Oleh: Retno Purwaningtias, S.IP
(Pegiat Literasi Islam)
“Kalau enggak tawuran enggak jantan, enggak eksis, nggak cool, ketinggalan zaman.”
PANDANGAN dogmatis yang keliru seperti ini telah tertanam dalam segelintir remaja di Indonesia. Tawuran menjadi tren yang mengakar di kalangan muda. Wujud tawuran itu sendiri saat ini telah bertransformasi dengan berbagai rupa.
Tidak hanya terjadi di lingkungan sekitar sekolah saja, tetapi juga terjadi di jalan-jalan umum milik warga. Tak jarang juga tawuran disertai perusakan fasilitas publik, bahkan telah menjurus pada perbuatan kriminal serius lainnya
Seperti yang terjadi di Pajak Baru, Belawan, Kota Medan pada 11 Januari lalu. Tawuran diawali oleh kelompok remaja yang saling serang dengan melempar batu, botol kaca, bahkan petasan atau mercon.
Tawuran terjadi di sekitar rumah-rumah warga. Satu rumah warga yang sehari-harinya menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) eceran terkena sasaran lemparan mercon kembang api. Dengan cepat api melahap habis rumah warga tersebut. (medan.tribunnews.com, 12/1/2022).
Di Belawan, tawuran dikenal dengan istilah “perang”. Kebiasaan buruk ini sudah menjadi budaya turun-menurun yang sulit diperbaiki. Sebenarnya, dasar persoalan perang di Belawan berakar dari minimnya kualitas hidup masyarakat Belawan.
Dari persoalan rendahnya tingkat pendidikan, masalah ekonomi, dan menumpuknya pengangguran. Masalah tawuran atau perang di Belawan terjadi bukanlah karena masalah fundamental, seperti perebutan sumber daya, wilayah, bahwa perbedaan ideologi, ataupun SARA.
Dilansir dari tribunnews.com, 28/4/2021, Sosiolog Universitas Sumatera Utara (USU), Ahmad Razali, M. Sos, menilai bahwa maraknya aksi tawuran antarwarga di Belawan karena adanya gejala frustrasi sosial dan agennya dan disfungsi struktur dan sistem sosial.
Ia juga menjelaskan bahwa tawuran atau perang yang terjadi di Belawan bersifat instrumentalia; sekadar melepaskan ketegangan, tanpa adanya nilai-nilai mendasar yang diperjuangkan atau dibela. Bahkan Ahmad Razali menyebutkan masyarakat Belawan kurang hiburan, frustrasi sosial, sehingga dilampiaskan lewat tawuran.
Sangat disayangkan. Mengingat bahwa Belawan adalah pintu gerbang perekonomian nasional bagian barat, karena di kecamatan Medan Belawan terdapat sebuah pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, nasional dan regional; Pelabuhan Belawan (sekarang Pelabuhan Bandar Deli) yang tak hanya dikenal sebagai pelabuhan ketiga terbesar di Indonesia setelah Tanjung Perak, Surabaya dan Tanjung Priok, Jakarta. Pelabuhan yang menjadi urat nadi perekonomian Sumut dan propinsi lainnya di pulau Sumatera.
Pelabuhan Bandar Deli menjadi salah sumber satu sumber devisa terbesar bagi Sumatera Utara dan pusat pergerakan perekonomian kota Medan, tetapi hal tersebut ternyata tidak otomatis mampu membangkitkan masyarakatnya dalam segala bidang, terutama bidang ekonomi. Tentu saja semua yang terjadi di Belawan bukanlah tanpa sebab. Penerapan sistem kapitalis-liberal yang menjadi dalang kemiskinan struktural di wilayah Belawan.
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan karena masyarakat tidak dapat mengakses dan menggunakan sumber daya yang sebenarnya tersedia untuk mereka. Belawan yang memiliki banyak sumber daya alam, seperti sawit, laut, perikanan, hingga infrastruktur pelabuhan yang menjadi pusat pergerakan ekonomi Belawan tidak berimbas apapun bagi masyarakatnya.
Benar saja, kemiskinan seringkali menjadi pemicu tindak kejahatan. Maka, tak heran bila Belawan dikenal sebagai wilayah dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Ditambah lagi dengan budaya perang ini, warga Belawan makin dicap anarki.
Ini adalah bukti bahwa pemerintah era kapitalis abai dalam mengurusi urusan rakyatnya. Hanya peduli pada hal-hal yang menguntungkan pusaran para elite saja, seperti proyek reklamasi, pembangunan depo-depo petikemas, dan proyek lainnya. Pemerintah di sistem kapitalis dengan akidahnya yang sekuler tidak akan pernah peduli dan bertanggung jawab mewujudkan masyarakat yang memiliki kepribadian Islam, apalagi untuk mensejahterakan rakyatnya.
Di dalam Islam, seorang penguasa bertanggung jawab untuk meriayah rakyatnya. Sebagai agama yang paripurna, Islam memiliki panduan betapa seorang pemimpin adalah rain (pengurus) bagi setiap diri rakyat yang ada di bawahnya. Ia bertanggung jawab secara penuh terhadap setiap urusan masyarakat dan akan merasa takut jika tidak mampu secara adil dan amanah dalam memberi pengurusan tersebut. Akan tampak perbedaan iklim kepemimpinan dalam sistem Islam dan sistem kapitalis-demokrasi.
Maka, untuk menyelesaikan permasalahan di Belawan, terutama soal tawuran atau perang, perlu adanya perubahan sistem secara fundamental yang mengatur tatanan masyarakatnya, menggantinya dengan sistem Islam. Islam akan mengikat masyarakatnya dengan ikatan yang kuat, yaitu ikatan akidah. Ikatan yang mampu meraih kebangkitan dalam berpikir. Dengan demikian, tidak mustahil kebiasaan buruk perang atau tawuran akan beralih pada aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Wallahualam bissawab. (*)