Umroh Bersama Kuwu Cirebon (3)
Oleh: H. Diding Karyadi (GM fajarsatu.com)
MEKAH, fajarsatu.- Ada cerita menarik yang terjadi di hari ketiga pelaksanaan umroh para kuwu se-Cirebon, Kamis (23/1/2020).
Hari itu jamaah diberi kesempatan untuk berwisata di Kota Mekah dan sekitarnya, sebelum mengambil Miqat (niat umroh sekaligus berpakaian ihrom) untuk kedua kalinya.
Hari itu tempat-tempat yang dikunjungi antara lain, Jabal Tsur, Jabal Nur, Jabal Rahmah, Padang Arofah, Muzdalifah, Mina dan tempat mengambil Moqat, Jironah.
Ketika jamaah sampai di Jabal Rahmah atau dalam istilah Indonesia disebut Bukit Cinta, karena merupakan tempat bertemunya pasangan Nabi Adam As dan Siti Hawa, setelah dipisahkan selama 1.000 tahun lebih, tampak jamaah lain dari seluruh penjuru dunia sudah memadati tempat parkir hingga kaki bukit.
Sebagian malah sudah mencoba mendaki bukit batu tersebut, tak peduli usia dan kemampuan fisik mereka. Jamaah umroh kuwu pun segera bergabung, dan hampir semua rombongan turut mendaki untuk dapat berdoa di dekat tugu yang dibangun tepat di puncak bukit.
Sesampai di puncak bukit, suasana gaduh oleh hiruk-pikuk orang, mulai dari para pedagang souvenir yang menjajakan dagangannya dengan berbagai bahasa dan juga terdapat suara keras orang seperti berpidato leras atau malah menghardik para pengunjung.
Selidik punya selidik, ternyata ada loudspeaker yang sedang distel orang berpidato dalam belasan bahasa, tak terkecuali bahasa Indonesia. Isinya antara lain mengingatkan pengunjung akan bahaya kemusyrikan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Pekak telinga oleh pidato bertubi-tubi itu, yang disampaikan secara bergantian oleh orang berbeda dengan bahasa berbeda pula. Bahkan dalam salah satu bahasa , terkesan sang pembicara menghardik pengunjung dengan tidak berhenti-hanti
Seperti memangga jauh dari api, atau kata pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, pidato tersebut sama sekali tidak ada pengaruhnya.
Mereka tetap berduyun-duyun di puncak bukti sambil mempraktekkan apa yang dilarang dalam pidato. Seperti mencium dan memeluk batu, menulis (lebih tepatnya mencorat-coret) batu-batu dan semua yang bisa ditulis, baik dengan alat tulis maupun hanya dengan telunjuk.
Alhasil pidato yang keras dan memggebu-gebu tersebut tidak ada pengaruhnya bagi pengunjung. Ketika penulis menanyakan hal tersebut kepada salah seorang pengunjung asal Indonesia, jawabannya sederhana.
“Ya asal nulis aja Mas. Masak begitu aja musyrik,” katanya diiringi derai tawa jahil. (FS-1)