Oleh: Yulianty Dewi
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Terbuka
DEWASA ini, sangat marak dalam pemberitaan baik media online maupun
offline mengenai kasus perundungan atau bullying di tengah masyarakat. Seperti dilansir dari voi.id bahwa dalam 7 bulan terakhir terdapat 16 kasus bullying terjadi di sekolah dan terbanyak di SD. Adapun pelaku perundungan didominasi oleh peserta didik yaitu sejumlah 87 peserta didik 92,5 persen, sisanya dilakukan oleh pendidik, yaitu sebanyak 5 pendidik 5,3 persen, 1 orang tua peserta didik 1,1 persen, dan 1 Kepala Madrasah 1,1 persen. Artinya, korban terbesar adalah peserta didik yaitu 95,4 persen dengan pelaku perundungan terbanyak juga peserta didik, yaitu 92,5 persen.
Bullying berdampak sangat buruk bagi psikologis korban dan juga bagi orang lainyang menjadi saksi bullying tersebut. Yang sangat meresahkan dan menyita perhatian publik adalah ketika pelaku bullying tersebut adalah anak-anak yang masih dibawah umur. Dimana dalam hal ini anak dibawah umur tidak dapat langsung dihakimi atas tindakan bullying tersebut. Karena anak dibawah umur sejatinya masih dalam bimbingan orang tua.
Anak pada usia ini belum cukup matang untuk memilah mana saja hal-hal yang dilarang dan sangat merugikan baik pelaku maupun korban bullying
itu sendiri serta belum dapat mengerti konsekuensi yang nantinya harus diterima sebagai hukuman atas tindakan yang sudah dilakukannya. Menurut Barbara Coloroso dalam bukunya yang bertajuk The bully, the bullied, and the bystander, bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik
maupun emosional.
Coloroso mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban
akan merasa depresi dan marah, ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya.
Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan. Seperti contoh yang kerap kita temui diantaranya adalah bullying yang terjadi di lingkungan sekolah, ketika seorang anak sekolah dasar saling mengejek temannya atau melakukan bullying fisik antara satu dengan yang lainnya.
Dalam hal ini peran penting guru yang berada di lingkungan sekolah harus dapat mengantisipasi hal serius yang bisa saja terjadi setelahnya. Menurut Pasal 54 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa :
1). Anak didalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungaan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan
kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain;
Guru diharapkan dapat bertindak tegas terhadap tindakan anak ketika mereka bersenda gurau menggunakan kalimat atau bahasa yang tidak sopan diucapkan oleh anak seusianya dengan memberikan nasihat serta pemahaman mengenai bullying, menerapkan aturan dan sanksi bagi pelaku bullying di sekolah.
Bimbingan terhadap anak adalah tanggung jawab bersama, baik peran utama orang tua ketika anak berada dirumah, guru sebagai pendidik ketika anak berada di lingkungan sekolah dan juga peran tokoh masyarakat serta masyarakat pada umumnya. Kepekaan masyarakat berperan penting ketika secara tidak sengaja menemukan gejala bulying pada anak dibawah umur dengan cara melerai pertikaian pada anak dan
memberikan nasihat agar tidak saling mengejek atau melakukan tindakan yang mengintimidasi hingga melecehkan.
Seperti juga ditegaskan pada Pasal 54 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak bahwa :
2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat. KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat. Menyikapi masalah serius ini, kita harus dapat mengantisipasi gejalanya sejak
awal.
Selain itu, pentingnya pendidikan karakter dan sekolah keagamaan sebagai mata
pelajaran khusus untuk membentuk kepribadian anak. Pengajaran mengenai
pengertian dari bullying serta penjelasan mengenai teknik penyelesaian masalah pada anak agar anak tidak terbiasa menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan. Kemudian pentingnya anak-anak dibekali pengetahuan dan keterampilan saat menghadapi bullying, dan di paparkan secara terperinci apa saja yang menjadi dampak atau akibat dari bullying.
Pentingnya memberikan pendidikan karakter secara intensif pada anak usia dini juga diharapkan agar anak dapat mematangkan kecerdasan emosi sebagai bekal penting mereka menghadapi segala macam tantangan
baik akademis maupun non akademis. Yang nantinya pendidikan karakter tersebut akan memberikan manfaat bagi anak agar dapat mengendalikan emosinya dan meningkatkan daya berfikir mengenai problem solving sejak dini. (*)