CIREBON, fajarsatu.- Taman Sari Gua Sunyaragi yang terletak di Jalan Ahmad Yani (Bypass) merupakan salah satu destinasi wisata sejarah di Kota Cirebon.
Gua Sunyaragi pada zamannya, selain digunakan tempat peristirahatan sultan dan kerabat Keraton Kasepuhan, juga berfungsi sebagai sarana ritual mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Gua ini dibangun sekitar tahun 1703 oleh Pangeran Aria Charibon dari Keraton Kasepuhan dan selesai di bawah pemerintahan Sultan Adiwijaya Kasepuhan.
Menurut Budayawan Cirebon, Mustakim Asteja, proses pembangunan Gua Sunyaragi belum ditemukan catatannya secara detail.
Merujuk pada catatan Molsbergen, peneliti berkebangsaan Belanda yang tersimpan di Museum Arsip Nasional dalam bab pengerjaan dalam buku berjudul in Chinessche Stijl Gebouwd Grotwerk (Goa Sunyaragi dalam Gaya Tionghoa).
“Dalam buku itu disebutkan pada tahun 1703 Pangeran Aria Cheribon mengperjakan etnis Tionghoa dalam pembangunan gua tersebut dan penyelesaian pembangunannya di zaman pemerintahan Sultan Adiwijaya Kasepuhan,” tutur Mustakim, Rabu (11/12/2019).
Yang menarik, di komplek tersebut terdapat heritage monumen Cina untuk dikaji korelasi Gua Sunyaragi dan EtnisTionghoa.
Sekjen Lesbumi PBNU, KH. Uki Marzuki berpendapat, adanya sebuah peringatan atau monumen di Komplek Gua Sunyaragi merupakan indikasi adanya peranan etnis Tionghoa dalam proses pembangunannya telah terjadi proses akulturasi budaya dan sikap toleransi.
Ditambahkannya, menurut catatan atau warta dari Klenteng Talang Cirebon dan Klenteng Sam Pho Kong Semarang, proses pembangunan Goa Sunyaragi melibatkan bangsa Tionghoa,” kata Uki kepada fajarsatu.com di kediamnnya, Rabu (11/12/2019).
Dikatakannya, dalam sejarah Pemeritahan Keraton Kasepuhan tercatat nama Tam Sam Cay Kong alias Muhamad Syafii alias Tumenggung Aria Wiracula, merupakan salah seorang etnis Tionghoa yang diangkat menjadi Menteri Keuangan di Keraton Kasepuhan.
“Ia memiliki peran besar dalam proses pembangunan Gua Sunyaragi. Sangat disayangkan dalam proses pengerjaannya, Tam Sam Cay Kong meninggal karena keracunan makanan,” ungka Uki.
Uki memaparkan, dari beberapa sumber sangatlah jelas bahwa arsitektur bangunan maupun keterlibatan secara fisik pembangunan Goa Sunyaragi melibatkan warga Tionghoa.
“Proses akulturasi ini tidak bisa terelakan. Apalagi menurut catatan seorang peneliti Belanda, disebutkan Gua Sunyaragi bergaya arisitektur Cina,” ujar dia.
Masih kata Uki, Goa Sunyaragi dengan bangunan utama berupa sejumlah Goa Karang dengan Goa Peteng, Goa Padang Ati dan beberapa taman sari berupa kolam yang terbuat dari bata merah.
“Sistem tata kelola pengairan yang terintegrasi satu dengan kolam lainnya. Sistem tekhnologi tata kelola air tertanam di bawah pondasi bangunan masing-masing kolam seakan memiliki mata air alam sendiri,” jelasnya.
Lanjut Uki, sistem irigasi jaringan air yang menyuplai kolam satu dengan lainnya, tertanam pada pondasi bangunan tanpa terlihat kasat mata, dimanfaatkan sebagai stabilisator suhu ruangan goa, dimana bangunan utama gua memiliki efek kestabilan suhu yang membawa kenyamanan.
Hal itu, katanya, sesuai dengan masterplan tempat beristirahat sekaligus tempat tafakur kepada sang pencipta. “Faktor kenyamanan menjadi skala prioritas utama,” tandas Uki.
Pembangunan Goa sunyaragi, imbuhnya, sudah mengadopsi tekhnologi tinggi. “Subhannallah, luar biasa kontribusi etnis Tionghoa pada Kesultanan Cirebon,” tutup Uki. (FS-2)