Oleh: Syamsudin Kadir
(Penggiat Forum Penulis PUI)
PENDIDIKAN merupakan proses pembentukan karakter, kepribadian dan pengetahuan bagi peserta didik yang dilakukan oleh pendidik. Selama ini kita kerap memahami bahwa penanggungjawab pendidikan anak-anak kita adalah guru dan dosen. Secara administrasi dan fungsional berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen memang demikian. Namun pada UU tersebut juga ditegaskan perihal peranan lembaga pendidikan non formal dan informal.
Keluarga merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal. Pada lembaga ini kedua orangtua merupakan penanggungjawab utama pendidikan anak. Anak tidak saja mendapatkan pendidikan pengetahuan tapi juga pendidikan akhlak atau adab, keteladanan, kepedulian, kejujuran dan sebagainya. Bahkan dalam perspektif agama, kedua orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Mendidik anaknya bukan saja keharusan moral tapi menjadi kewajiban hidupnya. Sehingga pertanggungjawabnya pun di dunia sekaligus di akhirat kelak.
Dengan demikian, hadirnya lembaga pendidikan formal seperti sekolah, tidak menghilangkan kewajiban kedua orangtua untuk mendidik anaknya di rumah agar menjadi generasi yang beriman dan bertaqwa. Keberadaan sekolah, misalnya, hanya membantu melengkapi proses pendidikan di rumah. Itu pun keberadaan anak di sekolah hanya beberapa jam, tidak lama. Tapi di rumah, anak hidup sehari-hari dalam waktu yang lama. Dan, di situlah anak mendapatkan pendidikan yang semestinya, bukan malah mendapatkan contoh-contoh yang buruk.
Para guru yang melaksanakan tugas sebagai pendidik di sekolah hanya melaksanakan tugas dalam rentan waktu pendek. Bila di sekolah anak mendapatkan pendidikan kedisiplinan, ketekunan, kejujuran, kesabaran, kesyukuran dan tanggungjawab, maka orangtua di rumah juga mesti memastikan pendidikan semacam itu berjalan dengan baik. Bila di sekolah anak mendapatkan keteladanan yang baik maka di rumah juga mereka mesti mendapatkan keteladanan dari kedua orangtuanya. Bukan sebaliknya, malah membatalkan seluruh nilai-nilai pendidikan di sekolah.
Saya berpengalaman mengajar di beberapa lembaga pendidikan formal, di situ saya menemukan fakta betapa orangtua masih terjebak penyakit “sekolahisme” yaitu paham yang mengatakan bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan dan bertanggungjawab pada proses pendidikan anak. Paham semacam ini sangat fatal dan berbahaya, sebab membuat orangtua menjadikan lembaga pendidikan formal sebagai faktor penentu. Padahal orangtualah yang bertanggungjawab bahkan di akhirat kelak mereka yang akan dimintai pertanggungjawabannya.
Dengan begitu, dalam banyak kesempatan, baik ketika menjadi narasumber berbagai seminar dan diskusi publik serta narasumber di TV dan Radio, saya selalu menyampaikan betapa besar jasa para guru yang telah membantu para orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Berapapun nominal SPP yang dibayarkan oleh orangtua peserta didik pada sekolah, hal itu selamanya tak akan sebanding dengan jasa mereka dalam mendidik anak bangsa dari sejak kecil hingga dewasa bahkan sebagian hingga tua. Anak-anak tidak sekadar menjadi bisa membaca dan menulis, tapi semakin memahami bahwa kehidupan dunia adalah tempat belajar agar semakin beriman dan bertakwa kepada Allah.
Karena itu, saya sangat risih manakala masih ada orangtua peserta didik yang begitu mudah menghina, melecehkan dan mencaci maki para guru. Selain menampilkan tingkah yang buruk, hal semacam itu juga bakal menghilangkan keberkahan dalam mencari ilmu bagi anaknya. Hubungan batin antar guru dan anak pun menjadi terganggu atau renggang. Sebab guru juga manusia, mereka pasti merasa direndahkan oleh tingkah orangtua semacam itu. Padahal orangtua mesti menyampaikan terima kasih pada para guru atas jasanya selama ini. Bahkan minta maaf bila selama ini masih meremehkan guru dan belum mampu melaksanakan amanah sebagai orangtua bagi anak-anaknya.
Dengan begitu, para guru tak boleh dihina dan direndahkan martabatnya karena keterbatasan mereka dalam mengajar atau mendidik, misalnya. Apalagi menuduh mereka mengajar atau mendidik karena orientasi gaji yang mereka peroleh selama ini. Itu benar-benar tindakan zolim dan norak! Apalagi merendahkan guru di media sosial karena urusan yang tak ada hubungannya dengan proses pendidikan, itu benar-benar tindakan tidak terpuji. Bila kewajiban mendidik anak sendiri di rumah gagal, mestinya orangtua tidak menjadi penghalang bagi anak untuk mendapatkan pendidikan termasuk bagaimana menjaga hubungan baik antar anak dan gurunya.
Dalam beberapa forum saya sering menyampaikan, “Anda mendidik anak Anda dua atau tiga orang di rumah saja, Anda sudah cape, lelah dan kadang marah. Bagaimana Anda bisa merendahkan guru yang mendidik anak-anak Anda di sekolah dengan jumlah puluhan orang dalam sekelas? Saya yakin Anda tidak bakal mampu. Apalagi Anda orangtua yang tidak paham dunia pendidikan, Anda bakal gigit jari. Kalau tidak percaya, silakan ajar atau didik anak Anda tanpa guru. Biarkan Anda sendiri yang mengajar atau mendidik anak Anda untuk berbagai mata pelajaran sebagaimana di sekolah”.
Ya, sebagai orangtua kita perlu melakukan evaluasi atas peran kita selama ini dalam mendidik anak kita sendiri. Bila perlu, silahkan evaluasi sendiri apa hasil dari pendidikan yang kita lakukan di rumah dan seperti apa dampaknya kepada anak kita? Apakah ada perubahan karakter atau akhlak ke arah yang lebih baik, apakah ada penambahan ilmu pengetahuan dan apakah ada nilai-nilai positif yang mereka peroleh? Bila tidak, bisa jadi anak kita tidak mendapatkan keteladanan yang baik di rumahnya. Misalnya, anak dipaksa untuk shalat dan mengaji tapi orangtuanya malas shalat dan enggan mengaji. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Ingat, mengajar apalah lagi mendidik peserta didik yang beragam potensi dalam satu ruangan tak semudah seperti yang kita bayangkan. Sekadar contoh, dalam sebuah ruangan kelas guru mengajar puluhan siswa beragam potensi dan selera belajar. Orangtuanya punya keinginan yang juga beragam. Itu sangat repot dan butuh persiapan yang tak sedikit. Mereka, para guru itu sangat berjasa kepada anak kita. Mereka telah mendidik anak kita tentang banyak hal. Bukan saja pengetahuan seputar mata pelajaran tapi juga cara pandang dan cita-cita hidupnya. Sementara kita sebagai orangtua sibuk dengan karir ini itu. Itu memang baik, namun tidak boleh meremehkan kewajiban untuk mendidik anak kita sendiri.
Sekarang, tengoklah dan berbenahlah. Menjadi orangtua siswa itu butuh sikap dewasa, bijak dan melek pertanggungjawaban. Tidak sekadar menagih peran para guru, lalu memilih angkat tangan, atau bahkan malah melecehkan guru. Ya, jangan sesekali melecehkan mereka atau para guru itu, sebab itu sama saja dengan mendidik anak agar melecehkan gurunya. Silahkan jadi teladan kebaikan bagi anak di rumah dan pastikan anak dididik agar berakhlak baik dan menghormati gurunya. Selebihnya, sampaikan terima kasih sekaligus mohon maaf kepada para guru yang telah memilih jalan mulia ini: menjadi pengajar atau pendidik yang baik bagi anak-anak kita, generasi umat dan bangsa. (*)