Oleh: Siti Nurfiati
Penulis Buku “Rindu Ibu”
BARA adalah nama sebuah tempat pinggiran daerah di sebuah Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Bara berdada di dekat sungai dan lereng gunung, dengan pemandangan yang indah, merupakan anak kampung Desa Tangge.
Bara adalah tempat aku dilahirkan bersama lima saudaraku oleh ibuku Mais dan ayahku Binsaid Lalu. Bara merupakan salah satu perkampungan yang sangat indah, karena berada di lereng gunung dan sungai yang besar. Di kampung bersejarah ini kami dibesarkan oleh ibu dan ayah.
Dan sekarang ingin rasanya kembali lagi ke tempat yang indah dan asri itu, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Di kampung ini aku bisa meraskan indahnya kehidupan pedesaan, hidup sederhana yang dipraktikkan oleh kedua orangtuaku, serba keterbatasan, baik oleh keadaan maupun karena zamannya.
Ibu yang aku panggil Ine—bahasan Manggarai untuk ibu—adalah sosok wanita yang hanya lulusan Sekolah Rakyat (DR) puluhan tahun lalu, dengan ketelatenan, keihlasan, serta kesabarannya membesarkan kami berenam putra dan putrinya. Sosok wanita tangguh yang kesehariannya bekerja di ladang membantu ayah, bekerja mencari nafkah untuk menafkahi anak, menyekolahkan anak-anaknya.
Selain berladang, ibu memilIki keterampilan dalam mengayam tikar, baik yang kecil maupun yang besar, juga menganyam tikar besar—akrab disebut raja—yang dipakai untuk menjemur padi. Biasanya mereka berdua saling membantu bersamaan menyelesaikan pekerjaan ini. Kalau siangnya ke ladang atau berkebun, maka malamnya menganyam tikar. Sangat luar biasa talenta yang dimiliki ibu.
Tahun 1982, dilangsungkan pembukaan daerah persawahan Lembor, sebuah sawah palung besar di Manggarai Barat. Ibupun ikut menemani ayah pembugaran lahan menjadi sawah. Namanya Watu Lendo. Ibu menetap di daerah persawahan tersebut selama beberapa tahun. Watu Lendo daerah di tengah persawahan yang juga dijadikan pemukiman warga hingga saat ini.
Ibu sebagaia sosok pekerja keras seperti juga ayah, mulai menyesuaikan diri, dari berladang beralih ke bertani sawah. Aku dan saudaraku pun dibimbing dan dilatih untuk menjadi pribadi yang tangguh seperti ibu. Ibu bangun sebelum orang bangun di pagi hari dan tidur setelah anak-anaknya tertidur lelap. Itulah ibuku, yang selalu terjaga di saat anak-anaknya terbangun, rela melakukan apa saja yang penting anaknya tersenyum dan bahagia.
Ibu mengajarkan kami anak perempuan untuk tangguh, rendah hati, bekerja keras, menghormati orang lain, membantu sesama dan jangan membedakan pekerjaan laki-laki dan perempuan. Karena itu, aku pun dididik untuk membantu ibu dan ayah ikut mencari makan ternak bersama saudara laki-laki yang bernama Ramlan. Biasanya aku memegang tali kerbau, Ramlan menuntun dari belakang. Sebuah pekerjaan yang sangat menyenangkan. Kini aku merindukan masa-masa itu. Terkadang juga saat kami pulang dari ladang ibu menggendong adikku, aku dan kakakku Habibah (almh.) menunggang kerbau. Andai saja saja masa itu bisa diulang kembali betapa bahagianya hati ini.
Setiap pagi sebelum berangkat sekolah ibu selalu berpesan agar kami belajar dengan tekun, jangan sia-siakan pengorbanan ayah, karena pada masa tertentu atau ketika belum musim menanam pagi di sawah, ibu membantu ayah dengan menjual pisang, sementara ayah menganyam bambu untuk dinding.
Pekerjaan ini terus ditekuni oleh ayah dan ibu hingga aku menyelesaikan pendidikan srata satu (S1). Ibu mengingatkan agar kami terus menanam rasa syukur dalam hati. Jangan menunggu mendapatkan rezeki baru mengucapkan syukur, akan tetapi bersyukur kapan saja. Karena kami terlahir dengan keadaan baik, keluarga utuh.
Menurut ibu, masih banyak yang tidak seberuntung kami. Oleh karena itu, kami mesti saling membantu, jangan tertawa melihat air mata orang terjatuh. Kalian bersaudara, jangan biarkan orang memecah belah keluarga. Itulah pesan ibu kepada kami anak-anaknya.
Ibu adalah wanita hebat yang mampu menyembunyikan luka dan kesedihannya terutama di saat anak-anaknya mengalami musibah ataupun saat mendapatkan ujian dari Allah. Termasuk saat kakak Habibah (almh.) kembali kehariban Allah. Kakak meninggal dengan meninggalkan seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Hati ibu begitu tegar saat melihat cucunya berada di samping dengan linangan air mata. Seketika aku melihat ibu berusaha untuk tegar dan ikhlas agar anak-anaknya dan cucunya tetap kuat.
Bukan hanya itu, ujian hidup kembali dilalui ibu. 2009 ayah tercinta jatuh sakit. Menurut dokter harus diambil tindakan operasi. Atas saran dokter, ayah tidak boleh bekerja keras, seperti membajak sawah, memikul beban dan sebagainya. Berita ini menunjukan bahwa ibu harus mampu mengambil peran membantu pekerjaan ayah yang selama ini merupakan pekerjaan ayah. Karena ayah dan ibu masih memiliki tanggungjawab terhadap dua adikku yang kala itu masih kuliah di perguruan tinggi dan SMA. Alhamdulilah atas izin Allah dan keikhlasan ibu mendoakan anak-anaknya, kini dua adik pun sudah sarjana dan berkarir.
Ibu adalah sosok pekerja keras dan disiplin waktu. Ia juga juga komitmen terhadap sebuah tanggung jawab. Walaupun hanya tamat SD, tepatnya SR zaman dulu, tetapi ibu mampu membuat target-target dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Ada banyak orang yang tidak suka dengan ibu karena sering dikomentari atau dinasehati manakala mereka bekerja tidak sesuai dengan pikirannya. Namun ada juga orang yang berhasil dan menjadi orang hebat saat ini yang memaknai nasehat ibu sebagai motivasi untuk terus bangkit dan meminta support-nya.
Ibu suka membantu orang tak memandang anak siapa, asal dari mana. Asalkan orang tersebut berada satu atap dengannya, berarti orang tersebut bagian dari keluarga yang juga harus dibantu. Sebagian orang yang kenal baik dengan ibu, ibu dijuluki “ibu tentara”, hal ini karena ibu sering berkata tegas kepada siapapun dan disiplin dalam hal apapun. Bukan hanya kepada kami sebagai anknya, tetapi juga kepada saudara sepersepupuan dengan kami. Kata-katanya tegas, namun jauh di lubuk hatinya tetap mengingikan anak-anaknya atau siapapun yang dikenalinya menjadi sukses.
Ibu selalu mengutamakan pendidikan. “Kalian tidak boleh meninggalkan sekolah dengan alasan apapun kecuali sakit. Dengan sekolah kalian dapat memiliki ilmu, dengan ilmu itu akan mengubah hidup kalian dan mengangkat derajat kalian,” nasehatnya suatu ketika.
“Pendidikan tidak dapat ditukar dengan yang lain, cukup ibu yang hanya tamat SD. Kalian harus sekolah, wujudkan mimpi kalian, semangat jihad pendidikan harus tertanam dalam jiwa raga kalian. Ibu tak pernah membedakan anak perempuan dan laki-laki dalam kesempatan mengenyam pendidikan, semuanya diberikan kesempatan,” lanjutnya.
Konon diceritakan bahwa di daerahku menyekolahkan anak perempuan sama halnya menyekolahkan istri orang. Tetapi ibu berpendapat lain. Menurutnya, bagi anak perempuan pendidikan sangat penting. Karena merekalah yang akan melahirkan generasi emas bangsa.
Ibuku sosok tangguh dan memiliki super mozaik yang harus aku junjung tinggi, hormati dan muliakan. Karena ibu selalu mendukung anak-anaknya dalam setiap situasi dan keadaan apaupun. Baik pada saat anaknya sudah berkeluarga atau belum. Sehingga walaupun sudah berkeluarga, kami selalu ingin didekap oleh pelukan ibu.
Dari tiga anak perempuan ibuku, aku adalah sosok penurut, sehingga tak jarang aku yang terus disuruh untuk banyak hal. Namun sebagai imbalan dari keikhlasan menuruti perintah ibu, aku memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang proses hidup ini, bahwa sebenarnya sampai hari ini aku masih mebutuhkan nasehat-nasehat bijak dari ibuku.
Aku rindu masa-masa kecilku. Aku ingin selalu berada dalam pelukan ibu. Ibu selalu mengajari aku tentang kehidupan, nasehat ibu selalu aku ingat sebagai petunjuk manakala aku sudah salah langkah. Bahwa pandanglah ke depan, syukuri setiap keadaan, tak perlu meminta kaya, karena kalau kaya selalu merasa kekurangan, tetapi berdoa sama Allah agar diberi ketenangan yang nanti akan mendatangkan kebahagian.
Ibu yang kuat dan yang sabar serta wanita terhebat yang aku cinta, semoga selalu diberkahi, umur panjang, sehat dan tetap menjadi ibu terhebat untuk anak-anakmu. Ibu, kasihmu tak terhingga sepanjang masa. I love Ibu. (*)