanya berdiam diri saja terhadap kondisi yang ada. Kewajiban amar makruf nahi mungkar merupakan aktivitas yang mulia terlebih muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Rasulullah menggambarkan aktivitas ini setara dengan jihad.
“Hamzah bin Abdul Muthalib adalah penghulu syuhada, dan orang-orang yang berada di belakangnya yang menasehati penguasa zalim, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Ath-Thabarani)
Begitu pula memahami politik adalah hal yang penting dalam Islam. Ini tergambar dalam ungkapan Imam Al-Ghazali, “Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar, agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Ihya ‘Ulumuddin, 1/17)
Adapun tujuan politik dalam Islam adalah untuk menerapkan aturan Allah secara kaffah sebagai solusi yang menyeluruh terhadap seluruh permasalahan manusia. Sementara kekuasaan hanyalah jalan (metode) untuk melaksanakan seluruh urusan umat dengan aturan Islam. Oleh karenanya umat harus peduli terhadap politik. Karena mengurusi dan memelihara urusan kaum muslimin merupakan bagian dari kewajiban.
Alhasil politik demokrasi sekuler telah terbukti melahirkan elit politik dan penguasa yang mengabaikan kepentingan masyarakat luas dan lebih memilih sibuk dalam mencari peluang untuk meraih kursi kekuasaan. Hanya dalam politik Islam yang akan melahirkan para politisi dan pemimpin amanah. Mereka akan mengurusi urusan dan pemeliharaan umat berdasarkan aturan Allah. Melaksanakan peran dan fungsinya sebagai pelayan rakyat berdasarkan keimanan dan ketakwaan.
Wallahu a’lam bish shawwab
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi