CIREBON, fajarsatu.- Viral berita dibongkarnya situs makam Sultan Matangaji oleh developer menghiasi sejumlah media lokal dan nasional. Siapakah Sultan Matangaji ini? Inilah kisah heroiknya. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan.
Kebijakan ini mendapatkan tantangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Pergolakan melawan Belanda berkobar di Cirebon, Jawa Barat. Daerah ini memiliki sejarah peperangan yang dramatis dalam perjuangannya melawan pemerintah kolonial Belanda. Puncaknya sejak zaman Sultan Matangaji.
Saat itu, Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep. Demikian penuturan Filolog Cirebon, Opan Safari.
“Ada juga Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara,” ujar Opan Safari
Saat itu, lanjutnya, para santri selain memperdalam ilmu Islam, juga dilatih silat untuk kepentingan melawan penjajahan. Jajaran Kuwu dan bawahan dan rakyatnya juga membentuk pemberontakan di seluruh desa di Cirebon.
Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin (1753-1773). Saat itu, Sultan Tajul Asikin Amirzena mengawali perlawanan terhadap Belanda. Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon.
“Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati,” ucap Opan.
Namun, setelah Sultan Amirzena meninggal dunia tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin (Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786).
Sultan Amir Siddiq secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker.
“Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju,” imbuh Opan.
“Belanda mengenal Gua Sunyaragi sebagai istana musim panas atau istilahnya tempat dugem (dunia gemerlap) para Sultan dengan haremnya. Padahal sebenarnya memang dirancang untuk perlawanan.”
Namun, di tengah membangun kekuatan melawan Belanda, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda, tak lama kemudian Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi.
“Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji. Di tengah perundingan itu Sultan Matangaji membangun pesantren di daerah Sumber untuk membuat perlawanan sehingga terjadi perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang,” Opan mengungkapkan.
Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali. Namun, ketika perundingan yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda (adik ipar Sultan Matangaji) terjadi, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji.
Kendati dihabisi, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan Matangaji. Sehingga Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji. Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri.
“Ternyata perjuangan berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji,” tutur dia.
Kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus Serit (Pangeran Syakroni).
“Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari .
Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818. (*)