Oleh: Abdul Mukti, S.Pd
Guru di Mumtaz Islamic School.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI menyebut seluruh warga negara yang telah berusia genap 17 tahun pada pemungutan suara atau telah menikah dapat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024. Bahkan, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga diperbolehkan menyalurkan hak pilihnya saat pemungutan suara berlangsung 14 Februari 2024.
Dibolehkannya ODGJ ikut mencoblos ini menuai pro dan kontra dimasyarakat, lantas muncul pertanyaan, apakah seluruh ODGJ mendapatkan perlakuan yang sama dalam pemilu? Apa saja syarat dan ketentuannya? Pertanyaan itu lahir dari keragu-raguan berbagai pihak terkait kemampuan ODGJ datang ke TPS dan kemampuan mereka dalam memilih peserta pemilu secara ideal, seperti pemilih pada umumnya, ada pula yang menanggapinya dengan nyinyir. Ketika suaranya dibutuhkan maka ODGJ pun dikerahkan harus ikut pemilu, sementara setelah pemilu seperti sebelum-sebelumnya kesejahteraan para ODGJ ini terabaikan.
Pengertian dan Klasifikasi ODGJ
ODGJ merupakan singkatan yang lazim yang digunakan di Indonesia sebagai upaya pencegahan diskriminasi dan perlindungan HAM, berbeda dengan Amerika Serikat yang sejak dahulu sampai sekarang menggunakan frasa “kelainan jiwa”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pola pikir, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.
Dalam berbagai literasi, para dokter ahli kesehatan jiwa di Indonesia membagi ODGJ dalam tujuh kelompok, berdasarkan jenis gangguan jiwa yang dialami. Pertama, gangguan kecemasan. Semua orang pasti pernah mengalami rasa cemas. Perasaan cemas itu kembali normal bila penyebabnya dapat diatasi. Namun ODGJ tidak mampu menghilangkan rasa cemas yang menyebabkannya gelisah, karena tidak dapat mengendalikan perasaannya, sehingga selalu merasa terancam.
Kedua, gangguan stres karena mengalami trauma. Gangguan jiwa seperti ini mungkin saja dialami orang normal, namun dapat pulih ketika orang tersebut mampu mengendalikan perasaannya. Biasanya, gangguan stres terjadi setelah orang tersebut mengalami atau menyaksikan peristiwa tragis yang menimbulkan trauma. Penderita biasanya mengalami gelisah, sulit tidur, merasa takut dan bersalah, atau pun panik ketika melihat, mendengar, atau bahkan sekadar memikirkan hal yang menjadi pemicu traumanya.
Ketiga, gangguan kepribadian, yang pada umumnya memiliki pola pikir dan perilaku yang dianggap menyimpang, aneh, atau tidak sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku di lingkungan sekitarnya. ODGJ jenis ini sulit memahami emosi dan berinteraksi dengan orang lain.
Keempat, gangguan obsesif kompulsif, yakni sulit melihat hal yang kotor dan berantakan. Mereka juga kerap memiliki perasaan atau pikiran yang sulit dibendung terhadap hal tertentu. Misalnya, mereka merasa takut berlebihan terkena penyakit, sehingga mereka akan mencuci tangan dan membersihkan rumahnya hingga berkali-kali. ODGJ dengan gangguan ini bisa mengalami gejala yang cukup parah, hingga sulit menjalani aktivitas atau berinteraksi dengan orang lain.
Kelima, gangguan bipolar, yakni perubahan suasana hati pada ODGJ yang ditandai dengan beberapa fase, yaitu fase mania dan fase depresif. Perubahan fase tersebut terjadi dalam waktu cepat. Saat sedang mengalami fase mania, penderita bipolar bisa merasa sangat bahagia, sangat antusias atau memiliki semangat yang menggebu-gebu, banyak bicara atau makan, susah tidur, dan tidak bisa diam.
Berbeda ketika memasuki fase depresif, penderita bisa mengalami gejala depresi. Jika tidak mendapatkan pengobatan, ODGJ dengan gangguan bipolar berisiko tinggi melakukan bunuh diri dan perilaku berisiko, seperti menggunakan narkoba dan alkohol.
Keenam, depresi berat. Kondisi jiwa yang dialami ODGJ seperti ini berpotensi mengakibatkan bunuh diri. ODGJ yang mengalami depresi berat kerap mengalami beberapa gejala, seperti tidak bergairah, perasaan sedih, bersalah, dan tidak berdaya tanpa alasan yang jelas. ODGJ yang disebabkan oleh depresi perlu mendapakan pengobatan dari dokter agar kondisinya bisa membaik.
Ketujuh, ODGJ yang menderita skizofrenia. Orang pada kelompok ini bisa mengalami gejala halusinasi, delusi atau waham, pola pikir yang aneh, perubahan perilaku, dan gelisah atau cemas. Saat mengalami halusinasi, ODGJ dengan skizofrenia akan merasa mendengar, melihat, mencium, atau menyentuh sesuatu, padahal rangsangan tersebut tidak nyata.
Tanpa pengobatan, ODGJ kelompok skizofrenia ini sering kali sulit berinteraksi dengan orang lain atau bahkan dipasung karena perilakunya dianggap membahayakan dirinya sendiri atau orang lain. Namun, dengan penanganan yang tepat, ODGJ dengan skizofrenia bisa hidup normal dan produktif.
Landasan Hukum
Berdasarkan UU Pemilu, masyarakat yang memiliki hak pilih harus memenuhi enam syarat, yakni warga negara Indonesia, berusia 17 tahun, tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berdomisili di wilayah administratif pemilih yang dibuktikan dengan KTP elektronik, dan tidak menjadi anggota TNI atau Polri.
Tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan menjadi syarat sebagai pemilih, sempat menimbulkan polemik menjelang Pemilu 2014, dan kembali menjadi perbincangan politik menjelang Pemilu 2019. Kini persoalan itu muncul kembali terkait posisi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam Pemilu 2024. Pada Pemilu 2014, penyelenggara pemilu memberi hak kepada ODGJ untuk memilih. Kebijakan itu semata-mata mengakomodasi hak ODGJ sebagai warga negara.
Kemudian Pemilu 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan syarat “tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan” bertentangan dengan konstitusi, sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen menurut profesional bidang kesehatan. Keputusan MK tersebut menjadi pedoman bagi jajaran KPU RI untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih.
Syarat-syarat seseorang dapat memilih dalam Islam
Pemilih dalam Fiqh siyasah dapat diartikan sebagai rakyat. Rakyat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penduduk suatu negara. Rakyat dalam menjalani kehidupannya membutuhkan seorang pemimpin yang dapat mengurusi berbagai masalah yang ia hadapi. Dalam Islam, hubungan antara rakyat dengan pemimpin adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu, rakyat wajib memilih seseorang yang mampu dan layak menjadi pemimpin.
Umat Islam mempunyai hak untuk memilih, akan tetapi dalam melaksanakan haknya mereka harus memenuhi syarat sebagai pemilih. Adapun syarat-syarat yang diperlukan adalah seperti yang termaktub dalam Rancangan Undang-Undang Dasar (Masyru Dustur) Negara Islam Pasal 26, bahwa “Setiap Muslim yang Baligh dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memilih dan membai’at Khalifah.
Adapun dalil Al-Qur’an bahwa berakal memenuhi kriteria sebagai pemilih terdapat dalam QSAz-Zumar (39) ayat 18, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat. (Qs. Az-Zumar (39) : 18).
Imam al-Mawardi dalam kitabnya Al-ahkam al-sulthoniyah, memberikan syarat untuk bisa memilih seseorang pemimpin yaitu : (1) memiliki integeritas moral yang baik, (2) memiliki pengetahuan atau infomasi yang cukup mengenai calon pemimpin yang hendak dipilihnya. Dengan dua kualitas pemilih ini diharapkan terpilih pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab terhadap rakyatnya, mampu memimpin dengan baik, mengayomi, melindungi, dan menjamin keamanan dan kesejahteraan mereka, baik lahir maupun batin.
Merujuk kepada Dalil Al-Qur’an dan pendapat dari Imam Al-Mawardi, maka kebijakan KPU melibatkan ODGJ dalam penyelenggaraan pemilu perlu ditinjau kembali. Karena ODGJ tidak memenuhi syarat sebagai pemilih yaitu berakal sehat dan memiliki pengetahuan dalam memilih calon pemimpinnya. ODGJ dalam kondisi sedang maupun berat, tentu hilang kewajibannya untuk menggunakan hak suara pada pemilu. “Pemaksaan” ODGJ menjadi pemilih justru dapat menimbulkan berbagai permasalahan, dan rawan hak pilihnya digunakan oleh pihak pendamping. (*)