Oleh: Sutan Aji Nugraha
(Penulis adalah Pengamat Politik, Tinggal di Cirebon)
DALAM era Soeharto maupun pada era reformasi saat ini, yang mana semua pihak menginginkan perbaikan ekonomi, politik yang berdasarkan pada stabilitas nasional. Stabilitas nasional yang mengakar pada kebutuhan masyarakat yang terpenuhi dalam sektor hukum, pendidikan, kesejahteraan dan keamanan publik yang terjamin dalam segala aktivitas sosial kemasyarakatan, tentunya tidak menjadi utopis karena sudah digariskan maksud-maksud tersebut yang tersirat dan tersurat dalam UUD 1945.
Karena kurangnya kepemimpinan dari Pimpinan Negara baik itu yang memiliki peranan pada legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Itu terjadi bukan hanya dalam lingkup nasional melainkan banyak daerah-daerah kota maupun terpencil melakukan aksi-aksi untuk menyampaikan ketidaksamarataan dalam bidang kesejahteraan. Dan hari ini ingin dibuktikan oleh pemerintahan Joko Widodo bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, ya dengan menyamaratakan harga bahan bakar minyak dari Sabang hingga Merauke.
Materialisme
Kemiskinan di Indonesia selama ini terjebak ke dalam dua pendekatan yang berjalan secara terpisah: (1) Pendekatan secara birokratik/akedemik-statistik berusaha membuat ”peta kemiskinan” yang dilakukan dengan program-program yang akan direalisir dengan Undang-undang maupun program “pengentasan kemiskinan”. (2) Pendekatan mobilisasi massa kelompok miskin/ketidaksamarataan yang berusaha membuat “tekanan” kepada legislatif dan birokrasi pemerintah yang saling berkaitan sebagai “perancang dan pelaksana” untuk melakukan apa yang sepatutnya dilakukan.
Sebagai dua titik ujung dari spektrum permasalahan, tertulis dan tercatat dalam pendekatan yang menggabungkannya, dengan variatif gaya tentunya,
Prabowo Subianto telah menjadi fenomena politik di Indonesia, tentunya bukan saat dia selalu menjadi Calon Presiden RI, melainkan sedari ia muda telah bergelut dengan kontroversi, pro dan kontra silih berdatangan serta berganti. Mengapa? Menurut almarhum Gus Dur bahwa seseorang yang mengabdi begitu ikhlas untuk negara yaitu Prabowo Subianto. Dapat kita baca jauh dan mendalam akan hal tersebut.
Dialektika
Keduanya tercatat tidak efektif, sebab kalau tidak maka kondisi kemiskinan di perkotaan Indonesia tentunya mengalami perbaikan. Kelemahan pokok dari pendekatan yang berjalan selama ini adalah: Kepentingan rakyat miskin tidak secara sungguh-sungguh terwakilkan dan menjadi agenda politik dari semua partai politik, serta dijalankan dalam roda pemerintahan dan kehidupan sosial-ekonomi di masyarakat. Yang ada hanyalah program!
Pemerintah (termasuk lembaga keuangan internasional yang mensponsori program dan proyeknya) sibuk dengan birokrasi proyek dan menjaga ”akumulasi”. Apapun bentuk kompetisi itu, hasilnya selalu sama: “Akumulasi! Akumulasi! itulah nabi-nabinya!” Sedangkan para pekerja adalah korbannya. Jadi apa yang perlu dilakukan? Jawabannya ada pada sistem sosialis yang sejati, yang berarti pekerja sendiri yang harus mengontrol proses produksi, dan memproduksi untuk kebutuhan manusia, bukan untuk kebutuhan kompetisi. Situasi ini sering dijadikan bulan-bulanan kritik dan lontaran amarah dari kelompok LSM dan kalangan politik yang ber-“oposisi.” Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx.
Sejak memberanikan diri Prabowo tampil dalam bursa pencapresan Indonesia disaat Gus Dur sudah kembali kepada Sang Pencipta. Sebagian besar fakta sejarah membuktikan bahwa Prabowo Subianto telah banyak melahirkan tokoh-tokoh sekaligus pemimpin masa depan republik ini, dan itu mesti kita akui bersama. Seorang “produser” sekaligus “sutradara” dirasa tak perlu menjadi “pemain” namun ini politik, bukan seperti jalannya scenario panggung sandiwara dalam memainkan ritme serta alur cerita. Kenapa demikian? Dikarenakan semua memiliki “goal” masing-masing dalam kesejahteraan dan demokratisasi.
Histori
Sejarah terus berulang, ya dengan kasus yang berbeda tentunya sesuai perkembangan zaman. Mendekati 2024, materialisme dan dialektika akan tetap dan terus bermunculan dengan narasi-narasi akal pikiran masing-masing partai politik. Momentum merupakan syarat politik, seperti halnya Anies Baswedan sudah dideklarasikan oleh Partai NasDem (Nasional Demokrat) sebagai bakal calon presiden 2024. Safari-safari politik pun kian gencar dilakukan, baik oleh partai yang sibuk marketingkan calon presidennya maupun hanya ikut euphoria. Maka saya sebut ini fenomena, ya Anies Baswedan. Mengapa? Silahkan mencari tahu sendiri siapa dirinya dari berbagai sumber.
Ini semua dilatar-belakangi oleh mentalitas feodal yang masih kental melekat dalam budaya masyarakat kita (baca: Indonesia). Budaya feodal ini tidak hanya menjadi nilai yang dipercaya dan diyakini oleh para bos baru dan orbit penguasa lama yang sekarang bergabung dalam satu jajaran (meskipun terkadang mereka berseteru dan bersaing, hanya demi kapital). Itu terbukti tidak ada pemahaman daripada struktur dan organisasi parpol yang tidak memiliki ideologi dalam menentukan bagaimana cara serta praktek-praktek perjuangan rakyat pada saat duduk di pemerintahan, baik eksekutif maupun di legislatif.
Distribusi semacam inilah yang akan selalu datang sebelum perhelatan pesta demokrasi 5 (tahunan). Black campaigne seperti berita bohong/hoax bahkan cenderung fitnah telah diproduksi massal melalui teknologi, terlebih dengan adanya sosial media maka bisa dipastikan makin maraknya civil journalism, klaim kebenaran absolut. Teringat dengan perkataan Vladimir Lenin: “Jika kita sampaikan berita kebohongan secara terus menerus maka bisa dipastikan itu akan menjadi sebuah kebenaran”. Kewajiban kita sebagai masyarakat politik intelektual haruslah memiliki keberpihakan untuk peradaban bangsa ini, tentunya dengan melawan segala bentuk hoax, fitnah dan kriminalisasi politik. Salah satunya yang dilakukan oleh Rektor Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI), Prof. DR Ir. Sufmi Dasco Ahmad, SH., MH.
Indonesia telah banyak memilih karena banyak pilihan yang “benar” tanpa ada kajian yang “benar” serta cocok dengan iklim budaya Indonesia. Jadi pada hakikatnya bangsa Indonesia telah mengarah pada sistem kapitalis kontemporer untuk kesejahteraan rakyatnya baik langsung ataupun tidak langsung, Dapatkah itu terjadi untuk kesejahteraan rakyat secara berkesinambungan? Tentunya, dengan banyaknya para ahli di bidang ketatanegaraan yang memiliki peranan mulia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia sekarang dan tetap terjaga demi masa yang akan datang. Jaga falsafah bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. (*)