Oleh: H. Anwar Yasin Warya
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
PEMILIHAN Umum atau pemilu untuk pemilihan presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg) untuk DPR tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hingga pilkada digelar pada 2024 nanti. Khusus untuk pilpres dan pileg akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Pemilu kali ini tergolong paling besar dalam sejarah politik Indonesia. Selain dilaksanakan secara serentak pada tahun yang sama, pemilu 2024 juga menjadi ajang bagi partai politik untuk membuktikan kinerjanya selama ini.
Bila membaca dinamika menjelang pilpres dan pileg, ada sebuah kabar menggembirakan bagi masyarakat atau pemilih Indonesia yaitu bersatunya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasional Demokrat (NasSem) pada koalisi perubahan untuk mengusung Dr. Anies Rasyid Baswedan (bakal calon presiden) dan Dr (HC). Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (bakal calon wakil presiden) yang belakangan akrab disebut sebagai Pasangan AMIN.
Sebelum mengulas perihal pilpres 2024, saya perlu mengulas lebih awal tentang keakraban KH. Abdurahman Wahid yang akrab disapa Gusdur dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kala itu masih Partai Keadilan (PK). Saat itu PK dipimpin oleh Dr. Nur Mahmudi Ismail dan beberapa elite lainnya yang saat ini masih menjadi tokoh penting di PKS seperti Dr. Salim Segaf al-Jufri, Dr. Hidayat Nurwahid dan sebagainya. Pada saat Gusdur dicalonkan untuk maju sebagai calon presiden, salah satu kekuatan yang mengusungnya adalah “Poros Tengah” yang dibentuk oleh PK dan partai lainnya yang kala itu menjadi lokomotif penting reformasi. Dengan berbagai upaya dan strategi—dengan dorongan dan dukungan masyarakat sipil—PK sukses memenangkan pemilihan dan menempatkan Gusdur sebagai presiden.
Keakraban PK dan Gusdur—yang belakangan memimpin PKB, sebelum kelak dipimpin Cak Imin—bukan asal akrab. Sebab Dr. Nur Mahmudi Ismail merupakan politisi yang berlatar belakang keluarga Nahdhatul Ulama (NU) di Jawa Timur yang melanjutkan pendidikan di luar negeri (Amerika) lalu dipercaya untuk memimpin PK.
Keakraban ini semakin terlihat saat Gusdur mempercayai Dr. Nur Mahmudi Ismail untuk memimpin Kementrian Kehutanan dan Perkebunan. Kala itu, tak sedikit yang meragukan keakraban Gusdur dan PK dibawah kepemimpinan Dr. Nur Mahmudi Ismail. Namun fakta berbicara lain, doktor (Ph.D) jebolan Amerika ini justru menghadirkan sebuah kolaborasi politik yang elegan dan mengokohkan kebersamaan dalam beragam kebijakan. Selain karena mampu menghadirkan narasi politik yang bersenyawa gagasan, ia juga sukses mengakrabkan semua elemen yang beragam latar belakang di PK kala itu, termasuk dengan partai politik lainnya seperti PKB.
Hal menarik yang belum pernah diungkap di publik bahwa Gusdur memiliki jasa besar bagi PKS. Misalnya, Gusdur sukses membantu memenangkan Dr. Hidayat Nurwahid menjadi Ketua MPR 2004-2009. Karena komunikasi Gusdur dengan para politisi senayan, akhirnya Doktor jebolan Madinah ini terpilih dan dilantik menjadi Ketua MPR ke-11. Hal lain, saat berkunjung ke kawasan timur Indonesia seperti Papua, Maluku dan sekitarnya, Dr. Hidayat Nurwahid mendapat “bisikan” dari masyarakat setempat agar disampaikan kepada Gusdur. Mereka menganggap Dr. Hidayat Nurwahid dan Gusdur adalah bersaudara kandung, karena sama-sama bernama “Wahid”. Respon masyarakat Indonesia Timur kepada PKS pun semakin baik dan menggembirakan, bahkan hingga saat ini.
Bila pada Pilpres 2024 ini PKS dan PKB kembali berkoalisi, pada dasarnya itu merupakan angin segar betapa dua partai yang akrab dengan kalangan santri, kaum muda dan ormas Islam ini sedang bernostalgia. Selain yang berkaitan dengan Pilpres, bila kita menelisik beberapa Pilkada tingkat provinsi dan kota/kabupaten, PKS dan PKB pun kerap mengusung hingga memenangkan pasangan yang diusung. Sekadar contoh, pada pilkada Kota Magelang 2020 lalu. Kala itu, PKS dan PKB mengusung dan memenangkan pasangan dr. Aziz dan KH. M. Mansyur. Saat itu mereka menyatu dalam Koalisi AMAN dan sukses mengantarkan kedua kadernya menjadi pemenang Pilkada.
Bila menelisik PKS dan PKB, keduanya memiliki basis massa kultural yang solid dan kuat. Bila PKS kuat di Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat—di samping NTB dan Sumatra Barat—maka PKB tergolong kuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Walau berbasis massa muslim kota (untuk PKS) dan desa (untuk PKB), kedua partai ini juga menampung aspirasi politik non muslim. Bahkan beberapa caleg dan aleg kedua partai ini berasal dari non muslim, terutama di kawasan timur Indonesia. Maknanya, kedua partai ini sudah selesai dengan dirinya sendiri. Mereka mampu melakukan proses transformasi sekaligus objektivikasi nilai-nilai luhur Islam dalam konteks kemanusiaan dan kepentingan universal.
Dalam menjembatani perbedaan pandangan perihal beberapa hal cabang dalam fiqih, kedua partai ini juga mampu mencari titik temu, baik secara struktural maupun kultural. Publik menyaksikan kejenialan PKS, mislanya, yang beberapa kali mengadakan lomba baca kitab kuning, dimana hal ini sejak lama akrab dengan NU yang kelak “membidangi” lahirnya PKB. Bukan itu saja, PKS pun kerap mengadakan acara syiar keagamaan yang kerap mendapat apresiasi kalangan mana pun, termasuk kaum santri. Hal ini semakin menguat saat Ustadz Ahmad Syaikhu mendapat mandat Majelis Syuro PKS untuk memimpin PKS, tepatnya menjadi presiden PKS periode ini.
Sosok ini merupakan putra terbaik Cirebon yang sempat berkarir sebagai Auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumatera Selatan (1986-1989), Auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Pusat (1989), Anggota DPRD Kota Bekasi (2004-2009), Anggota DPRD Jawa Barat (2009-2013), Wakil Wali Kota Bekasi (2013-2018) dan Anggota DPR 2019-2024. Secara latar keluarga beliau berasal dari keluarga NU. Artinya, sudah dua presiden PKS yang secara latar ormas berasal dari NU, yaitu Dr. Nur Mahmudi Ismail dan Ustadz Ahmad Syaikhu.
Latar belakang demikian semakin menemukan relevansisnya saat ini, menjelang Pilpres 2024. Bila dulu Gusdur dan Dr. Nur Mahmudi dikenal begitu akrab dan saling menopang pada Pilpres 1999 silam, maka saat ini kita menemukan kembali modelnya yaitu Ustadz Ahmad Syaikhu dan Cak Imin yang saling menopang untuk Pilpres 2024. Keduanya memimpin masing-masing partai politik dan menyatu dalam koalisi yang sama yaitu PKS dan PKB, dilengkapi oleh NasDem di bawah kepemimpinan Surya Paloh yang dalam berbagai langkah politiknya selalu mengejutkan. Misal, sebelum PDIP mengusung Joko Widodo untuk maju di Pilpres 2014 dan 2019, NasDem sudah mengusungnya, hingga menang. Bahkan saat di Solo, PKS-lah yang mengusung Joko Widodo untuk maju dan menang di pilkada, sehingga menjadi Walikota Solo sebelum kelak maju dan menang di Pilkada DKI Jakarta.
Saya menyaksikan apa yang sedang dijalankan oleh PKS dan PKB saat ini merupakan salah satu warisan politik yang terbaik era Gusdur dan Dr. Nur Mahmudi Ismail, era awal reformasi silam. Selain bernafas santri, keduanya juga memiliki basis pemikiran yang moderat, maju dan adaptif dengan keragaman. Bila Gusdur jagoan dalam menjaga nilai-nilai pesantren di pentas kebangsaan dan global, maka Dr. Nur Mahmudi Islami mampu membawa pesan modernitas pada pentas yang sama. Sosok semacam ini menjadi relevan dan layak dicontoh pada era ini, bukan saja oleh keluarga besar PKS dan PKB, tapi juga oleh para politisi lintas partai politik. Apa yang dijalankan oleh Ustadz Ahmad Syaikhu, Cak Imin plus Surya Paloh saat ini merupakan kabar baik dan layak diapresiasi, betapa politik kita ke depan mesti ramah, saling menopang dan menggembirakan. [*]