Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa)
SEJAK Sabtu 11 April 2021, saya resmi menjadi pengurus Persatuan Ummat Islam (PUI), tepatnya DPW PUI Jawa Barat untuk periode 2021-2026. Kali ini saya mendapatkan amanah di staf Sekretaris Umum, atau bahasa krennya Wakil Sekretaris Umum. Fokus saya adalah arsip dan sejarah, yaitu mengumpulkan dokumen penting terkait dengan kerasipan dan kesejarahan PUI. Sebuah tugas penting yang terlihat sederhana tapi rumit. Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi saya untuk melakukan yang terbaik, insyaa Allah.
Selama ini, diantara hal yang saya lakukan adalah sebagai berikut: pertama, mengumpulkan seluruh buku, tulisan, dan hal serupa terkait PUI. Saya pun menghubungi beberapa penulisnya dan para tokoh yang menurut informasi suka menulis di berbagai media, dengan harapan saya mendapatkan dokumen yang cukup.
Hasilnya, ada beberapa buku yang terkumpul, baik dari penulisnya maupun dari orang lain. Bahkan dari pedagang buku di media online. Di samping mengumpulkan tulisan di media online yang membahas tentang PUI atau yang ditulis oleh tokoh PUI.
Kedua, membangun semangat literasi terutama menulis di kalangan PUI, selain semangat membaca. Hal ini memang terlihat angkuh, sebab yang saya ajak adalah para ahli, tokoh dan sesepuh PUI, di samping kalangan muda PUI seperti pemuda, mahasiswa dan sebagainya. Termasuk juga para tokoh wanita, pemudi, dan sebagainya. Intinya, siapapun yang saya kenal dan berlatar belakang PUI bakal saya ajak untuk menulis. Walaupun mereka tidak berprofesi sebagai penulis, tetap saya ajak. Sebab siapapun sejatinya bisa menulis.
Bagi saya, tradisi menulis merupakan salah satu warisan terbaik para tokoh pendiri PUI. KH. Abdul Halim adalah penulis ulung. Bukan saja menulis kitab-kitab seputar fiqih ibadah, akhlak dan pendidikan, beliau juga menulis artikel untuk berbagai media pada zamannya. Bahkan konten tulisan beliau menarik dan menjadi diskursus pada zaman itu.
Begitu juga KH. Ahmad Sanusi, beliau menulis begitu banyak kitab. Menurut informasi yang saya dengar langsung dari Dr. Munandi Saleh, Kiai Sanusi menulis ratusan judul kitab atau buku. Artinya, pendiri PUI adalah penulis sejati dan karya mereka sangat berkualitas.
Ketiga, menulis berbasis produk. Artinya, saya langsung menulis dan ada produknya. Ya, selama ini sejak dilantik sebagai pengurus, saya langsung menghadirkan tulisan yang membahas tentang PUI atau yang ada kaitannya dengan PUI. Bukan saja artikel untuk beberapa surat kabar tapi juga untuk media online. Termasuk diantaranya dipublikasi di akun Facebook dan blog pribadi saya. Selain artikel, saya juga merilis berita dan kegiatan PUI di beberapa media.
Bahkan untuk menambah semangat dan menggairahkan keluarga besar PUI dalam tulis menulis, pada momentum milad PUI ke-104 tahun 21 Desember 2021 lalu saya sukses menerbitkan buku “Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa”. Buku setebal 266 halaman ini merupakan bunga rampai artikel saya dan Kang H. Iman Budiman, M.Ag. (Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat) yang pernah dimuat di berbagai surat kabar dan media online selama setahun terakhir sejak dilantik.
Di beberapa momentum saya sengaja hadir untuk sekadar mencatat ide-ide jenial para tokoh PUI era ini. Bila ada pengajian, sambutan dan acara serupa saya sengaja hadir, baik online maupun ofline. Pekerjaan saya sederhana saja: mendengar dan mencatat. Karena itu jugalah di beberapa agenda pelantikan pengurus wilayah dan daerah saya berupaya untuk hadir, minimal secara online. Tujuannya sederhana saja, agar saya bisa mendengar langsung dan mendapatkan poin utama yang diperbincangkan atau yang disampaikan oleh para tokoh PUI di forum semacam itu.
Saya juga berupaya untuk menghadiri berbagai acara yang narasumbernya adalah tokoh PUI. Kadang saya hadir karena mendapatkan informasi di media sosial dan kadang saya hadir karena mendapatkan informasi dari narasumbernya secara langsung. Pada momentum semacam ini saya mendengar dan mencatat setiap poin penting yang disampaikan. Setelah itu, biasanya saya publikasi dengan berbagai media sebagai bukti dokumen atas ide yang bisa jadi kerap berserakan di luar sana. Bentuknya bukan saja berita tapi juga artikel lepas yang mudah dicerna pembaca.
Hampir setahun sudah berjalan, hasilnya memang menggairahkan saya. Apalah lagi, beberapa waktu lalu Bidang Humas dan Media DPW Jawa Barat, kemudian DPP juga mengadakan pelatihan khusus untuk membangun semangat menulis dan menggairahkan semangat kehumasan dan kemediaan di internal PUI, saya semakin bergairah untuk menghidupkan tradisi ini di PUI. Bukan saja di level Jawa Barat tapi juga di level nasional: Indonesia.
Tapi itu tidak cukup, sebab saya aktif mengikuti kegiatan literasi ormas Islam lainnya, bahkan beberapa kesempatan menjadi narasumber acara serupa untuk organisasi non muslim. Di situ saya menyaksikan bagaimana semangat mereka membangun tradisi menulis. Para tokoh mereka begitu aktif menulis dan mempublikasikannya di berbagai media massa dan media online, termasuk media sosial. Di situlah saya merasa cemburu dan agak emosional. Mengapa saya tidak sesemangat mereka dalam menulis, dan mengapa saya tidak seproduktif mereka dalam menghasilkan karya tulis?
Lebih jauh lagi, saya merasa seperti berbicara sendiri. Di beberapa group media sosial PUI saya menyaksikan tak ada tokoh yang men-share tulisan atau link tulisannya sendiri. Bahkan group media sosial sangat sepi, untuk tidak dikatakan mati suri. Kalau tidak percaya, silahkan cek group WhatsApp dan serupanya, silahkan cari tulisan atau link tulisan di situ. Mungkin ada, tapi sekadar informasi acara atau kegiatan, bukan tulisan yang berisi ide atau pemikiran para tokoh PUI. Bagi saya, ini sebuah kenaifan yang mesti diakhiri. Mungkin ini kelihatan angkuh, tapi beginilah cara saya. Saya orang timur (Manggarai, Flores-NTT) terbiasa bicara apa adanya dan blak-blakan.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita berharap masyarakat luas mengenal dan mau masuk PUI sementara kita sendiri tidak memiliki gairah untuk menulis tentang PUI dan mempublikasikannya di berbagai media? Sebab orang mengenal PUI diantaranya lewat media, termasuk media online yang bisa diakses kapan dan di mana pun. Kalau para sesepuh sudah tak cukup waktu karena kesibukan ini itu, lalu bagaimana dengan kalangan muda PUI seperti pemuda dan mahasiswanya, apakah dengan alasan serupa sehingga semakin enggan untuk menulis? Sampai saat ini saya belum menemukan tulisan tokoh dan generasi muda PUI dipublikasi di media nasional dan media lokal. Bahkan jarang menemukan tulisan tokoh dan generasi muda PUI di media online. Bahkan media website resmi PUI pun isinya begitu-begitu saja.
Saya pun selalu terngiang dengan sebuah pertanyaan ini: ke mana para penulis PUI? Konon katanya ini sudah era media online, era media massa atau surat kabar bahkan buku sudah berakhir. Ungkapan ini biasanya disampaikan oleh kaum milenial, ia terlihat cerdas tapi mengandung kepicikan yang nyata. Sebab faktanya, surat kabar masih laku dan buku tetap laku juga di pasaran. Selebihnya, yang menulis di online juga orang lain, bukan tulisan mereka yang malas menulis tapi rajin berkomentar itu.
Karena itu jugalah dalam beberapa kesempatan saya menyampaikan, kalau tidak menulis buku untuk penerbit dan tidak menulis artikel untuk surat kabar, minimal menulis artikel untuk media online. Kalau tidak, maka seluruh sumber atau jenis bacaan bakal dikuasai bahkan semakin dikuasai oleh orang lain!
PUI perlu banyak belajar ke ormas Islam lainnya. Mereka begitu serius membangun tradisi ini dengan berbagai kegiatan rutin. Di Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdlotul Ulama (NU) dan Hidayatullah ada gerakan literasi dan itu sangat masif. Bukan saja para tokohnya yang menulis buku, artikel dan serupanya tapi juga kaum mudanya.
Website mereka terisi terus dengan berbagai konten dan temanya beragam. Ada berita, ide atau pemikiran, opini, respon pada isu publik dan keumatan, dan sebagainya. Berbagai kegiatan dan isu bisa kita baca di media mereka. Satu hal yang menarik lagi, di situ ada iklan, yang tentu menyokong keberlangsungan media mereka.
Bagaimana dengan PUI? Itu pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab bersama-sama. Saya kira tidak cukup dijawab atau dikomentari, sebab perlu ditindaklanjuti secara nyata. Malu sekali rasanya bila ormas sebesar PUI yang telah berjasa besar dalam mendirikan negara tercinta ini tapi ide para tokohnya masih menjadi konsumsi internal PUI, atau bahkan mungkin sudah tak menjadi diskursus lagi. Para pendiri PUI adalah penulis handal, ide mereka dibaca oleh semua kalangan.
Tak ada jalan lain, PUI di semua level struktur perlu menggairahkan tradisi literasi terutama menulis. Misalnya, mengadakan pelatihan atau pertemuan rutin untuk bidang yang menjalankan fungsi humas dan media, fungsi arsip dan sejarah, para penulis, akademisi yang suka menulis dan sebagainya.
Pelatihan atau pertemuannya mesti menghasilkan produk, bukan sekadar “ngumpul”. Itu yang membuat gairah dan semangat berliterasi semakin menggeliat. Minimal dengan gairah atau semangat semacam itu membuat saya dan beberapa kolega dari ormas lain di luar sana tidak terus menerus dihantui oleh pertanyaan gila dan provokasi ini: “Ke mana para penulis PUI?”. (*)