Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Lubang Politik)
SAYA warga Kota Cirebon, tepatnya Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon-Jawa Barat. Namun kedua anak saya, Azka Syakira dan Bukhari Muhtadin menempuh pendidikan dasar atau Sekolah Dasar (SD) di salah satu sekolah di Kabupaten Cirebon, tepatnya di perumahan Arum Sari, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon-Jawa Barat. Sehingga hampir setiap hari bisa dipastikan melewati ruas jalan utama yang membelah kompleks perumahan Arum Sari yang dihuni ribuan warga ini.
Diakui bahwa beberapa bulan terakhir berbagai tempat di Indonesia diguyur hujan, termasuk Kabupaten Cirebon. Curah hujan beberapa waktu belakangan ini pun cukup tinggi. Sehingga bukan saja menghambat aktivitas warga di luar rumah tapi juga menimbulkan banjir di beberapa titik. Sehingga sampah berbau busuk pun menumpuk di berbagai sudut terutama selokan air. Bahkan pada saat tertentu cuaca dan kondisi semacam ini menimbulkan berbagai penyakit yang mengkhawatirkan seperti batuk, flu dan sebagainya.
Pemandangan yang membuat saya resah dan gelisah adalah tumpukan sampah busuk sekitaran jalan dan luapan air banjir yang membanjiri sekitar 100 meter jalan, serta satu atau dua titik utama yang digenangi air di kompleks ini. Namun demikian, pemandangan seperti ini serasa terjadi begitu saja. Beberapa kali saya sengaja datang ke tempat ini hanya untuk membersihkan sampah yang menumpuk, termasuk membersihkan selokan air yang meluap. Benar-benar terpanggil untuk melakukan sesuatu. Cuma apa daya, saya bukan siapa-siapa.
Belakangan, ada warga yang sedang lewat dan meminta saya agar menggunakan bambu, sehingga sampah yang menumpuk di selokan bisa dikondisikan. Keesokan harinya, warga lain yang sedang lewat juga menyampaikan hal serupa yang intinya agar selokan dan sampahnya dibersihkan. Untuk hari pertama dan kedua saya masih meng-iya-kan sembari bertanya dalam hati, “Kalian kok meminta saya, saya kan warga Kota Cirebon, bukan warga Kabupaten Cirebon?” dan “Mengapa kalian cuma bisa menonton dan menyuruh saya yang warga Kota Cirebon sedangkan kalian tak melakukan apa-apa?”
Ya, saya benar-benar agak dibikin kesal. Apalah lagi pada beberapa hari berikutnya, tumpukan sampah semakin banyak dan luapan air semakin menjadi-jadi. Bahkan sampah berbau busuk sudah menyebar ke jalan raya sembari ditemani air banjir yang juga kotor. Namun saya tak berhenti di situ. Beberapa hari belakangan ini, termasuk hari ini Kamis 24 Februari 2022 saya pun kembali membersihkan sampah yang menghalangi air mengalir di selokan. Tak lama memang, namun paling tidak bisa mengurangi tensi banjir yang sudah mulai merusak bangunan jalan.
Pemandangan semacam ini benar-benar membuat saya tergoda untuk bertanya: apa biangnya? Sebab kondisi semacam ini pasti ada biangnya, tidak terjadi begitu saja. Setelah saya telisik, ternyata sampah busuk yang menumpuk berasal dari sampah yang terbawa air hujan. Entah dari mana sumber sampah busuk itu berasal.
Satu hal yang naif dan memalukan adalah di situ ada pampers berisi kotoran, celana dalam berisi darah, ayam busuk, daging busuk, dan berbagai hal yang kalau disebut malah terkesan jorok dan memalukan. Tingkah membuang sampah sembarangan termasuk ke selokan tentu sangat jauh dari nilai-nilai luhur agama dan Pancasila.
Beberapa waktu lalu sudah ada beberapa pengguna jalan yang jatuh dari kendaraan atau motor. Bukan sekadar jatuh, tapi jatuh “bonyok” dan luka berdarah. Selain karena sampah yang menumpuk dan air yang melebar ke jalan, juga karena jalan sudah mulai berlubang. Naifnya, para pejabat kerap melewati jalan ini, namun tak peduli. Mungkin hari dan otak mereka juga ikut tumpul. Bagi warga yang berasal dari Kuningan menuju Cirebon atau sebaliknya yang melewati jalan ini sangat mungkin mengalami kecelakaan. Terutama bagi mereka yang belum sering melewati jalan ini, kalau tidak hati-hati bakal menjadi korban berikutnya dari sampah busuk, air banjir dan lubang jalan.
Namun sampah adalah sampah, air adalah air dan lubang jalan adalah lubang jalan. Semuanya tergantung tingkah dan kepedulian manusia, terutama warga sekitar dan pemerintah setempat. Hal lain, kebiasaan membuang sampah di selokan air merupakan salah satu biang yang membuat selokan tersumbat. Ini bermakna, mereka yang terbiasa membuang sampah sembarangan termasuk di selokan air di pinggir jalan raya perlu sadar diri. Jangan sampai warga di tempat lain atau yang disiplin membuang sampah pada tempatnya malah menjadi korban gegara tingkah tak pantas semacam itu.
Pemerintah daerah Kabupaten Cirebon juga perlu memfungsikan dinas terkait agar memfasilitasi warga hingga memiliki tempat pembuangan sampah akhir (TPA) yang layak. Selain itu, pihak kecamatan dan pemerintah desa perlu memastikan kondisi daerahnya bersih dan tidak terpapar sampah busuk dan air membanjiri jalan raya.
Pemerintah di level atas (Pemerintah daerah dan pemerintah desa) memastikan pemerintah di level bawahnya seperti RT/RW untuk melayani masyarakat, termasuk untuk menyadarkan mereka agar membangun hidup bersih dan peduli lingkungan. Politisi terpilih yang kerap berbusa sekaligus obral janji politik di musim pesta politik pun mestinya peduli, bukan sekadar menonton dan buang muka!
Warga sekitar juga perlu meningkatkan saldo kepeduliannya pada lingkungan. Termasuk warga yang berada ada di selokan di dataran lebih tinggi. Bila sampah menumpuk dan air membanjir di jalan, mestinya peduli dan langsung bergerak alias turun tangan. Jangan menanti siapa yang memulai, jangan menunggu berbagai penyakit muncul baru bergerak.
Bagi seorang muslim yang aktif menunaikan shalat lima waktu di masjid tidak bermakna apa-apa manakala setiap saat menyaksikan kondisi ini namun membiarkannya begitu saja. Atau kalau semuanya berdiam diri dan tak peduli, apakah baru tersadarkan setelah nanti ada korban jiwa alias meninggal gegara jatuh di jalan atau terpapar penyakit yang berasal dari tumpukan sampah dan air banjir semacam itu? (*)