Oleh: Eni Suhaeni
(Penyunting Buku “Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi” dan Penulis Buku “Menjadi Pendidik Hebat”)
PERSATUAN Ummat Islam (PUI) merupakan organisasi yang sudah dewasa sejak diinisiasi dan dibentuk oleh para pendirinya: KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi dan Mr. R. Syamsuddin. Kedewasaan PUI bukan sekadar terpampang pada sosok pendiri dan landasan pergerakan sekaligus narasi perjuangannya tapi juga dari lakon sejarah dan sepak terjangnya dalam dinamika keumatan dan kebangsaan sejak pra kemerdekaan hingga pascakemerdekaan, bahkan hingga kini.
Hal ini perlu dipertegas agar kita sebagai bagian dari keluarga besar PUI dan negeri ini semakin menyadari bahwa keterlibatan sekaligus kebersamaan kita di PUI bukan saja untuk PUI tapi juga untuk Indonesia dan peradaban umat manusia.
Bila kita membaca jejak tiga tokoh pendiri PUI maka kita menyaksikan sebuah parade perjuangan sosok yang jenial dalam berbagai sisi. Dari moral dan intelektual, hingga ide dan narasi. Secara khusus, KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi adalah dua ideolog sekaligus narator yang sukses menghadirkan berbagai konsep dan nilai-nilai perjuangan PUI yang tertransmisikan dari konsep, prinsip dan nilai-nilai dasar Islam.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai karya tulis yang sukses mereka hadirkan dalam beragam tema. Bukan saja yang bernyawa ilmu pokok agama seperti tafsir, fiqih, akhlak dan bahasa arab, tapi juga tema-tema sosial, ekonomi, pendidikan juga kenegaraan yang bila dikaji secara serius akan ditemukan relevansinya untuk kepentingan umat dan bangsa pada era ini dan di masa depan.
Kedewasaan PUI yang ditunjukkan oleh para pendirinya bisa dilihat pada dinamika politik dan proses pembentukan negara ini di berbagai forum termasuk pada forum Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai.
Kala itu, ketiga pendiri PUI merupakan anggota BPUPKI yang tergolong aktif memberi ide atau gagasan terbaik yang mengokohkan dan mempersatukan semua elemen yang ada. Sumbangsih mereka pada BPUPKI sangat jelas yaitu mencari titik temu berbagai keragaman pemikiran di forum yang memang heterogen tersebut. Bila KH. Ahmad Sanusi sukses menjejakkan ide jumhuriyah atau republik, maka KH. Abdul Halim dan Mr. R. Syamsuddin sukses menjejakkan ide unifikasi Islam dan nasionalis. Sehingga pada akhirnya negeri ini benar-benar menjadi negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada dua peta jalan sekaligus kontribusi besar itu: konstribusi di level keumatan dan di eleval kenegaraan, para tokoh pendiri PUI sejatinya sedang membangun landasan yang sangat kokoh bagi masa depan umat dan bangsa. Tapi bila kita mendalami lagi ternyata salah satu senyawa yang membuat mereka sukses dalam berkontribusi besar pada sejarah keumatan dan kebangsaan adalah tradisi literasi.
Literasi tidak melulu tentang baca-tulis dalam makna yang sempit, tapi juga tentang simpati, kepedulian, respon dan tanggungjawab moral pada dinamika sosial atau masyarakat pada umumnya. Termasuk kepedulian mereka pada kualitas sumber daya manusia dan kemajuan bangsa. Walau demikian, tentu saja literasi dalam makna upaya yang sungguh-sungguh dan kesuksesan menghadirkan karya tulis sebagai rujukan masyarakat adalah sebuah paling ril dari lakon literatif yang membanggakan.
Para pendiri PUI adalah sosok-sosok yang haus ilmu dan giat beramal. Mereka jago berpidato di mimbar dan ruang sidang, juga pandai membimbing umat dan menata bangsa. Mereka bukan saja ulama yang tawadhu dan ikhlas, tapi juga negarawan yang hebat dan unggul. Mereka adalah teladan yang baik, misalnya, bagaimana seharusnya menjadi umat sekaligus pemimpin umat yang moderat tapi tidak memperjual-belikan keyakinan demi syahwat.
Tidak heran bila mereka dicaci maki oleh mereka yang iri dan dengki, bahkan dalam potongan waktu tertentu juga merasakan getirnya hidup di bilik penjara; tapi mereka bukan sosok yang suka sumpah serapah, murka dan dendam, sebab mereka sangat memahami betapa keyakinan pada-Nya adalah pijakan dan mahabbah atau cinta adalah syiar terbaik.
Pada momentum ulang tahun PUI yang ke-104 tahun (21 Desember 1917 21 Desember 2021), PUI perlu memperkuat tradisi literasi yang berdampak pada aksi dokumentatif atas seluruh dokumen penting, dari AD/ART, program dan kegiatan organisasi, ide dan narasi, hingga kontribusi sosial bagi kehidupan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara. Mengafirmasi hal tersebut, kali ini telah terbit buku baru seputar PUI yag ditulis oleh Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat (H. Iman Budiman, M.Ag.) Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat (Syamsudin Kadir), berjudul “Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa”.
Melalui tulisan sederhana yang diramu dalam bentuk artikel-artikel pendek, dua penulis mewarisi tradisi para tokoh pendiri yang pada hakikatnya merupakan tradisi yang diinspirasi oleh wahyu (al-Qur-an dan al-Hadits), yang kemudian dikembangkan oleh para ulama lintas zaman. Dari era sahabat, tabiin, ulama generasi salaf dan khalaf, bahkan hingga kita di zaman ini. Ya, dua penulis buku ini sedang menyemangati siapapun untuk tidak sekadar membaca teks dan memahami konteks tapi juga meramu sekaligus menuliskannya menjadi ide yang terpublikasi, tentu untuk tujuan menebar prinsip dan nilai-nilai intisab PUI sekaligus mencerahkan masyarakat luas.
Satu hal yang menarik bahwa ternyata hampir seluruh tulisan pada buku ini pernah diterbitkan di berbagai media massa terutama surat kabar atau koran, dan ada juga yang diterbitkan melalui media online termasuk website yang dikelola oleh PUI.
Menjaga keberlangsungan tradisi inilah yang perlu dijaga ke depan, terutama di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih dan tak terbendung ini. Artinya, selain menulis buku juga perlu digagas secara sistematis agar ide-ide PUI dalam banyak tema perlu ditulis dan dipublikasi melalui berbagai media yang ada, sehingga benar-benar menjadi diskursus masyarakat luas.
Dua penulis melalui buku karya sederhana namun berharga ini sedang mengingatkan kembali umat dan bangsa ini terutama keluarga besar PUI bahwa ada agenda penting yang perlu kita jaga dan giatkan kembali ke depan yaitu membaca dan mendalami pemikiran para tokoh pendiri PUI, mendiskusikan, mengelaborasi dan mempublikasi kepada masyarakat luas, sehingga PUI, para tokoh dan pemikiran tokohnya dikenal sekaligus dipahami oleh masyarakat luas.
Itulah salah satu jalan yang perlu ditempuh agar PUI semakin mudah langkahnya untuk mencapai titik tuju: menjadi organisasi masyarakat Islam terbesar dan termaju di Indonesia, termasuk di Jawa Barat sebagai tempat pertama PUI lahir dan dibesarkan. Akhirnya, mari membaca dan selamat menemukan berbagai manfaat! (*)