Oleh: Rifki Azis
KISRUH ramai di berbagai media elektronik maupun cetak terkait wabah Corona Virus Disease yang beberapa bulan kemarin merebak di berbagi penjuru dunia hingga saat ini seperti, China, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Korea Utara, termasuk Indonesia.
Di media misalnya telah diberitakan ada 27.549 yang terkonfirmasi, dirawat 17.951, 1.663 meninggal dan 7,935 sembuh. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang terjangkit virus Corona dengan persentase kematian tertinggi.
Memburuknya wabah virus Corona mengharuskan pemerintah mengambil sikap. Baru-baru ini, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyarankan setiap individu untuk menerapkan Social Distancing guna menghadapi pandemi COVID-19.
Ketika menerapkan social distancing, seseorang tidak diperkenankan untuk berjabat tangan serta menjaga jarak setidaknya 1 meter saat berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang sedang sakit atau berisiko tinggi menderita Covid-19.
Selain itu, ada beberapa contoh penerapan social distancing yang umum dilakukan, yaitu bekerja dari rumah (work from home), belajar di rumah (learn at home) secara online bagi siswa sekolah dan mahasiswa, menunda pertemuan atau acara yang dihadiri orang banyak, seperti konferensi, seminar dan rapat, atau melakukannya secara online lewat konferensi video atau teleconference.
Sekalipun akrabnya manusia dengan media hari ini seperti tidak bisa dipisahkan keberadaanya, pada hakekatnya ada sisi positif dan negative. Namun penulis hari ini melihat manusia lebih justru disibukan oleh media Internet dan berita-berita
Hoaks yang beredar lepas penuh pro-kontra terkait isu-isu terkini. Semua itu bukanlah kesalahan jika apa yang menjadi konsumsi mereka selama ini adalah baik dan sekedarnya saja sesuai kebutuhan, tidak mengurangi dan melupakan sisi-sisi lain seperti hubungan dirinya dengan pencipta-Nya.
Mengenal Bahaya-bahaya yang Ditimbulkan oleh Sifat Su’ul Khatimah dan Ilmu Ma’rifat
Ringkasnya, di dalam kitab Terjemah Minhajul ‘abidin mengutip dari kitab Ihya ‘Ulumuddin yang menjelaskan, ada dua tingkatan yang keduanya sangat besar bahayanya. Kebanyakan orang saleh takut dengan Su’ul Khotimah.
Pertama, yaitu hati dan perasaan seseorang ketika sakaratul maut (baca: detik-detik kematian) segera merenggutnya. Maka hatinya akan menjadi ragu-ragu dan tidak percaya lagi kepada Allah, hingga ia mati dalam keadaan tidak beriman.
Naudzubillah! Dalam hal ini, sifat kufurlah yang menghalangi dirinya dengan Tuhannya, yang membuatnya berpaling dari Allah untuk selamanya. Maka bersiaplah azab yang sangat pedih dan kekal akan menimpanya.
Kedua, yaitu seseorang yang ditunggangi oleh kecintaan terhadap urusan duniawi yang tidak ada hubungannnya dengan kehidupan akhirat. Apapun itu, misalnya; seseorang sedang membangun rumah, kemudian sakaratul maut akan segera menjemputnya.
Dalam keadaan seperti itu, ia tidak ingat apa-apa melainkan hanya memikirkan pembuatan rumahnya yang belum selesai. Maka jika mati dalam demikian, berarti ia mati dalam keadaan jauh dari Allah ta’alaa.
Hatinya tenggelam dalam kecintaan terhadap harta dan dunia, bahkan berpaling dari Allah. Dan jika seseorang sudah berpaling dari Allah, maka azab Allah balasannya. Sedangkan seorang mukmin yang bersih hatinya, tidak bersifat hubbud-dunya (cinta dunia), dan selalu ingat kepada Allah adalah yang disebut di dalam Al-Quran:”(Yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Q.S asy-Syu’araa:87-88).
Dan yang terakhir, ilmu ma’rifat adalah orang yang harus mengenal empat perkara, Mengenal Dirinya, Mengenal Tuhannya, Mengenal Dunia dan Akhirat. Maksud Mengenal Dirinya adalah merasa bahwa dirinya adalah hambah Allah yang lemah dan membutuhkan.
Mengenal Tuhannya ialah mengetahui dengan sebenar-benarnya dan yakin bahwa hanya Allah yang berhak disembah, Yang Agung dan Yang Kuasa. Selanjutnya ia merasa bahwa dunia ini hanyalah padang pengembaraan menuju tempat kembali, yakni akhirat.
Bila seseorang telah mengenal diri dan Tuhannya, dunia dan akhirat, tentu akan timbul kecintaan kepada Allah, sebagai hasil ma’rifat kepada-Nya. Dengan mengenal akhirat, akan timbul rasa rindu terhadap akhirat. Kemudian yang terpenting adalah segala yang dapat mengantarkan mereka kepada keridlaan dan rahmat Allah, serta segala yang bermanfaat untuk hidup diakhirat.
Namun kita sebagai manusia pun seringkali terpukau oleh gebyar meriahnya dunia dan melupakan kehidupan setelah kehidupan di dunia yang tanpa disadari telah jauh berjarak dengan-Nya sehingga mudah sekali untuk melakukan kemaksiatan, dan tidak ada rasa takut kepada Allah sebab kurangnya kita menyebut dan mengingat-Nya.
Dan bisa dirasakan langsung seketika juga jika ingin mengetahui diri sendiri apakah selama ini ada jarak yang jauh dengan-Nya, misalnya seberapa banyak lisan kita menyebut asma-Nya? seberapa besar kita membenci kemaksiatan atau kemungkaran? Dan amalan-amalan apa yang sudah kita lakukan untuk selalu dekat dengan-Nya? atau jangan-jangan kita termasuk orang yang sering lalai dan kering hati kita dalam mengingat-Nya?
Allah Ta’alaa berfirman:“ Dan kehidupan dunia tak lain adalah permainan dan senda gurau”(Q.S al-An’am: 32). Begitulah Allah Ta’ala memperumakan kehidupan dunia ini, permainan dan senda gurau. Maka perlu sekali bagi kita semua secara continue merenungi, dan jangan sampai salah menempatkan dunia yang sedang kita jalani di hati, apalagi sampai dijadikan sebagai tujuan akhir dan terlalu sibuk dengan hal-hal yang tidak mengantarkan kita kepada Allah bahkan jauh berjarak dengan-Nya.
Tak hentinya kita berdo’a memohon ampun atas segala khilaf, meminta penjagaan dari-Nya dari segala hal-hal yang merugikan kita di dunia dan akhirat serta di mudahkan untuk selalu taat kepada-Nya. Sebab tempat terbaik untuk kembali kita semua adalah di sisi-Nya. SELF DISTANCE TO GOD? Quo Vadis! (*)
Penulis adalah guru PAI di SMK Ulil Albab Depok, tinggal di Cirebon