Oleh : Yulianty Dewi
(Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Terbuka)
SATU dari sekian banyak kasus asusila yang paling mengerikan di antara kasus asusila terhadap perempuan maupun laki-laki yang sudah dewasa adalah kasus asusila terhadap anak di bawah umur. Seperti dilansir dari media online metrotvnews.com bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)
mencatat, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus terjadi sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023.
Jumlah tersebut meliputi korban perempuan 8.615, korban laki-laki 1.832, fisik 3.152 , psikis : 3.053, seksual 4.280, eksploitasi 112, trafficking 74, penelantaran 973, lainnya 1.211.
Kemudian pada media lainnya yaitu detik.com, Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI) dari awal 2023I mencatat ada 86 anak jadi korban kekerasan seksual di satuan pendidikan. Belum lekang dalam ingatan kasus balita 4 tahun yang diperkosa oleh tetangganya sendiri yang merupakan oknum ASN di Musi Rawas, Sumatera Selatan (detik.com), seorang guru honorer di Cirebon mencabuli siswinya sendiri yang masih berusia 11 tahun (Kompas.com), hingga seorang ayah yang tega
memperkosa anak kandungnya yang masih berusia 8 tahun hingga tewas
(liputan6.com).
Betapa mirisnya membaca dan mendengar berita seputar pelecehan hingga kekerasan terhadap anak. Pelaku dengan mudahnya mencari lawan yang lemah dan tak berdaya, merusak mimpi dan merampas paksa keceriaan mereka. Pernahkah sesaat saja kita renungi, bagaimana keadaan mereka anak-anak yang direnggut keceriaannya pada saat dan setelah kejadian?.
Kejadian tersebut adalah mimpi buruk yang tidak akan pernah usai, goresan luka yang tidak akan bisa sembuh, karena mereka akan menanggung beban psikis seumur hidup. Coba kita bayangkan pelaku yang yang hanya dijerat vonis kebanyakan kurang dari 15 tahun penjara, setelah bebas mereka
bisa kembali ke kehidupannya, sementara korban masih merasakan trauma mendalam hingga akhir hayat mereka.
Mereka adalah masa depan bangsa, penerus cita-cita bangsa dan harapan dan kebanggaan keluarga. Mereka seharusnya dijaga, dibimbing, diasuh serta mendapatkan hak perlindungan dari orang-orang disekitarnya. Bahkan
orang tua juga seakan menjadi sosok yang juga wajib diwaspadai ketika secara tiba-tiba berubah menjadi monster yang bukannya melindungi darah dagingnya justru mencederai dan menimbulkan trauma bagi si anak.
Dapatkah hukum membuat jera para pelaku kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak?. Bahkan vonis hukuman yang sudah diterapkan selama ini, seakan tidak cukup membuat para pelaku jera.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 menyebutkan bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Selanjutnya pada pasal 2 di jelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak nya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam persidangan secara daring, Ahli Hukum Acara Pidana dan Hukum Perlindungan Anak, Beniharmoni Harefa selaku Ahli memaparkan mengenai kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan. Perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak termasuk dalam kategori graviora delicta atau kejahatan paling serius (mkri.id).
Negara menjadikan para pelaku kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak sebagai musuh terbesar karena eksistensi mereka mengancam keselamatan anak penerus cita-cita bangsa. Artinya pemerintah benarbenar serius menangani kasus kekerasan dan asusila terhadap anak dibawah umur
agar tidak pernah terjadi lagi.
Hal terpenting yang harus kita mulai lakukan sebagai upaya pencegahan
kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur, di antaranya adalah dengan membekali anak-anak dengan pengetahuan dasar mengenai bagaimana cara melindungi diri dari kekerasan fisik dan tindakan asusila selama tidak dalam pantauan
orangtua, memaksimalkan peran penting sekolah dalam memberikan pendidikan karakter, membangun kepercayaan diri anak agar berani bersikap tegas dan menyelamatkan diri dari ancaman serta meyakinkan anak untuk menghindari tempattempat rawan dan mewaspadai orang tak dikenal.
Upaya lainnya sebagai bentuk perlindungan orang tua terhadap anak balita juga perlu ditingkatkan adalah
meningkatkan kewaspadaan kepada orang disekitar dengan cara tetap mengawasi keberadaan siapa saja yang mendekati anak, meminimalisir anak dititipkan kepada orang lain dalam durasi lama, dan tetap memantau kegiatan anak bermain dengan cara mengikuti dimana dan dengan siapa anak bermain.
Penerapan lainnya yang tidak kalah penting yaitu peran orang tua sebagai sosok pelindung, adalah tetap menjadi sepasang malaikat yang penyabar, dapat menstabilkan emosi setiap menghadapi anakdibawah umur, menjadi teman terbaik ketika anak yang krisis percaya diri.
Orang tua juga diharapkan dapat menjadikan rumah adalah tempat paling nyaman untuk anak agar anak tidak memilih bermain jauh dari lingkungan ruma. (*)