Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Agar Ramadan Merindui Kita”
KITA mungkin membaca kisah ini. Pada zaman Rasulullah Sallallahu‘alaihi wasallam, hiduplah seorang pemuda yang bernama Zahid, yang berumur 35 tahun.
Usianya sangat millenial bila ditelisik dari usia generasi yang lagi tenar zaman ini. Usia semillenial itu, ternyata masih dalam status: belum menikah. Ia sendiri tinggal di Suffah (teras) masjid Madinah.
Suatu ketika, di saat ia sedang mengasah pedangnya, tiba-tiba Rasulullah datang dan mengucapkan salam. Zahid kaget dan menjawabnya agak gugup.
“Wahai saudaraku Zahid selama ini engkau sendiri saja,” Rasulullah menyapa.
“Allah bersamaku ya Rasulullah,” kata Zahid, sambil tertunduk tak kuasa melihat kharismatik wajah Beliau.
“Maksudku mengapa engkau selama ini membujang saja, apakah engkau tidak ingin menikah?” tanya Rasulullah.
“Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku tak tampan, siapa yang mau dengan diriku ya Rasulullah?”, jawab Zahid. Mirip jawaban sebagian kaum millenial zaman ini.
Namun sebagaimana dalam banyak momentum untuk para sahabatnya yang lain, kali ini Rasulullah membangan optimisme dan kepercayaan diri Zahid.
”Asal engkau mau, itu urusan yang mudah.” kata Rasulullah sambil tersenyum bahagia.
Kemudian Rasulullah memerintahkan sahabatnya itu untuk membuat surat yang isinya adalah melamar wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita.
Setelah surat itu selesai ditulis, maka Rasulullah memberikan surat tersebut kepada Zahid dan memerintahkan agar segera mendatangi rumah Said dan menyerahkan surat lamaran tersebut kepadanya.
Disebabkan di rumah Said sedang ada tamu, maka Zahid setelah memberikan salam kemudian memberikan surat tersebut dan diterima di depan rumah Said.
“Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasulullah yang mulia diberikan untukmu saudaraku”, ucap Zahid.
Said menjawab, “Wah, ini adalah suatu kehormatan buatku”.
Lalu surat dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab pernikahan selama ini biasanya seorang bangsawan harus nikah dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus nikah dengan yang kaya.
Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?”
Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong”.
Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, “Wahai Ayah, mengapa sedikit tegang terhadap tamu ini, bukankah lebih baik di persilahkan masuk?”
“Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya,” kata ayahnya.
Di saat Zulfah melihat Zahid, sambil menangis ia berkata, “Wahai Ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tak mau dengan dia Ayah!”
Seketika Zulfah menangis dan merasa enggan dirinya dinikahkan dengan sosok yang kini hendak melamarnya.
Maka Said berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau, bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak.”
Mendengar nama Rasul disebut Ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada Ayahnya, “Wahai Ayah, mengapa membawa-bawa nama Rasulullah?”
Akhirnya Said berkata, “Lamaran kepada dirimu ini adalah perintah Rasulullah.”
Zulfah kaget kemudian beristighfar beberapa kali.
أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ…أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ…أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ
Ia sangat menyesal atas kelancangan lisan dan kekeliruan sikapnya itu.
Seketika ia berkata kepada Ayahnya, “Wahai Ayah, mengapa tidak sejak tadi Ayah berkata bahwa yang melamar ini Rasulullah? Kalau begitu segera aku harus dinikahkan dengan pemuda ini. Karena aku ingat firman Allah dalam al-Qur’an surah An-Nur:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور ٥١)
Artinya: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka diminta Allah dan Rasul-Nya agar Rasul yang mengadili (mengambil keputusan) diantara mereka, ucapan yg muncul hanyalah : Kami mendengar, dan kami patuh/taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nur 24: 51)”
Seketika, pada hari itu Zahid, sosok yang dicintai Rasulullah itu, merasa jiwanya melayang-layang ke angkasa. Dan baru kali ini merasakan bahagia yang tiada taranya.
Kemudian ia pun segera melangkah pulang. Sampai di masjid ia bersujud syukur. Rasulullah yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.
“Bagaimana Zahid?” tanya Rasulullah sembari gembira dengan tingkah sahabatnya yang terlihat berbeda dari biasanya.
“Alhamdulillah lamarannya diterima ya Rasalullah,” jawab Zahid singkat.
“Apakah sudah ada persiapan?” tanya Rasulullah lagi.
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Ya Rasulallah, aku tidak memiliki apa-apa.”
Akhirnya Rasulullah menyuruhnya pergi ke beberapa sahabat untuk membantunya mendapatkan uang untuk menikah. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan pernikahan.
Tak lama kemudian setibanya di pasar, bersamaan itu pula ada pengumuman jihad untuk perang melawan orang kafir yang mau menyerang masyarakat muslim Madinah. Zahid Mulai bingung untuk menentukan sikap, menikah atau berjuang demi Agama Allah.
Akhirnya dia mencoba kembali lagi ke masjid. Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan perlengkapan senjata.
Zahid bertanya, “Ada apa ini?”
Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini org kafir akan menghancurkan kita, apakah engkau tdk mengetahui?”
Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “Wah jika begitu uang untuk menikah ini akan aku belikan baju besi dan kuda yang terbaik, aku lebih memilih jihad bersama Rasulullah dan menunda pernikahan ini.”
Para sahabat menasihatinya, “Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau malah hendak berperang?”
Zahid menjawab dengan tegas, “Hatiku sudah mantap untuk bersama Al-Musthafa Rasulullah pergi berjihad.”
Lalu Zahid membacakan ayat al-Quran di hadapan sahabat Nabi:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا ….
Artinya: “Katakanlah, Jika bapak -bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai , itu semua lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dengan) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah… (QS. At Taubah, 9: 24), hingga ujung akhir ayat.
Akhirnya Zahid maju ke medan pertempuran. Dengan hebatnya beliau bertempur, banyak dari kaum kafirin tewas di tangannya dan pada akhirnya beliau mendapatkan syahid. Gugur demi membela agama Allah dan Rasulullah.
Peperangan pun telah usai, kemenangan direbut oleh Rasul dan pasukannya. Suatu peristiwa yang tidak saja menggembirakan Rasulullah tapi juga para sahabatnya.
Rasulullah memeriksa satu persatu yang telah gugur di jalan Allah, sebagai Syuhada. Nampak dari kejauhan sosok pemuda yang bersimbah darah dengan luka bekas sasatan pedang.
Rasulullah menghampiri jasad pemuda itu sambil meletakkan kepalanya di pangkuan manusia agung ini. Rasulullah memeluknya sambil menangis tersedu-sedu, “Bukankah engkau ya Zahid yang hendak menikah malam ini? Tapi engkau memilih keridhaan Allah, berjihad bersamaku.”
Tak lama kemudian Rasulullah tersenyum sembari memalingkan muka ke sebelah kiri karena malu. Apa sebab? Ternyata sesosok bidadari cantik dari Surga menjemput ruh mulia Zahid ini, dan tak sengaja gaunnya tersingkap hingga betisnya yang indah terlihat, ini yang membuat Rasulullah malu.
Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”
Lalu Rasulullah membacakan Al-Quran
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ * فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ
مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (آل عمران ١٦٩ – ١٧٠)
Artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sejatinya mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan bahagia disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran, 3: 169-170.)
Seketika itulah para sahabat meneteskan air mata, dan Zulfah pun berkata; “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak dapat mendampinginya di dunia, maka izinkanlah aku mendampinginya di akhirat.”
Begitulah kisah ajaib para pejuang di jalan Allah. Atas bimbingan Allah dan Rasul-Nya mereka memahami kehidupan ini sebagai medan jihad yang sesungguhnya.
Urusan menikah atau nikah yang sifatnya sangat personal, mereka tempatkan dan orientasikan dalam bingkai Lillah dan Lirasulillah. Untuk Allah dan Rasul-Nya.
Zahid dan Zulfah adalah sosok penting sekaligus teladan terbaik bagaimana melakoni kehidupan dalam naungan Allah dan bimbingan Rasulullah.
Lalu, masih adakah Zahid dan Zulfah zaman ini? Saya optimis dan percaya, bahwa kita bisa meneladani kedua sosok itu. Ya, umat Islam masih bisa menghadirkan sosok seperti itu pada zaman ini.
Tak mesti jihad di medan laga dan tak mesti dalam persoalan pernikahan semata. Tapi juga dalam medan lain, dalam banyak aspek kehidupan lainnya. Tak selalu pada jenisnya, tapi pada orientasinya.
Lebih-lebih pada momentum ramadan mulia 1441 H (2020), dalam suasana berbagai negara di dunia dan negara kita Indonesia dilanda bencana non alam Covid-19 ini, mari memohon kepada Allah akan bimbingan dan kekuatan-Nya.
Ya Allah, mohon perkenankan kami menjadi hamba-Mu yang mengorientasikan seluruh aktivitas dan kehidupan kami dalam bingkai syariat, berkah dan ridho-Mu seperti yang dicontohkan Rasulullah, Zahid dan Zulfah juga para sahabat tercinta Rasulullah yang lainnya! (*)
Ahad 3 Ramadan 1441 H/26 April 2020