Oleh: *Sutan Aji Nugraha*
Penulis adalah Pengamat Politik
Debat perdana paslon pilkada Kota Cirebon sudah disaksikan oleh seluruh masyarakat, baik secara langsung maupun via media elektronik. Beragam asumsi, persepsi serta interpretasi sudah mulai beredar jadi bahan obrolan hingga satire di dunia nyata dan maya.
Ada hal menggelitik yang ditulis oleh sahabat saya, Syamsudin Kadir di dalam tulisannya yang berjudul “Dani – Fitria menang debat perdana pilwalkot Cirebon 2024” pada kumpulanidependidikan.blogspot.com. Dalam tulisan di paragrap kedua tertulis bahwa “Saya menyampaikan apa adanya, tanpa tendensi karena saya pendukung paslon nomor urut 01”. Menurut saya makna dari “tendensi” bisa diartikan subjektivitas akan suatu hal akan tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai menyampaikan pesan “apa adanya” yang sebenernya terjadi.
Terlepas dari tulisan Syamsudin Kadir mengenai dinamika debat semalem justru keseruan akan tema debatnya, yakni “Transformasi Tata Kelola Pemerintahan yang Baik” yang terdiri dari beberapa subtemanya yang dijawab bahkan terjawab oleh para paslon.
Memang segala hal tidak akan mungkin dan mudah terjawab dengan waktu yang ditentukan singkat sehingga para paslon dipaksa “menyesuaikan” program-programnya. Pertanyaan-pertanyaan panelis yang dijawab para paslon mengarahkan kami untuk mendengarkan hal-hal yang normatif, bukan implementatif. Kepala daerah merupakan jabatan politik maka sudah seharusnya menguasai segala macam retorika guna mengumpulkan narasi, ide dan gagasan yang progressif.
Ada sesi paslon bertanya kepada paslon lain inilah hal krusial menguji retorika paslon, baik Calon Walikota dan Wakil Walikota 2024. Kesempatan berbicara secara terang benderang ditampilkan, mana yang hanya sekedar membaca, menambahkan bahkan sebagai pengembira saja. Tentunya masyarakat yang mampu menilai.
Sedari awal kita disajikan calon pemimpin dengan latar belakang yang berbeda akan tetapi ada yang diharapkan untuk mengembalikan penempatan struktur “yang katanya” birokrasi ke arah profesional sesuai dengan disipslin ilmu dan keahliannya. Pada kenyataannya pun tidak begitu kuat secara pikiran yang implementatif. Paslon seharusnya lebih banyak mendengar kalangan-kalangan akademisi, profesional, kaum terdidik lainnya. Bukan mendengar timses atau cenderung “pembisik brutus” yang berpikir untung rugi dan “aroma masakan”.
Debat semalem dalam penguasaan panggung sudah terlihat bagi yang memang pernah berada dalam pemerintahan Kota Cirebon sehingga dalam penyampaiannya sangat baik, ya transparansi bukan berarti “telanjang bulat”.
KPU Kota Cirebon diharapkan memberikan waktu memadai yang disesuaikan dengan pertanyaan. Masih ada debat kedua dan ketiga yang diharapkan paslon bukan sekedar normatif melainkan naratif yang implementatif. Jangan bicara normatif namun kenyataannya implementatif tidak kuat, itu sama saja _parrot_ disuruh ngoceh bahasa Indonesia. (*)