JAKARTA, fajardatu.com – Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa pembangunan ekonomi yang inklusif dan tangguh menuntut integrasi antarsektor, regulasi yang responsif, kebijakan fiskal-moneter yang sinergis, serta penggunaan Governance, Risk, and Compliance (GRC) yang adaptif dan kolaboratif. Hal ini menjadi krusial dalam menopang pertumbuhan yang berkelanjutan dan memperkuat ketahanan nasional.
“Sebagai bentuk kesiapan menghadapi tantangan ini, pemberdayaan ekosistem Governance, Risk, and Compliance (GRC) yang adaptif, kolaboratif, dan inklusif menjadi sebuah keniscayaan. Di tengah percepatan digitalisasi, risiko baru seperti kejahatan siber, fraud lintas batas, dan regulatory arbitrage, menuntut tata kelola yang lebih terintegrasi,” kata Mahendra dalam kegiatan OJK Risk and Governance Summit (RGS) 2025 di Jakarta, Selasa.
Acara RGS digelar sebagai forum strategis untuk memperkuat ekosistem Governance, Risk, and Compliance (GRC) di sektor jasa keuangan, dan mengangkat tema “Empowering the GRC Ecosystem to Drive Economic Growth and National Resilience”. Kegiatan ini menegaskan bahwa penguatan GRC menjadi kunci bukan hanya untuk menjaga stabilitas, tetapi juga untuk membuka peluang pertumbuhan dan memperkuat ketahanan nasional menghadapi tantangan global.
Mahendra menegaskan bahwa OJK berkomitmen memperkuat sinergi dengan berbagai lembaga negara, LJK, serta asosiasi profesi GRC untuk memperkuat governance dan integritas sektor jasa keuangan. Menurutnya, kolaborasi ini bukan hanya formalitas, melainkan langkah strategis membangun ekosistem GRC yang saling menopang, berlandaskan profesionalisme, dan berorientasi pada integritas.
“Forum seperti RGS diharapkan menjadi ruang strategis untuk menyamakan persepsi, memperkuat nilai dan budaya tata kelola yang baik, serta menjembatani kesenjangan antara regulasi dan implementasi. Sebab di era penuh ketidakpastian ini, GRC bukan hanya alat kepatuhan, tetapi kompas strategis untuk mengarahkan langkah menuju stabilitas dan pertumbuhan berkelanjutan,” kata Mahendra.
Ketua Dewan Audit merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Sophia Wattimena, dalam kesempatan itu menyatakan bahwa penguatan Governance, Risk, and Compliance (GRC) merupakan pilar penting dalam mendukung Asta Cita, khususnya misi penguatan sektor jasa keuangan serta reformasi tata kelola dan pemberantasan korupsi.
Menurutnya, transformasi tata kelola menjadi salah satu strategi besar untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, yang mana sektor jasa keuangan diharapkan memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan yang kuat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus penipuan digital di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dengan modus yang semakin kompleks, terorganisir, dan menyasar seluruh lapisan masyarakat melalui berbagai platform digital.
Untuk itu, OJK bersama Satgas PASTI membentuk IASC yang merupakan pusat penanganan penipuan (scam) yang menggunakan transaksi di sektor keuangan, dengan metode penanganan yang cepat dan berefek-jera.
Data Laporan Scamming
Berdasarkan laporan terkini IASC hingga 17 Agustus 2025, tercatat telah masuk 225.281 laporan diterima; 139.512 laporan dari korban melalui pelaku usaha dan diteruskan ke IASC, 85.769 laporan korban langsung ke sistem IASC.
Sebanyak 359.733 rekening terverifikasi, dengan 72.145 rekening telah diblokir. Kerugian dana korban mencapai Rp4,6 triliun, dengan Rp349,3 miliar dana berhasil diblokir.
Data ini menegaskan betapa seriusnya ancaman scam terhadap masyarakat dan urgensi kolaborasi antar-otoritas serta industri dalam mempercepat penanganan laporan, pemblokiran rekening, dan pelacakan pelaku.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menekankan pentingnya meningkatkan literasi dan kewaspadaan masyarakat sebagai garda terdepan melawan scam. (*)