Oleh: Diding Karyadi
PRESIDEN RI, Joko Widodo, resmi dilantik dan mengambil sumpah jabatan, Minggu (20/10/2019). Bersama wakilnya, KH Ma’ruf Amin, ia akan mengemban amanat rakyat Indonesia untuk masa jabatan kedua, periode kepemimpinan 2019-2024.
Ada hal menarik dalam pidato awal kepemimpinanya. Tentu bukan sekadar pidato, atau pidato dalam rangka kampanye.
Melainkan pidato yang akan terdokumentasikan sebagai program kerja Presiden Indonesia.
Jokowi menyebut periode kali ini adalah periode kerja keras yang tidak lagi terfokus pada prosesnya. Kerja-kerja keras yang akan dinilai hasilnya melaui titik pencapaian.
Pendistribusian anggaran bukan hanya selesai pada pengiriman, melainkan harus dicek kebenaran penggunaannya, apakah sudah diterima dengan baik dan benar.
Mekanisme untuk itu sudah disiapkan dan akan segera diberlakukan. Reformasi birokrasi yang sudah berjalan sejak ia menjadi presiden, akan ia lanjutkan dengan segala perbaikan.
Eselonisasi akan ia pangkas agar lebih efektif dan efisien. Tidak akan ada lagi pejabat eselon III dan IV, cukup dua eselon saja, dan digantikan pejabat yang mumpuni dalam ranah fungsional.
Presiden sebagai kepala pemerintahan jelas mempunyai kewenangan dan fungsi yang total dalam pelaksanaan birokrasi.
Ia bahkan menjanjikan tidak main-main dengan programnya itu. Siapa yang membangkang siap-siap saja pencopotan akan dikenakan kepada yang bersangkutan.
Kebijakan radikal tersebut tentu akan menuai pro-kontra dalam pelaksaannya. Tetapi penyampaian yang sudah demikian bulat, di hadapan Sidang Umum MPR pula, tak pelak merupakan satu indikator bahwa mulai besok, pemerintah akan ada dalam satu koridor untuk menyukseskannya.
Kita tinggal melihat seberapa cepat atau seberapa dahsyat pelaksanaannya di lapangan. Masihkah birokrat berjalan “lamban” untuk sebuah keputusan maha penting menyangkut dirinya?
Jokowi pun, bersama DPR, telah menyiapkan UU –dalam istilah Jokowi UU besar– yang akan merancang peningkatan sumber daya manusia dan peningkatan usaha kecil dan menengah.
Kedua UU tersebut diharapkan mampu membesut peningkatan pendapatan yang berujung pada tercapainya kesejahteraan sosial yang adil dan merata.
Jujur, pidato Jokowi kali ini cukup membuat bulu kuduk merinding membangkitkan optimisme. Di lain pihak ada kekhawatiran yang menguar dari kemapanan –untuk tidak menyebut kejumudan– yang diwarning akan segera tergeser.
Tidak terlalu berlebihan karena pada periode pertamanya sebagai presiden ia telah mampu menunjukkan kekeraskepalaan, atau dalam istilah yang lebih prokem “ndableg” sebagai seorang kepala negara.
Terlepas dari pengaruh orang-orang di seputar istana yang selama ini menjadikannya bagai singa tanpa auman. Atau sistem negara ini yang tidak sepenuhnya presidential yang menjadikannya harus berjibaku dengan parlemen, meski kebijakan yang ia ambil masih berada di tataran eksekutif.
Terakhir, di awal pidatonya Jokowi menunjuk satu titik, yaitu tahun 2045, sebagai penanda keberhasilan jangka panjang bangsa ini. Di usianya yang ke-100 bangsa ini akan mampu menjadi negara yang maju dengan tingkat kemiskinan 0%.
Tentu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya juga patut diperhatikan agar kemerdekaan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Selamat Pak Jokowi dan Kyai Ma’ruf Amin, selamat bekerja.
Tamat.