Oleh: H. Iman Budiman, S.Th. I, M.Ag
(Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat)
DALAM banyak kesempatan kita kerap mendengar ungkapan menarik dan penuh makna, “Pemuda adalah pilar kebangkitan, dan pada setiap kebangkitan pemuda adalah rahasianya.” Ungkapan ini sengaja disampaikan dan diingatkan kembali di awal agar kepercayaan dan optimisme kita pada kaum muda tetap terjaga dengan baik. Sebab ungkapan tersebut bukan sekadar kumpulan kata-kata, tapi memang ada faktanya dalam sejarah ummat manusia. Baik pada sejarah peradaban Timur dan Barat maupun sejarah bangsa kita dan berbagai negara di Asia.
Hari ini tepat 93 tahun kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Dulu, pada 28 Oktober 1928 para pemuda berkumpul dan bersumpah bahwa bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Komitmen bertanah air, berbangsa dan berbahasa adalah titik temu bersama dari para pemuda yang berasal dari berbagai daerah dan beragam latar belakang namun memiliki semangat juga tujuan yang sama.
Kini deklarasi sekaligus sumpah semacam itu masih relevan untuk kita ikrarkan kembali. Bukan saja untuk meneguhkan komitmen kolektif generasi muda, tapi juga untuk mengokohkan kedaulatan kita sebagai sebuah negara berdaulat. Diakui bahwa kaum muda adalah penentu keberlanjutan perjalanan bangsa dan negara kita ke depan. Bila kaum muda menyiapkan diri sejak dini secara matang maka hal itu akan menjadi modal penting bagi Indonesia masa depan.
Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana caranya agar kaum muda ini memiliki peranan yang cukup signifikan dalam berbangsa dan bernegara? Bila ditelisik, paling tidak ada dua sisi yang harus diupayakan, yaitu pertama, negera memberikan porsi dan kesempatan juga kepercayaan kepada kaum muda, misalnya, dalam kontestasi politik, kaum muda diberi kesempatan untuk mengikuti berbagai kontestasi politik baik pilpres maupun pilkada. Ini bermakna, kaum tua tidak perlu mencalonkan lagi untuk pilpres dan pilkada. Apalah lagi sudah kerap gagal, kaum tua mesti tahu diri sekaligus sadar diri.
Kedua, kaum muda harus lebih aktif dan kreatif. Kaum muda jangan berlama-lama menunggu instruksi dan jangan menunggu diberi. Kaum muda mesti menjadi generasi yang progresif. Kaum muda mengambil dan memanfaatkan setiap momentum. Bukan saatnya lagi kaum muda berdiam diri dan berpangku tangan di tengah situasi masyarakat yang semakin sulit. Kaum muda mesti hadir dan berada di garis terdepan dalam menghadirkan perbaikan dan perubahan.
Kepemimpinan kaum muda di setiap sektor dan level, diawali dengan keberanian kaum muda untuk tampil sebagai teman bicara dan pendengar setia berbagai keluhan masyarakat Kaum muda harus berani tampil dan membuktikan pada kaum tua sekaligus masyarakat bahwa kaum muda bisa. Untuk itu, kaum muda tidak boleh terbelenggu dan terkekang oleh apapun. Kaum muda memiliki kebebasan untuk mengekspresikan seluruh impian dan cita-citanya, termasuk kehendaknya untuk memajukan bangsa dan negara.
Dalam konteks kolaboratif, kaum muda mesti bersama-sama kaum tua untuk merumuskan dan memimpin perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Dengan kreatifitas dan inovasinya kaum muda bisa hadir sebagai kekuatan penting yang mampu mewujudkan kemajuan di berbagai sektornya. Bila sinergitas antara kaum muda dan kaum tua berjalan dengan baik maka akan tercipta sebuah tatanan bangunan masa depan yang mencerahkan.
Tapi kuncinya adalah kerelaan dan ketulusan kaum tua untuk membiarkan kaum muda tampil menjadi pemimpin publik. Semangat kaum muda jangan dipenjara dengan ungkapan-ungkapan yang terlihat wah tapi penuh racun. Misalnya, “Kaum muda bisa apa?”, “Memang kaum muda mampu?”, dan “Kaum belum berpengalaman!”. Oleh karena itu, regenerasi sebagai sebuah keniscayaan pasti berjalan secara teratur. Sehingga tidak ada lagi tidak istilah lost generation, vakum of power atau kosongnya stok kepemimpinan.
Barangkali seperti yang tersebut dalam sebuah ungkapan Mashur, “Hikmatu syuyuukh wa hamaasatu syyabaab”, bijaksananya kaum tua dan semangatnya kaum muda, akan menghadirkan kolaborasi dan terbangun sinergitas antara kaum tua yang bijaksana dan kaum muda yang memiliki semangat. Apapun itu, kita sangat berharap agar semangat sumpah pemuda tahun ini tidak hanya lomba pidato dan ucapan selamat yang heroik tapi juga melahirkan aksi nyata, sehingga menjadi spirit baru untuk melakukan perubahan.
Bila para kaum muda era dulu berikrar bahwa bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia, maka tidak ada salahnya bila pada era ini kita mengikrarkan kembali. Hanya saja, bukan sekadar berikrar, sebab yang jauh lebih penting adalah tindakan atau aksi nyatanya. Kaum muda perlu memperkuat jejaringnya sehingga semakin kokoh sebagai sebuah elemen penentu perjalanan dan masa depan bangsa juga negara.
Bila kaum muda semakin solid, kokoh dan berkontribusi maka kemajuan Indonesia bukan lagi basa-basi tapi benar-benar terjadi. Semangat dan maju terus kaum muda Indonesia! (*)