Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Moderasi dan Toleransi Beragama)
PADA beberapa tahun terakhir kata moderat menjadi salah satu kata yang kerap dipidatokan oleh berbagai kalangan di begiru banyak forum. Kata ini seperti kata ajaib yang dipercaya mengakhiri berbagai sikap dan tindakan radikal dan serupanya. Sebagian kalangan menyamakan kata ini dengan kata wasathiyah dalam bahasa Arab.
Selain dimaknai secara emosioanl, kata ini juga kerap digunakan untuk mengaskan kelompok yang berbeda pemahaman dan sikap keagamaan. Bahkan pada beberapa momentum kata ini dimaknai secara ngasal sebagai sikap liberal pada agama dan teks agama. Sementara kelompok yang secara konsisten menjalankan ajaran Islam dianggap sebagai kelompok yang tidak moderat (wasathiyyah).
Menurut Dr. Tiar Anwar Bachtiar (2020), istilah wasathiyah ini biasanya digunakan dengan menggunakan dasar dalil dari al-Quran surat al-Baqarah [2]: 143, Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Dalam ayat itu disebutkan wa kadzâlika jaalnâkum ummatan washatan (Dan demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang wasath). Ayat inilah, lanjut Dr. Tiar sosok Intelektual Muslim asal Persatuan Islam (Persis) ini, yang seringkali dieskploitasi tidak pada tempatnya oleh sebagian kalangan sehingga mengesankan bahwa mereka yang dicap radikal, fundamentalis, literalis, dan label-label stigmatis dan stereotyping lain yang memojokkan sebagian gerakan Islam dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kalau ditelusuri secara saksama, kata-kata washatan dalam ayat tersebut memiliki arti yang sangat tidak tepat bila digunakan sebagai cap-cap di atas.
Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qurân Raghib Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath ini berarti, Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga memungkinkannya untuk menjadi tempat menyimpan hal-hal yang berharga dan baik. Seperti kata tengah kota. Kata ini menunjukkan tempat yang paling baik dan paling berharga dari suatu kota. (Al-Tahrir wa Al-Tanwîr Jil. II hal. 17).
Sementara itu, makna wasath dalam ayat di atas terdapat beberapa penjelasan. Menurut Dr. Tiar (2020), Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi. Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari syair Arab mengenai makna ini.Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Said Al-Khudry dari Nabi bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil.
Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia (QS. Ali ‘Imrân [3]: 110).
Ketiga, wasath berarti yang paling baik. Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang baru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).
Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, Al-Sadi menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syariat, dan lainnya.
Dalam pandangan Prof. Dr Hamid Fahmy Zarkasyi (2017), wasathiyah itu identik dengan keadilan, menunjukkan kemuliaan, kebaikan, keseimbangan dunia-akhirat, tidak berlebihan tidak juga meremehkan ibadah atau perintah agama. Sehingga wasathiyah merupakan sifat dari Islam itu.
Lawan istilah wasathiyah adalah ghuluw (berlebih-lebihan atau ekstrem). Contoh praktik keagamaan yang ekstrem adalah tidak menerima ajaran Islam atau anti pada ajaran Islam. Misalnya, adanya kelompok tertentu yang anti menikah. Dalam Islam, tidak ada batasan kalau paling suci atau paling alim itu adalah tdengan idak menikah. Sebab ternyata Rasulullah shalallahu alaihi wassalam menyatakan sendiri, saya Nabi tapi saya menikah, makan, pergi ke pasar.
Ghuluw itu adalah melampaui atau melewati batas yang ditentukan agama. Misalnya, yang diharamkan malah dihalalkan. Yang dihalalkan agama malah diharamkan. Semuanya demi syahwat dan kepentingan sesaat. Contoh ghuluw dalam akidah misalnya berlebihan dalam masalah imamah, menganggap imam maksum bahkan lebih soleh dari nabi.
Maka pemaknaan terhadap kata wasatiyah yang sebagian kalangan lebih suka mengartikannya sebagai moderat mesti dibangun dari perspektif Islam. Sebab ternyata istilah moderat ini muncul dari Barat, dengan definisi sendiri, arti sendiri, dan pemahaman sendiri.
Muslim moderat menurut Barat, adalah dengan ciri-ciri Muslim yang tidak anti semith (tidak anti Yahudi), kritis terhadap Islam dan menganggap Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam tidak mulia dan tidak perlu diikuti, pro kesetaraan gender yang dimaknai secara menyimpang, menentang jihad sebagai ajaran Islam, menentang kekuasaan Islam, pro pemerintahan sekuler, pro Israel, pro kesamaan agama-agama, tidak merespons terhadap kritik-kritik kepada Islam dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam, anti pakaian Muslim, tidak suka jilbab, anti syariah dan anti terorisme. Inilah arti moderat menurut Barat. Kesimpulannya, moderat dalam pikiran Barat itu identik dengan liberal. Sehingga layak ditolak karena memang tidak sama dengan wasathiyah dalam perspektif Islam.
Umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân) yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi ummatan wasathan, umat yang sempurna dan adil agar mereka menjadi saksi bagi seluruh manusia. (Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân Jil.I hal. 70).
Dari penjelasan para ahli tafsir mengenai makna wasath dalam ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat wasath yang disematkan pada umat Muhammad shallallahu alaihi wassalam adalah sesuatu yang melekat sejak umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya. Ini merupakan karunia Allah kepada mereka.
Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah, maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha mengaitkan kata ummatan wasathan ini dengan ayat sebelumnya, yaitu yahdî man yasyâu ilâ shirâth al-mustadaqîm (Dialah yang akan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus).
Bila dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka umat terbaik, terpilih, dan moderat adalah mereka yang diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang lurus (Tafsîr Al-Manâr Jil. II hal 4). Jalan yang lurus (sirâth al-Mustadaqîm) ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Fatihah, adalah jalan tengah di antara jalan orang-orang yang dibenci dan orang-orang yang sesat.
Al-Quran telah menetapkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah adalah ajaran yang adil, terbaik, terpilih, dan moderat sehingga umat yang secara konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.
Ali Muhammad Shallaby dalam Al-Wasathiyyah fî Al-Qurân cukup ekstensif membahas aspek-aspek wasathiyyah dalam berbagai ajaran Islam. Beliau menganalisis seluruh segi ajaran Islam dan di mana letak wasathiyyah-nya dibandingkan dengan ajaran yang lain. Banyak hal yang dibahasnya, mulai dari masalah akidah sampai masalah-masalah fikih sehari-hari (tasyrî). Dengan cara seperti itu, Shallaby ingin menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang murni dan bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah adalah ajaran yang memang layak disebut wasath dengan berbagai pengertiannya.
Menurut Dr. Tiar (2020), dalam kepercayaan dan tradisi besar dunia terdapat dua ekstrim yang sama-sama berlebihan. Ekstrim pertama membolehkan laki-laki menikahi banyak wanita tanpa batas. Wanita diletakkan hanya sebagai hamba dan pemuas bagi laki-laki. Ketentuan ini dikenal dalam tradisi China Kuno, India Kuno, Persia Kuno, Yahudi, dan kepercayaan Arab Jahiliyyah.
Dalam beberapa tradisi seperti China Kuno dan India Kuno, bahkan ada kepercayaan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya harus membakar diri untuk menyatakan penghambaannya kepada laki-laki yang dinikahi. Dalam hal ini jelas sekali, posisi wanita menjadi sangat terhina. Tidak ada penghormatan sama sekali atas mereka.
Sementara itu, pada titik ekstrim yang lain akan ditemukan aturan dalam agama Kristen yang telah dipengaruhi kepercayaan Pagan masyakarat Eropa yang mengharamkan sama sekali laki-laki menikahi lebih dari satu istri. Pada titik ekstrim ini, kelihatannya ada pemihakan yang adil terhadap wanita. Akan tetapi jutsru di sinilah permasalahan bermula.
Dalam ketentuan Islam poligami dibolehkan namun bukan tanpa aturan. Ia diperbolehkan hanya maksimal dengan empat wanita. Selain itu, dipersyaratkan kepada laki-laki yang berpoligami untuk berlaku adil. Bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka laki-laki sebaiknya cukup mengambil satu istri atau budaknya.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisâ [4]: 3).
Ketentuan Islam ini adalah ketentuan yang moderat dibandingkan dengan kedua ekstrim di atas. Apabila ketentuan poligami tidak dibatasi seperti yang terjadi dalam berbagai tradisi, posisi perempuan menjadi sangat termarjinalkan dan terhinakan. Dampak sosial dari sana sungguh sangat besar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah poligami tanpa aturan yang terjadi di berbagai belahan dunia sepanjang sejarahnya. Lebih dari itu, mengambil istri dalam jumlah yang sangat banyak pasti akan membuat laki-laki tidak akan memenuhi hak-hak semua istrinya secara adil.
Sementara apabila poligami diharamkan akan banyak persoalan-persoalan mendesak yang tidak bisa diatasi kecuali dengan cara-cara poligami. Misalnya ada laki-laki yang secara fisik dan finansial mampu dan butuh terhadap poligami karena berbagai alasan. Seandainya tidak ada kelonggaran poligami, maka masalah seperti ini tidak akan terselesaikan. Sangat mungkin inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya praktik perzinahan terselubung. Fenomena pejabat yang punya istri simpanan, perselingkuhan, pelacuran, kawin kontrak, dan semisalnya adalah salah efek yang tidak bisa dihindarkan dari tidak diperbolehkannya laki-laki berpoligami.
Dalam Islam, apabila kebutuhan memang mendesak, maka poligami diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Akan tetapi, Islam amat menyadari bahwa tidak setiap laki-laki siap dan butuh istri lebih dari satu. Oleh sebab itu, dalam kasus ini, tidak ada celaan bagi mereka untuk hanya mengambil satu istri saja. Di sinilah letak keadilan dan wasathiyyah-nya ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran lain. (Al-Wasathiyyah fî Al-Qurân, hal. 512-525).
Singkatnya, bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. Semakin kita taat dan tunduk pada ajaran Allah, maka kita sebetulnya semakin moderat. Sebab, ajaran Islam itu sendiri telah membawa karakternya yang moderat sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Siapa yang mengikuti ajaran-ajaran yang moderat ini secara konsisten, maka dialah yang layak disebut sebagai ummatan washathan (umat moderat). (*)