Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat)
PADA 16 November 2021 lalu Bidang Pendidikan DPP Persatuan Ummat Islam (PUI) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Mencari Model Potret Lulusan Pendidikan PUI dan Formulasi Implementasi Program Terpadu Pendidikan PUI” dan diselenggarakan di Narapati Hotel Bandung.
Pada kesempatan itu para pimpinan PUI dan beberapa pakar, pelaku serta pemerhati pendidikan dari kalangan PUI turut hadir sekaligus menyampaikan berbagai gagasannya untuk memajukan pendidikan di internal PUI. Sebuah forum yang sangat penting dan diharapkan menjadi embrio bagi forum-forum berikutnya untuk beragam tema.
Salah satu poin penting yang cukup menarik bagi saya yang menekuni dunia literasi selama satu dekade terakhir pada forum itu adalah tentang pentingnya membangun literasi yang disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP PUI Dr. Wido Supraha pada sesi diskusi untuk sesi kedua. Kala itu, beliau menegaskan bahwa salah satu hal yang perlu diperkuat di lembaga pendidikan ke depan adalah tersusunnya buku ajar khas PUI dan mesti merupakan karya pendidik atau paling tidak karya tokoh PUI. “Buku ajar di lembaga PUI diharapkan merupakan karya para pendidik atau tokoh PUI”, ungkapnya.
Ungkapan tersebut mungkin terlihat sepele namun justru di situlah titik urgensi sekaligus relevansinya. Bagaimana pun konsep dan kurikulum pendidikan PUI yang disusun oleh para pakar di lingkungan PUI hanya akan punya daya gedor manakala dimanifestasikan dalam bentuk buku ajar khas PUI. Para pendidik PUI mesti memiliki panggilan jiwa untuk menerjemahkan berbagai konsep dan teori pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum khas PUI dalam berbagai buku ajar dalam beragam mata pelajaran atau bidang studi atau mata kuliah.
Lebih praktis misalnya, guru PAI mesti menyusun buku pelajaran PAI, begitu juga guru untuk mata pelajaran lainnya. Dosen mata kuliah Manajemen Pendidikan mesti menulis buku tentang Manajemen Pendidikan. Kemudian dosen pengampu mata kuliah Metodologi Studi Islam mesti menulis buku Metodologi Studi Islam. Begitu juga guru mata pelajaran dan dosen mata kuliah lainnya, mesti menulis buku ajar. Buku-buku tersebut mesti mengandung nilai-nilai Intisab dan al-ishlah at-tsamaniyah (delapan prinsip perbaikan). Selain itu, perlu juga ada tim khusus yang menulis tentang nilai-nilai Intisab dan al-ishlah at-tsamaniyah yang menjadi kekhasan PUI.
Selain menulis buku ajar, para pendidik di lembaga pendidikan PUI juga mesti aktif menulis artikel untuk berbagai media massa dan media online, termasuk untuk media internal PUI yang belakangan ini masih sepi dari gagasan para pendidik juga tokoh-tokoh PUI. Ada begitu banyak isu keumatan dan kebangsaan yang perlu mendapatkan respon sekaligus menemukan jalan keluar, atau paling tidak adanya pencerahan dari para tokoh termasuk dari PUI. Atau paling tidak menulis tentang isu-isu terkait profesi dan mata pelajaran atau mata kuliah yang diampuhnya.
Pada satu sisi, hal ini dilakukan agar berbagai konten negatif dan hoax tidak mendominasi konten media yang justru membuat masyarakat terjebak di dalamnya. Di sisi lain, ini menjadi bagian dari ekspansi PUI ke berbagai kalangan masyarakat. Sebelum melakukan ekspansi kelembagaan dan struktur di berbagai wilayah dan kota atau daerah di seluruh Indonesia, maka ekspansi ide atau gagasan juga bisa menjadi pemantik awal. Hal ini bakal menjadi magnet bagi masyarakat untuk bertanya dan mendiskusikan PUI, minimal membincang pemikiran dan ide para tokohnya.
Saya termasuk yang berpandangan bahwa jika PUI ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai laboratorium utama kaderisasi maka para pendidik (guru dan dosen) di lembaga pendidikan PUI mesti memiliki panggilan jiwa pada literasi terutama baca-tulis. Para tokoh PUI dan kaum muda PUI juga mesti terpanggil untuk mengambil bagian dalam membangun tradisi literasi. Belajar dari berbagai organisasi masyarakat atau ormas Islam lainnya, atau para tokoh muslim di era pra kemerdekaan dan setelahnya, kita bisa menikmati dan menyaksikan pemikiran mereka dari karya yang mereka hadirkan terutama dalam bentuk buku.
Sekadar contoh, silahkan baca karya Mohammad Natsir. Beliau adalah pendiri Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pernah menjabat sebagai perdana menteri negeri ini. Selain dikenal sebagai politisi muslim yang sederhana dan da’i yang tulus, beliau juga dikenal sebagai penulis yang handal. Kemampuan beliau dalam menulis bisa dibaca dalam banyak karya tulis beliau dalam bentuk buku tentu saja dalam beragam tema seputar keislaman, keumatan, kenegaraan, kepemimpinan dan sebagainya. Begitu juga Buya Hamka, KH. Agus Salim, Mohammad Hatta, dan tokoh muslim lainnya, semuanya memiliki pemikiran yang jenial dan terbaca di berbagai karya mereka seperti buku.
Bahkan dua dari tiga pendiri PUI yaitu KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi adalah ulama dan negarawan yang begitu giat dalam membangun tradisi literasi terutama menulis buku dan artikel. Pemikiran mereka tentang banyak hal bisa kita baca dan kaji pada karya-karya mereka, terutama dalam bentuk kitab dan buku. Bahkan pemikiran mereka diteliti oleh para akademisi dan penekun pendidikan di berbagai perguruan tinggi. Walaupun bila dibandingkan dengan tokoh yang lain, kajian dan penelitian tentang pemikiran tokoh PUI masih tergolong sedikit. Tapi mesti diakui bahwa ketokohan mereka diikuti oleh pemikiran mereka yang relevan dengan kondisi zaman.
Rencana pembangunan tradisi literasi semacam ini tidak cukup bila hanya diperbincangkan di ruang kultural, perlu ada perbincangan serius di tataran pimpinan dan tokoh PUI di berbagai level, dari pusat hingga daerah, termasuk di berbagai lembaga pendidikan PUI. Di samping itu juga di berbagai organisasi internal PUI seperti wanita, pemuda, pemudi, pelajar dan sebagainya. Setahu saya, di beberapa Ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), DDII, Hidayatullah dan sebagainya, gerakan literasinya cukup menggeliat. Tentu hal ini terjadi setelah melalui proses panjang dan menjadi agenda kultural sekaligus struktural yang dirancang secara serius.
Ya, secara khusus dalam hal kepenulisan, para pendidik PUI mesti terbiasa menulis sehingga menghasilkan karya tulis. Selain artikel yang dipublikasi di berbagai media massa dan media online juga buku-buku ajar serta buku populer atau jenis lainnya. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya sering menyampaikan agar skripsi, tesis dan disertasi para tokoh PUI diterbitkan menjadi buku. Termasuk karya ilmiah lainnya dalam beragam tema juga diusahakan untuk dipublikasi lebih masif dalam bentuk buku. Ilmu, ide dan pemikiran para pendidik dan tokoh PUI perlu dipublikasi secara masal sehingga bisa dirujuk oleh keluarga besar PUI juga masyarakat luas.
Secara sepintas kurikulum terpadu lembaga pendidikan PUI (sekolah, madrasah, perguruan tinggi) yang menghasilkan lulusan unggul tidak punya korelasi dengan tradisi literasi terutama kepenulisan. Namun bila kita mengkajinya secara serius dan detail maka kita bakal menemukan korelasinya. Bahkan tradisi ini bisa menjadi tolak dan alat ukur berhasil atau tidaknya kurikulum terpadu yang sedang diujicoba di lembaga pendidikan PUI. Karya tulis merupakan media yang sangat perlu dan punya dampak pada proses transformasi nilai dan pemahaman ke-PUI-an, di samping itu tentu saja nilai-nilai luhur lainnya, serta keteladanan sekaligus keterampilan lain yang bisa diadaptasi oleh para peserta didik di berbagai lembaga pendidikan PUI. (*)