Oleh: Sutan Aji Nugraha
Penulis adalah Pengamat Politik, Tinggal di Cirebon
PILPRES dan pileg serentak 2019 telah menghasilkan beberapa tokoh parlementer yang terverifikasi rakyat Indonesia, dimulai dari pemilihan daerah kota/kabupaten, provinsi hingga pusat. Setiap partai politik yang mendapatkan hak sebagai suara mayoritas, parpol menengah hingga baru yang tidak memiliki keterwakilan legislatif. Memproduksi mobilitas masyarakat dalam sukma kebangsaan, teranglah bahwa tanpa suatu politik kebudayaan yang positif, pengerahan mental yang diperlukan tidak akan dapat tercapai. Filsafat sejarah ialah bidang sejarah yang memang terkenal sebagai bidang yang paling sering dan paling banyak dijelajahi dalam teknologi seperti sekarang ini. Agustinus, Hegel, Marx, Engels, Spengler, Croce, bukanlah ahli sejarah, meskipun nyatalah bekas-bekas pemikiran mereka atas perkembangan sejarah dan pengertian mereka mengenai sejarah.
Agitasi dan propaganda mereka dijadikan landasan berpikir kaum politik dalam mendirikan sebuah alat perjuangan rakyat, ya partai politik yang mana dalam perjalanannya masih sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh sumber rujukan itu sendiri. Cara-cara kita memandang sejarah pada umumnya dan sejarah Indonesia khususnya, cara-cara penyelidikan sejarah dilaksanakan dan suasana yang meliputi penyelidikan itu, cara-cara penyebarannya kepada umum serta cara-cara penyerahan sejarah itu kepada angkata-angkatan muda bangsa Indonesia, semuanya itu langsung turut menentukan pencetakan alam pikiran dan jiwa manusia.
Saya menulis ini berdasarkan kesadaran mengenai hubungan yang tidak dapat diretakan antara idam-idaman ke-akan-an, hari depan kita, dengan kekinian, waktu sekarang dan kelampauan, yaitu sejarah kita. Artikel yang sekarang akan saya tuliskan ialah gambaran pertanggung jawaban mengenai penghadapan seorang intelektual yang bukan ahli sejarah dengan masalah sejarah Indonesia.
Siapa Gerangan Kita?
Semuanya ini telah menimbulkan kegelisahan, yang sekarang tampaknya hampir mencapai puncaknya sepertinya dijelaskan diatas. Maka lebih mendesak lagi pertanyaan yang sekarang kita hadapi” “Siapa gerangan kita ini sebagai bangsa Indonesia yang belum lama berselang, masih merasakan dirinya sebagai satu bangsa dan yang sekarang nampaknya terpecah-belah, tak kenal-mengenal lago. Pedoman manakah yang harus kita ikuti dalam menghadapi semua persoalan yang baru ini dengan tidak kehilangan pribadi, identitas kita sendiri sebagai bangsa?”
“Apakah yang mengikat kita menjadi suatu bangsa dan bagaimana kita harus mengerti dan menempatkan perbedaan dan pertentangan di antara kita sekarang? Bagaimanakah sampai terjadi perpecahan dan krisis yang seolah-olah menguasai kehidupan kita sekarang ini, dimanakah akar-akarnya, apa obatnya?”
“Apakah kita sekarang terhanyut oleh suatu arus perkembangan sejarah yang tak terbendung lagi? Jikalau demikian, dimanakah kita sekarang, dan ke mana kita hendak bawa. Jika tidak, dapatkah jalannya perkembangan ini dikuasai, dan ke arah mana harus kita membelokkannya?”
Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu dapat ditujukan kepada sejarah, sudah menandai suatu kejadian yang sangat penting di kehidupan bangsa kita. Yaitu penerobosan alam pikiran-hayat bersejarah (historich levengevoel) dalam suasana hidup yang tidak bersejarah, yang a-historis, yang sebagian besar masyarakat masih memiliki bekas-bekas kejadian politik dan masih terasa sangat dekat padahal itu semua sudah menjadi bagian sejarah. Susunan hidup a-historis ini sangat berhubungan dengan masyarakat agraris feodal yang statis.
Kita Saat ini
Tahun politik sudah sepatutnya kita mempertanyakan ulang apabila suatu bangsa telah mengalami regress sosial sebagai sebuah bangsa yang pada zamannya dikenal sebagai bangsa yang luar biasa. Dari pertanyaan serta penghadapan tentang dirinya sendiri itu diharapkan kekuatan dan pegangan untuk menghadapi persoalan-persoalan baru yang timbul dari situasi yang baru itu akan mendorong tingkat kecerdasan bangsa itu sendiri.
Maka tidak mengherankan, apabila pertanyaan mengenai pribadi kita sebgai masyarakat politik senantiasa melintasi pandangan mata kita dalam penghadapan dengan soal-soal yang bergandengan dengan mempertahankan kemerdekaan dan dengan masa perubahan yang kita alami seperti sekarang ini.
Sosialisme yang dimaksud Tjokroaminoto bukan hanya pemikiran yang dicetuskan di Eropa semata, melainkan bersandar kepada agama (Islam) dan wajib dilakukan oleh umatnya selama itu merupakan perintah Tuhan. Meskipun mengagumi pemikiran Marx atau Engels, tapi ia menegaskan bahwa sosialisme ala Islam tidak sepenuhnya persis seperti itu.
Prinsip sosialisme, menurut Tjokroaminoto, merupakan salah satu kunci kejayaan pemerintahan Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad. Ia membagi sosialisme-Islam menjadi tiga anasir, yaitu kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), serta persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang bisa menyatukan umat Islam. Kunci dari itu semua adalah loyalitas, ya kesetiaan.
Nyatalah sekarang kita sebagai bangsa, tidak sama penangkapan, penghargaan serta reaksi kita, baik secara emosional maupun secara zakelijk. Malahan reaksi itu seringkali bertentangan. Kesatuan bangsa seolah-olah terpecah menjadi bagian-bagian tersendiri, yang satu lepas dari yang lain, kadang-kadang menurut garis kesukuan, menurut garis pusat dan daerah, menurut agama dan sekularisme, menurut garis tradisi dan perubahan, dan sudah barang tentu juga menurut ideologi politik. Samahalnya tanpa kesetiaan semua akan dikalikan 0 (nol), artinya sama juga bohong. Kecerdasan, keberanian, ketangkasan, kepopuleran serta militansi seorang kader akan terasa kosong bilamana tak ada nilai kesetiaan dalam cita-cita politiknya.
Saya menyadari betul sebagai penulis melihat dan mengejawantahkan Ketua Harian yang sekaligus merangkap sebagai pemenangan partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad (SDA). Dia begitu detail menerangkan seperti apa pentingnya loyalitas bagi seorang kader bahkan kita semua sebagai sebuah bangsa, kesetiaan pada Pancasila tentunya. Penilaian kunci bagi setiap manusia adalah loyalitas. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa saya menyadur kepada salah satu elite Gerindra? Ya kita semua tahu bahwa Prabowo Subianto merupakan calon presiden selama beberapa kali yang berujung gagal dalam demokrasi electoral dan akhirnya berperan bersama kompetitornya di Pilpres 2019 silam. Bukti kenegarawanan yang jauh memandang dari sebuah organisasi dan politik semata.
SDA adalah salah seorang yang setia menemani Jenderal yang dikatakan oleh Gus Dur merupakan seorang yang ikhlas bagi bangsa dan negaranya, yaitu Prabowo Subianto. Jika kita telisik lebih dalam, kita mampu mengidentifikasi mana yang memang mendukung dan memilihnya. Pendukung belum tentu memilih, begitupun bisa sebaliknya sehingga semua akan dikalikan 0 (NOL) apabila unsur utama (kesetiaan/loyalitas) tak ada, itu berarti sama juga bohong.
Akhirnya kita semua dihadapkan untuk senantiasa bergerak dalam pemikiran yang membentang luas dan berhadapan dengan masalah-masalah besar. Tulisan ini bukanlah pada usaha membangun sistem pemikiran atau mengadakan pembaruan bahkan penerobosan disiplin ilmu melainkan kesungguhan menghadapi persoalan dengan kerja nyata bagi bangsa dan negara Indonesia. Dimana ada persoalan hebat, disitu ada tanggung jawab luar biasa yang harus kita atasi secara demokratis. Dan setia pada Pancasila. NKRI harga mati! (*)