Oleh: Ummu Rasyidah
(Pemerhati Masalah Sosial)
PANDEMI corona sampai saat ini tidak kunjung usai. Untuk menekan penyebaran virus, pemerintah membatasi semua kegiatan masyarakat, termasuk juga pembatasan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara daring (online). Namun masyarakat merasakan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari rumah hingga tanpa batas yang pasti, tidak berdampak baik bagi siswa dan orang tua, seperti banyak siswa depresi karena tugas yang menumpuk, belum lagi masalah jaringan internet, tidak memiliki kuota belajar bahkan hp pun tak punya.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengambil kebijakan dengan mengizinkan kegiatan sekolah tatap muka, masing-masing sekolah harus sudah mempersiapkan secara matang sarana dan prasarana sesuai protokol kesehatan. Pembelajaran Tatap Muka (PTM) bisa dilakukan terbatas, untuk Kabupaten Bandung zona kuning atau level 3 itu maksimal 50 persen kehadiran siswa dan 50 persen sekolah maksimal, tetapi akan memulai di 25 persen dulu, nanti dievaluasi baru sampai di 50 persen (PrfmNew.id 30/8/2021).
Fakta di lapangan, tidak sedikit sekolah-sekolah yang melaksanakan uji coba PTM menjadi klaster covid, padahal berbagai cara pun telah dilakukan, mulai dari seruan untuk mematuhi protokol kesehatan dengan menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dan pemberian vaksin kepada masyarakat hingga melakukan 3T, yaitu tracing, testing, dan treatment.
Berdasarkan hal tersebut, tanggung jawab pemerintah bukan sebatas memberikan izin penyelenggaraan tatap muka, seharusnya juga menjamin ketersediaan fasilitas dan pengawasan prokes di semua sekolah, dan diiringi dengan penanganan secara tuntas dan komprehensif di seluruh aspek.
Penanganan wabah yang tidak jelas dari awal menjadi penyebab pandemi ini belum berakhir. Masyarakat makin bingung atas kebijakan yang digulirkan, di satu sisi mereka harus menjaga diri dari wabah, tapi di sisi lain tuntutan kebutuhan hidup dan sekolah memaksa mereka untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan orang banyak. Negara tidak menjamin kebutuhan rakyat.
Solusi yang diberikan untuk mencegah penyebaran covid-19 kurang tepat. Seharusnya rantai penyebaran diputus atau di-lock down dengan segera. Sayangnya hal ini tidak dilakukan, kalaupun ada di sebagian daerah sudah kurang efektif karena telah didahului pergerakan atau perpindahan orang dari daerah wabah ke daerah lainnya. Maka penyebaran virus pun akhirnya makin meluas.
Demikianlah jika berpijak pada sistem rusak kapitalis. Karena faktanya pada sistem ini, negara yang seharusnya berperan sebagai pengayom umat tidak mampu mengatasi dan mencegah munculnya klaster baru penyebaran covid-19.
Kapitalisme adalah ideologi yang lebih cenderung pada azas manfaat bukan demi kepentingan rakyat. Penguasa tidak melakukan lockdown dengan alasan akan membahayakan perekonomian. Penanganan yang tidak tepat berujung pada keselamatan jiwa yang terancam, ekonomi makin terpuruk, pendidikan pun tak terselamatkan.
Tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah serius dalam menangani wabah, yakni terselamatkannya kesehatan dan jiwa semua manusia yang berada di wilayah wabah maupun di luar wilayah wabah, sehingga masyarakat bisa merasakan kenyamanan dan keamanan.
Berbeda dengan Islam. Cara penanganan wabah dalam islam yaitu dengan melakukan lockdown. Kemudian negara akan memisahkan orang yang sehat dan melakukan isolasi kepada yang sakit, agar penyebaran virus tidak meluas.
Adapun terkait biaya kesehatan, dan kebutuhan harian, negara akan memenuhinya hingga sembuh, termasuk orang-orang yang tidak bisa mencari nafkah sepanjang pandemi. Dana tersebut diambil dari pendapatan pengelolaan sumber daya alam, jizyah, kharaj, fai, dan lain-lain. Semua ini membuat negara tidak kehabisan biaya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Inilah yang dilakukan para khalifah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.”
Maka dari sini nampak jelas bahwa konsep lockdown dan bertanggung jawabnya penguasa merupakan kunci keberhasilan penyelesaian wabah. Di wilayah yang tidak terkena wabah masyarakat bisa tetap beraktifitas sebagaimana mestinya. Melakukan kegiatan ibadah, ekonomi, kegiatan PTM, dan lain-lain tanpa khawatir terpapar virus.
Jika pembelajaran tatap muka tidak memungkinkan, pendidikan bersifat fleksibel dengan syarat tujuan, dasar, dan metodenya terlaksana. Negara akan memanfaatkan teknologi dengan melakukan pembelajaran daring dengan fasilitas yang memadai.
Dengan demikian, hanya khilafah yang mampu mengatasi seluruh masalah umat, serta mampu mengatasi wabah hingga tak berakibat buruk pada aspek yang lain, terutama dunia pendidikan yang selalu mendapat perhatian lebih untuk keberlangsungan peradaban islam.
Wallahu a’lam bishawab.
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi