Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku dan Pemerhati Isu-isu Publik
BILA kita membaca berbagai alasan penamaan bandara di beberapa kota di Indonesia, maka umumnya kita dapatkan kenyataan bahwa bandara tersebut diberi nama dengan nama tokoh penting di kota tersebut. Misalnya, bandara Iskandar Muda di Aceh, Cut Nyadin di Aceh, Hamzah al-Fansuri di Aceh, Sutan Syahrir di Padang Sumtra Barat, Abdul Haris Nasution di Sumatra Utara, Hang Nadim di Riau, Sultan Syarif Kasim II di Riau, dan Raja Haji Fisabilillah di Kepulaun Riau.
Selain itu, ada juga bandara Fatmawati Soekarno di Bengkulu, Hananjoedin di Bangka Belitung, Taha Saifudin di Jambi, Mahmud Badarudin II di Palembang, Halim Perdana Kusuma di Jakarta, Soekarno-Hatta di Tangerang Banten, Husein Sastranegara di Bandung, Cakrabuana di Cirebon, Abdurahman Saleh di Malang, Zainudin Abdul Majid di Lombok Tengah NTB, Sultan Aji Muhamad Sulaiman di Balikpapan, Sultan Hasanudin di Makasar, dan masih banyak lagi.
Penamaan bandara dengan tokoh penting asal kota tertentu merupakan hal yang umum dilakukan di Indonesia sejak lama hingga kini. Dalam konteks Jawa Barat, belakangan ini publik mendapatkan kabar perihal penamaan untuk bandara Kertajati Jawa Barat yang berlokasi di Kabupaten Majalengka. Pada dasarnya Jawa Barat tidak kehabisan tokoh penting yang namanya dapat dijadikan sebagai nama bandara, termasuk untuk bandara yang berada di Majalengka. Salah satu tokoh sekaligus pahlawan nasional asal Majalengka adalah KH. Abdul Halim.
KH. Abdul Halim merupakan seorang tokoh kemerdekaan sekaligus ulama dari Kabupaten Majalengka yang lahir di Ciborelang pada 26 Juni 1887 dan wafat pada 7 Mei 1962. Ketokohannya tidak diragukan lagi, bahkan diakui oleh berbagai kalangan, dalam dan luar negeri. Beliau merupakan salah satu dari tiga pendiri salah satu organisasi berbasis masa Islam yang cukup tua di Indonesia yaitu Persatuan Ummat Islam (PUI) yaitu KH. Ahmad Sanusi dan Mr. Syamsuddin, keduanya berasal dari Sukabumi.
PUI sendiri didirikan pada 21 Desember 1917 M bertepatan dengan tanggal 6 Rabiul Awal 1336 H. Sebagaimana yang diberitakan di berbagai media bahwa dalam Sidang Majelis Syuro PUI pada tahun 2019 lalu, tanggal tersebut disepakati sekaligus ditetapkan sebagai hari lahir PUI dan kemudian dicantumkan dalam Anggaran Dasar PUI Pasal 1 Ayat 2 yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil ula 1441 H.
Selain itu, bila membaca rekam jejak KH. Abdul Halim, maka paling tidak ada beberapa hal yang bisa disematkan pada beliau. Pertama, pencetus pendidikan dan kemajuan di Jawa Barat. KH. Abdul Halim merupakan salah satu tokoh pencetus pendidikan dan kemajuan keagamaan Islam terutama di Jawa Barat. Hal ini diwujudkan, salah satunya, dengan mendirikan Santi Asromo pada 1932 di Majalengka-Jawa Barat. Beliau pun dikenal sebagai sosok yang mengorbankan segala pemikiran dan perjuangannya untuk kepentingan ummat dan bangsa. Sehingga dikenal oleh berbagai kalangan sebagai sosok yang cerdas, pejuang dan gigih dalam mendirikan republik ini.
Kedua, penjaga persatuan umat. KH. Abdul Halim juga adalah sosok yang menjaga hubungan dan keakraban dengan para pemimpin organisasi berbasis masa Islam lainnya. Beliau selalu menerapkan prinsip toleransi sebagai kebaruan di ranah keagamaan. Hal itulah yang menjadi dasar beliau bergaul bersama beberapa beberapa tokoh dari latar belakang prinsip yang berbeda, seperti KH. Mas Mansur (kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama). Kedekatannya itulah yang menjadi titik pertemuan antara tradisi islam tradisional dengan Islam modern yang beliau bangun melalui diversity (keberagaman).
Ketiga, pendiri bangsa dan negara Indonesia. Selain menjadi tokoh sekaligus pejuang pendidikan serta pemimpin ummat, beliau juga menjadi tokoh penting dalam mendirikan negara Indonesia. Seluruh pemikiran dan gagasannya disumbangkan untuk bangsa yang kelak bernama negara Indonesia. Selain menekuni aktivitasnya membina organisasi PUI, beliau juga aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 beliau menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada tahun 1928 beliau diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta.
Beliau juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), beliau menjadi salah seorang pengurusnya. Beliau juga termasuk salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955.
Benang merah dari seluruh perjuangan dan rekam jejak KH. Abdul Halim adalah pembelaan ummat dan pembelaan bangsa dari berbagai penjajahan apapun bentuknya. Sehingga beliau bukan saja sosok yang sukses menginisiasi pendirian PUI, tapi juga memastikan PUI berkontribusi besar bagi kemajuan ummat dan bangsa Indonesia. Di samping itu, beliau juga termasuk tokoh pendiri untuk pembentukan negara kesatuan republik Indonesia melalui keterlibatannya di BPUPKI. Sehingga beliau bukan sekadar tokoh PUI tapi sejatinya tokoh penting Indonesia.
Singkatnya, KH. Abdul Halim merupakan sosok tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu (modernis). Beliau adalah sosok “titik temu” dari variasi atau keragaman pemikiran tokoh ummat. Beliau adalah sosok tokoh yang bukan saja cerdas sebagai pemimpin umat tapi juga matang sebagai pemimpin bangsa. Sehingga beliau layak disematkan pula sebagai ulama negarawan.
Bedasarkan perjuangan dan kontribusinya bagi bangsa dan negara ini, pada 2008 lalu beliau mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008. Sebuah anugerah yang bukan saja layak tapi juga seharusnya beliau peroleh.
Memperhatikan fakta penamaan bandara di berbagai kota di seluruh Indonesia sekaligus perjuangan, kontribusi dan rekam jejak KH. Abdul Halim bagi umat dan bangsa Indonesia, termasuk bagi perkembangan dan kemajuan Majalengka dan Jawa Barat, maka sangatlah wajar bila nama KH. Abdul Halim dijadikan nama bandara yang berada di Majalengka, Jawa Barat. Masyarakat dan berbagai elemen di Jawa Barat sangat berharap pemerintah dan pihak terkait untuk menjadikan nama seorang tokoh penting asli Majalengka ini sebagai nama bandara di Majalengka.
Hal tersebut dilakukan bukan saja sebagai pengingat bagi masyarakat luas akan sosok tokoh sekaligus pahlawan nasional asal Majalengka ini, tapi juga sebagai panggung inspirasi bagi seluruh anak bangsa untuk terus berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia sebagaimana yang sudah dilakoni para pendahulu. Sungguh, KH. Abdul Halim adalah ulama teladan sekaligus negarawan sejati. Sehingga suatu saat kita percaya diri dan bangga mengucapkan ini: Selamat datang di Bandara KH. Abdul Halim Majalengka! (*)