CIREBON – Menjelang Pemilu 2024, sedikitnya ada 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota bakal habis masa jabatan, sementara pemilihan kepala daerah (pilkada) baru akan digelar serentak pada November 2024 mendatang.
Untuk mengisi kursi kepala daerah definitif yang kosong akan diisi sementara penjabat (Pj) kepala daerah sesuai Pasal 201 Ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Menurut Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pemilihan penjabat gubernur berdasrkan UU merupakan hak prerogatif presiden, sedangkan PJ untuk bupati dan wali kota didelegasikan kepada Mendagri.
Tito pun menegaskan, usulan penjabat kepala daerah telah diatur sesuai mekanisme undang-undang dan asas profesionalitas.
Ia menjelaskan, alasan pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2016 yaitu Pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun yang sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).
Lanjut Tito, berdasarkan UU tersebut ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat. Penjabat yang dimaksud, untuk tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk bupati/wali kota penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Ilmu Hukum IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. DR. H. Sugianto, SH, MH mengatakan, Mendagri Tito Karnavian diminta selektif dalam menempatkan seseorang khusus bagi TNI aktif sebagai penjabat gubernur, bupati, wali kota.
“Sebaiknya tidak dipaksakan untuk menduduki posisi jabatan politik sebagai penjabat kepala daerah,” kata Sugianto kepada fajarsatu.com, Kamis (26/5/2022).
Ia menerangkan, dalam UU 34 Tahun 2004 Pasal 47 menyebutkan, prajurit aktip hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
“Dalam Ayat 2 UU 34 Tahun 2004 Pasal 47 menyebutkan, prajurit aktif dapat menduduki pada kantor yang membidangi Polhukam, BIN, Sekmil press, Wantanas RI, Lemhanas dan Wantanas,” sebut Sugianto.
Dengan merujud pada pasal tersebut, tambahnya, sudah sangat jelas tidak semestinya diperdebatkan, artinya regulasinya harus ditaati oleh pemerintah.
“Untuk prajurit TNI yang sudah mendapat penugasan sebagai penjabat kepala Daerah seperti gubernur, bupati atau walik kota sebagai jabatan politis, sebaiknya diminta Mendagri dapat mengusulkan jabatan asal alias tidak rangkap jabatan, karena sebagai kepala daerah juga sebagai Ketua Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda).
Dikatakan Sugianto, dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah sudah tegas dan jelas serta hal tersebut diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak semestinya dilanggar oleh pengambil kebijakan.
Posisi penjabat dari unsur sipil, kata dia, harus menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama untuk daerah kabupatan/kota dan sebaliknya untuk posisi penjabat gubernur harus menduduki JPT Madya (Golongan IV C ke atas) .
“Termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa saja PNS Birokrat IV C dan ASN dosen guru besar (IV D) untuk gubernur, sedangkan untuk penjabat bupati/wali kota sebaiknya bisa golongan IV B ke atas,” pungkas Sugianto. (irgun)