Oleh: Syamsudin Kadir
Direktur Eksekutif Mitra Pemuda
Prabowo Subianto baru saja dilantik menjadi presiden Indonesia periode 2024-2029. Sebagai orang nomor satu di negeri belasan ribu pulau ini ingin memastikan pada era kepemimpinannya Indonesia semakin maju dan bersih dari praktik korupsi. Hal ini terlihat jelas pada saat pidato perdananya di hadapan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kala itu presiden menyampaikan beberapa tema penting seperti kemandirian dan ketahanan pangan serta energi, kesadaran anti-korupsi, pendidikan, kemiskinan, subsidi tepat sasaran dan kepemimpinan yang menjadi tauladan.
Selain itu, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ini mengkritik pada praktik korupsi di berbagai eselon dan usaha bisnis. Ia juga menegaskan pentingnya kolaborasi semua pihak dalam menjalankan pembangunan di berbagai sektornya. Ketua Umum Partai Gerindra ini meminta semua elemen bersikap arif dan bijaksana, pentingnya demokrasi Indonesia yang santun, hindari permusuhan dan caci-maki, kemerdekaan rakyat dari ketakutan dan kemiskinan, kebijakan luar negeri Indonesia dan apresiasi pemimpin sebelumnya.
Mendengar pidato itu bisa berulang-ulang, tentu terekam dalam media sosial dan tidak membosankan. Kesan kita tentu mengejutkan dan rakyat menunggu aksi nyata dan konsistensi antara kata dan laku. Kita ingin agar apa yang disampaikan oleh orang nomor satu tersebut bukan sekadar retorika, tapi mampu diaplikasikan dalam kebijakan dan program yang lebih praktis. Kita mendorong para penggawa Kabinet Merah Putih, pejabat di berbagai lembaga atau institusi, dan elemen non pemerintah mampu menjaga integritas dan berkolaborasi.
Berkaitan dengan korupsi, pada 2024 ini nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia sebesar 3,85. Konon nilai ini menurun dibanding tahun 2023 lalu, 3,92. Indeks semacam itu hanya bermakna manakala praktik korupsi semakin menghilang, terutama di birokrasi dan pejabat pemerintah. Selama ini kita dikejutkan oleh berbagai kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang menimpa penegak hukum seperti polisi, hakim dan jaksa serta beberapa oknum pejabat. Hal ini semakin membuat kita bertanya-tanya: kapan praktik korupsi berakhir di negeri kita Indonesia?
Pada Kamis 31 Oktober 2024 saya sangat haru dan bangga karena bisa menghadiri acara Diskusi Publik bertema “Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintah Sebagai Upaya Pencegahan Kasus Korupsi Di Kota Cirebon” yang berlangsung di Ruang Prabayaksa Balaikota Cirebon. Tokoh yang diundang menjadi narasumber yaitu Iing Daiman (Pj. Sekda Kota Cirebon), Ekky Bahtiar (Komisioner Komisi Informasi), Aulia Postiera (Polri), dan Rizka Anungnata (Polri). Sementara Siti Widharretno Mursalim (Dosen Politeknik STIA LAN Bandung) didaulat menjadi moderator dan Lisna Novita (Dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon, UMC) menjadi MC.
Pada awal acara yang dihadiri oleh puluhan pejabat Pemkot Cirebon, akademisi, pengusaha, tokoh pemuda, penggiat anti korupsi dan penggiat lainnya ini, Dea Angkasa Putri Supardi mewakili penyelenggara menyampaikan bahwa acara ini merupakan upaya kontribusi elemen publik dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah sebagai upaya pencegahan korupsi termasuk di Kota Cirebon. Menurut Direktur HU Fajar Cirebon ini, bila dulu publik kerap berdiskusi di berbagai warung kopi, kini ada baiknya diskusi terkait isu publik dilaksanakan di gedung pemerintah, agar berdampak baik bagi pemerintah.
Selaku Pj Sekda Kota Cirebon Iing Daiman menyampaikan apresiasi untuk acara ini. Ia pun menegaskan pentingnya transparasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah daerah, penegak hukum, perguruan tinggi dan elemen masyarakat lainnya mesti berperan. Kolaborasi antar semua elemen menjadi semakin mendesak dalam rangka pelayanan publik yang semakin transparan dan profesional, sehingga terhindar dari praktik korupsi. Inovasi pemerintah daerah dalam segala aspeknya sangat dibutuhkan, termasuk dalam pelayanan publik. Digitalisasi juga menjadi program yang layak menjadi perhatian bagi semua elemen.
Komisioner KPI Ekky Bahtiar mendapat kesempatan menyampaikan materi juga pada forum ini. Sosok yang akrab dengan semua kalangan ini menegaskan bahwa KPI memiliki peranan penting dalam rangka transparansi dan akuntabilitas publik. Kerjasama dan kolaborasi dengan pemerintah daerah menjadi komitmen yang terus dijaga oleh KPI. Menurutnya, saling percaya dan terbuka dalam menyampaikan informasi menjadi hal yang harus dijaga ke depan. Saling percaya bisa dijalankan bila dilakukan antar lembaga dan elemen, bukan sepihak.
Berikutnya, Aulia Postiera menegaskan bahwa musuh bersama bangsa Indonesia adalah korupsi. Menurutnya, korupsi itu sangat merusak sendi-sendi kehidupan bangsa. Karena korupsi membuat hutan gundul, jembatan ambruk, banjir terjadi di banyak lokasi, kemiskinan menjadi-jadi, lapangan kerja mengurang, tabrakan yang mematikan di jalan, anak-anak tidak bisa menempuh pendidikan dan sebagainya. Ini menjadi bukti betapa dahsyatnya pengaruh buruk korupsi. Bahkan karena korupsi agenda pembangunan menjadi mangkrak.
Korupsi yang paling besar adalah (1) penyuapan dan (2) pengadaan barang juga jasa. Dalam data terbaru, oknum yang paling banyak terlihat korupsi adalah sektor swasta terutama pengusaha. Lalu penegak hukum seperti jaksa, hakim dan politisi juga pengacara. Pejabat publik juga menjadi oknum yang paling banyak terlihat dalam kasus korupsi. Tak sedikit menteri, dirjen, kepala daerah dan politisi atau anggota DPR, DPRD dan staf pribadi pejabat juga ASN/PNS yang tertangkap tangan karena terlibat kasus korupsi. Padahal gaji mereka berasal dari uang rakyat, sebuah amanah yang sangat berat.
Secara teori, kekuasaan plus monopoli minus akuntabilitas, maka di situ bibit-bibit korupsi muncul. Biangnya adalah kebutuhan, penghasilan kecil, adanya kesempatan dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi bisa terjadi bukan saja karena adanya niat tapi juga karena adanya kesempatan dan pembenaran. Pola hidup serakah, sikap sombong, mental riya’ dan desakan kehidupan sosial bisa juga menjadi biang korupsi yang tak bisa dianggap remeh dan sepele. Semuanya bagai satu ekosistem yang memberi magnet yang kuat untuk melakukan tindakan korupsi.
Karena itu, menurut Rizka Anungnata, elemen anti korupsi harus berjejaring. Elemen pemerintah dan non pemerintah mesti membangun jaringan yang kuat, bukan saja dalam rangka anti korupsi tapi juga dalam rangka pencegahan dan upaya edukatif yang membuat praktik korupsi dibenci dan semakin menghilang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kejujuran pun menjadi kunci utama mencegah korupsi. Ia harus menjadi nilai hidup yang terus terjaga dalam diri kita. Sehingga agenda pemberantasan korupsi yang dilakukan dengan pencegahan dan penindakan bisa berjalan dengan baik dan berdampak luas.
Melawan korupsi mesti dilawan dengan berbagai cara. Dari penguatan moral dan integritas (nilai, sikap dan kinerja) hingga manajemen pemberantasan korupsi yang lebih adaptif dan aplikatif. Di sini, juga membutuhkan partisipasi publik yang lebih aktif. Dalam konteks pemerintah daerah, pemerintah daerah bukan satu-satunya pelaksana pembangunan, sebab elemen publik memiliki tanggungjawab yang sama. Elemen publik bisa berperan dalam aspek saran dan koreksi kritis pada pemerintah termasuk pada penegak hukum. Elemen perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa juga punya peran yang signifikan. Intinya, kita harus berintegritas dan berkolaborasi untuk melawan korupsi. (*)