Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat)
MASYARAKAT dunia baru saja masuk awal tahun 2020, seketika muncul dan menyebarlah virus mematikan: Covid-19. Virus ini berawal dan pertama kali ditemukan di Wuhan, China, lalu menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia. Secara khusus Indonesia mengalami bencana non-alam ini pertama kali sejak Maret 2020, seperti yang diumumkan oleh pemerintah pada 2 Maret 2020 silam.
Proses penularan virus yang begitu cepat menyebabkan banyak orang yang terpapar bahkan kehilangan nyawa. Dalam skala kecil, virus ini menjadi tantangan tersendiri bagi setiap individu umat manusia dan keluarga. Lalu dalam skala besar, ia menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat, bangsa dan negara lintas sektor seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, sosial, hingga stabilitas nasional dan dinamika global.
Menghadapi bencana semacam ini perlu kerjasama semua pihak lintas latar belakang seperti pemerintah, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan berbagai lembaga atau organisasi lainnya. Secara khusus, perguruan tinggi perlu melakukan berbagai langkah intelektual sebagai wujud pelaksanaan tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam rangka itu, Universitas Halim Sanusi (UHS) Persatuan Ummat Islam (PUI) Bandung, pada Sabtu 12 Maret 2022 lalu menyelenggarakan Konferensi Nasional bertema “Akselerasi Pemulihan Sektor Kehidupan Masyarakat Pasca Pandemi”.
Acara yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting ini menghadirkan Dr. Mohamad Najib (Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Australia) sebagai Keynote Speaker, dan narasumber ahli lintas sektor seperti Prof. Yassierli, M.T., Ph.D. (Guru Besar Teknik Industri ITB), Prof. Dr. Ir. Hamim, M.Si. (Guru Besar FMIPA IPB), Dr. dr. Gaga Irawan, M.Gizi., SpGK. (Dosen Fakultas Kedokteran Unpad), dan Dr. Cukup Mulyana, M.S. (Ketua LPMP UHS PUI Bandung), serta turut hadir Ir. Setiadi Yazid, Ph.D. selaku Rektor UHS PUI Bandung dan pimpinan universitas lintas fakultas.
Bila kita menelisik lebih jauh, pandemi yang dialami oleh dunia saat ini bukanlah sesuatu yang baru. Pada 1918 silam, misalnya, dunia pernah ditimpa bencana pandemi: Flu Spanyol, yang menewaskan sekitar 50 juta jiwa orang. Namun demikian, munculnya Covid-19 kali ini menjadi momok baru yang mengagetkan seluruh umat manusia di dunia. Ia pun memberi dampak serius dalam seluruh aspek kehidupan seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, ekonomi, keuangan, sosial dan sebagainya.
Secara umum, pandemi telah berdampak dan melahirkan perubahan dalam banyak sisi, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dan penyikapan produktif seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Pertama, perlunya sikap adaptif pada perubahan. Menurut Dr. Mohamad Najib, dengan segala dampak yang ditimbulkannya, pandemi telah menjadi akselarator berbagai kehidupan masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Kita melihat digitalisasi berbagai sektor terjadi begitu geliat dan menjadi fenomena baru yang membuat masyarakat dunia semakin interaktif dengan seluruh umat manusia lintas latar belakang dan tempat.
Perangkat dan infrastruktur teknologi pada dasarnya sudah ada sebelum masa pandemi, namun pada saat pandemi perangkat dan infrastruktur tersebut semakin fungsional dan bisa dimanfaatkan dalam banyak hal. Walau begitu, pada kondisi demikian tak semua orang bisa berubah atau mengikuti trendnya. Untuk itu, perlu adanya penyikapan yang lebih dewasa, akseleratif dan adaptif yang diimbangi dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan kualitas informasi.
Kedua, perlunya hidup produktif dalam mempercepat dan mengadaptasi perubahan. Peradaban umat manusia sejatinya selalu menghadapi perubahan, tanpa atau ada pandemi sekalipun. Peradaban umat manusia selalu berubah, dari masyarakat berburu, masyarakat bertani, masyarakat industri, masyarakat informasi hingga saat ini menjadi masyarakat 5,0. Apalah lagi pada masa pandemi seperti ini, tentu manusia akrab dengan berbagai perubahan dengan teknologi informasi dan komunikasinya yang semakin maju. Bukan saja pada cara hidup dan kerja, tapi juga dalam membangun koneksi lintas sektor dan latar belakang, bahkan membangun peradaban kemanusiaan.
Ketiga, perlunya langkah akseleratif dan aplikatif semua pihak. Perubahan membutuhkan akselerasi yang masif, sebab bila pandemi dan dampak negatifnya dibiarkan begitu saja maka ia akan menghadirkan stagnasi sosial dan nasional bahkan global. Karena itu, perlu ada langkah konkret untuk memutus mata rantai penghambat terjadinya perubahan.
Selain (1) perlunya penyadaran tentang perlunya perubahan, yang perlu dilakukan lagi adalah (2) membangun pemahaman yang sama perihal pentingnya perubahan dan cara pandang yang solutif atas berbagai perubahan dan bencana, termasuk (3) melibatkan banyak elemen dalam melakukan akselerasi radikal di semua sektor, (4) penguatan pencerdasan dan pencerahan publik yang dilakukan secara masif, dan (5) membangun motivasi dan optimisme kolektif untuk menghadirkan perubahan dan beradaptasi dengannya.
Hal lain, kita harus optimis bahwa pandemi bisa dilalui dan masa pandemi pasti berlalu. Secara afirmatif, para narasumber yang hadir pada acara ini menjelaskan, kita perlu melakukan beberapa hal, (1) parenting individu, keluarga dan masyarakat dalam hal pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi keuangan, dan sektor lainnya. (3) penguatan jejaring dan kerjasama dalam menjalankan kerja dan bantuan sosial. (3) pemenuhan kebutuhan masyarakat yang terdampak langsung. (4) penguatan kerjasama dan komunikasi lintas lembaga dalam menyusun dan menjalankan kebijakan publik. (5) penyadaran kolektif akan kemungkinan munculnya masalah baru (selain pandemi: Covid-19) di masa depan. (6) penguatan sektor ril seperti UMKM dan spiritual-mental sebagai basis kebutuhan utama masyarakat.
Lalu, mungkinkah umat manusia di seluruh dunia khususnya negara kita Indonesia mampu menghadirkan agenda pemulihan yang produktif saat dan pasca pandemi nanti? Menurut Rhenald Kasali dalam bukunya “Disruption” (2017) dan “Shifting” (2019), kunci menghadapi perubahan cepat adalah kolaborasi. Kemampuan ini menciptakan pilihan-pilihan baru untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Hal ini bermakna bahwa sejatinya pemulihan pasca pandemi sangat mungkin dilakukan dan menghasilkan capaian yang lebih maksimal, tentu dengan syarat adanya kerjasama dan kolaborasi semua elemen.
Apa yang dilakukan oleh UHS PUI Bandung kemarin layak diapresiasi, sehingga perguruan tinggi semakin aktif mencerdaskan publik dan tidak terjerembab dalam apa yang disinggung oleh Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Experetise”, Matinya Kepakaran (2018). Hal ini juga bisa menjadi pemicu optimisme dan penopang kinerja pemerintah dalam menghadirkan berbagai kebijakan ril untuk memulihkan dampak pandemi di berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara Indonesia.
Bila kerjasama dan kolaborasi pemerintah dan berbagai elemen termasuk perguruan tinggi berjalan dengan baik maka kita sangat optimis bahwa pemulihan atas dampak pandemi lintas sektor di negeri ini mampu dilakukan secara efektif dan sukses menggapai hasil yang lebih maksimal. (*)