KESAMBI, fajarsatu – Namanya Elia, bocah berusia 9 tahun ini masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar di Kabupaten Cirebon. Yang membedakan dari siswa SD lainnya, seusai sekolah ia dengan sukarela membantu kedua orangtuanya menjual berbagai kue jajanan ke berbagai tempat.
Aktivitas ini sudah dilakoni Elia sejak kecil. Apalalagi di masa pandemi Covid-19 yang mengusik ekonomi keluarganya, ia pun semakin bersemangat untuk berjualan.
“Pulang sekolah istirahat dulu makan siang. Setelah itu berangkat berjualan,” kata Elia saat menawarkan kue jajanan olahan tangan ibunya di sekitaran Stadion Bima, Kota Cirebon, Minggu (19/9/2021).
Tangannya yang mungil diselimuti kulit sawo matang dengan telaten dan senyuman selalu mengembang di bibirnya yang mengering, melayani pembeli dengan penuh kesabaran.
Seraya melayani pesenan, Elia bercerita, “profesi” ini sudah lama dijalaninya dengan menapaki jalan terbilang cukup jauh. Setiap hari bocah yang melewati kisah indah masa kecilnya ini harus menempuh kiloan meter berkeliling membawa keranjang kecil berisi kue jajanan.
“Kalau capek kadang naik angkot, tapi kalau masih kuat ya jalan kaki,” ucapnya tanpa sorot mata kelelahan.
Elia mengaku, kue jajanan ini hasil olahan tangan ibunya. Disamping kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, ibunya membuat kue jajanan untuk dijual. Sedangkan ayahnya bekerja sebagai pengumpul barang bekas atau rongsokan dengan penghasilan tidak menentu.
Melihat kondisi orangtuanya, Elia tidak segan dan tanpa rasa malu untuk membantu kehidupan ekonomi keluarganya dengan cara berdagang kue jajanan hasil olahan ibunya.
“Saya tidak malu. Buat apa malu, yang penting kerjaan ini halal,” ucap Elia yang hampir tidak terdengar karena riuhnya kendaraan berlalu lalang.
Wajahnya kian sumringah tatkala ada pembeli lain ikut mengerumuninya. Menurutnya, hari Minggu merupakan berkah baginya. Pasalnya, Elia tidak perlu capek-capek menempuh jalan berkilo-kilo meter ditemani terik matahari.
Tidak aneh jika kulitnya pun makin legam. Tapi Elia tak memperdulikannya. Ia acuh tak acuh dengan kondisi kulitnya. Toh anak sekecil itu tidak terlalu pusing memikirkannya. Yang ada dalam pikirannya, bagaimana kue jualannya bisa cepat habis terjual agar bisa cepat pulang ke rumah untuk istirahat dan belajar.
Elia terlihat sangat senang kue jualan yang ditawarkan Rp 1.500 per buah laris manis dibeli para pengunjung Stadion Bima. “Alhamdulillah hari ini kuenya laris,” ucapnya sambil mengusap wajah.
Subhanallah, anak sekecil itu masih bisa bersyukur dengan keiklasan yang tidak dibuat-buat. Padahal dari hasil kerja kerasnya itu, ia mengaku tidak minta upah kepada ibunya. “Seluruh hasil jualannya, saya kasiin ke ibu,” ucapnya sambil tersenyum.
Tak ada penyesalan di wajahnya. Dirinya tetap semangat bahkan terlalu semangat bagi anak seusianya. Elia masih berusia 9 tahun dan masih duduk di kelas 3 SD. Sama dengan anak lainnya yang ceria ditemani orangtuanya saat menikmati pagi di Stadion Bima.
Elia adalah inspirasi bagaimana menjawab tantangan kehdupan yang semakin keras. Ia tak merasa lelah melangkahkan kakinya meski berkilo-kilo meter harus ditempuh dengan jalan kaki.
Semangatnya pun tak pernah luntur, sebab yang dia berpikir bagaimana kue jajanan hasil olahan ibunya harus cepat laku dan pulang, agar bisa istirahat dan belajar.
Esoknya, Elia harus kembali menempuh jalan, berkilo-kilo meter jalan kaki ditemani terik matahari. Kulit makin legam. Ia tidak pernah mempedulikan, yang dipedulikannya bagaimana kue jajanan hasil olahan ibunya harus cepat laku dan pulang, agar bisa istirahat dan belajar.
Begitulah hari-hari berikutnya yang harus Elia jalankan. Berputar seperti matahari yang kerap menemaninya, bukan seperti roda, sebab Elia hanya bisa berjalan kaki, tidak pakai kendaraan, sepeda sekalipun. (syamsudin kadir/irgun)