Oleh: Syamsudin Kadir
MENULIS adalah tugas sejarah. Ia berpijak pada nilai dan prinsip keluhuran. Bahwa idealisme tak boleh terhempas karena realisme. Walau secara teknis konten tetap memadukan antar keduanya, namun itu tak berarti meleburkan kejelasan tujuan pada syahwat pragmatisme.
Dalam konteks itulah dibutuhkan apa yang disebut dengan adaptasi atau kontekstualisasi. Konsistensi dan kesetiaan pada perspektif semacam itu bukan saja berat tapi juga penuh godaan. Sebab di sini bukan lagi soal melahirkan kata-kata atau tradisi menulis, tapi juga substansi narasinya.
Sejarah adalah pergulatan ide dan ide, narasi dan narasi, serta teks dan konteksnya. Maka literasi tak melulu soal jumlah kata dan akumulasi produksi dokumen dalam bentuk buku dan serupanya. Literasi juga berbicara soal produksi ide dan narasi yang adaptif dengan kebutuhan zaman.
Berikutnya, sejarah adalah akumulasi ide dan narasi generasi lintas zaman. Maka pergulatan hari ini sejatinya lanjutan atau mungkin bentuk adaptasi dari pergulatan di masa lalu dalam beragam konteksnya. Dari politik dan ekonomi hingga sosial bahkan juga ideologinya. Begitu juga sejarah masa depan, ia adalah akumulasi.
Maka menulislah karena memang mesti melakukannya, bukan sekadar ingin melakukannya. Karena sekadar ingin tak mampu menghadirkan karya yang terbaca. Namun bila mesti maka daya dorongannya begitu kuat, disukai atau tidak disukai tetap dan bakal terus berkarya.
Tak soal bila banyak berpikir tentang keagungan masa lalu sejarah, namun ia akan produktif bagi masa depan manakala ditalar secara mendalan bukan sekadar dirayakan. Kemampuan menalar akan menentukan apa dan bagaimana semestinya meretas masa depan sejarah baru.
Seingat saya, hingga kini saya baru menulis 27 buku dalam beragam tema. Beragam, sebab saya bukan ahli atau pakar di bidang tertentu. Saya menulis dengan baju bebas, pola terbuka dan tentu layak dikritik juga dibimbing. Baik dalam bentuk artikel maupun dalam bentuk buku juga dalam bentuk lain.
Dalam hitungan kalender masehi, pada Sabtu 8 Agustus 2020, saya genap berusia 37 tahun. Sebagai warga negara dari sebuah negara besar bernama Indonesia, kadang saya merenung tentang apa yang sudah saya lakukan atau kontribusikan. Nyaris dalam usia demikian saya belum melakukan apa-apa.
Apalah lagi saya bukan tokoh politik, bukan birokrat, bukan akademisi, bukan pengusaha bahkan saya tidak pernah melabel diri sebagai penulis dalam bingkai profesi. Saya hanya warga biasa yang belakangan tergoda untuk menulis tanpa beban dan rasa takut untuk berkarya.
Sekali lagi, bagi saya menulis adalah tugas sejarah. Mungkin bila dinisbatkan bagi bangsa dan peradaban umat manusia itu terlalu bombastis dan mewah. Maka saya menulis minimal untuk sejarah saya sendiri dan mereka yang mencintai saya tanpa tapi atau keraguan.
Saya sadar betul bahwa keterbatasan dan kelemahan diri tak boleh merampas kenikmatan dalam membangun imajinasi tentang masa depan. Justru itu dijadikan alasan paling kuat untuk terus mencicil sejarah. Minimal sebagai pembuka. Ya saya sedang memulai dan terus berlanjut.
Apalah lagi di keluarga saya, sejak dulu para leluhur hingga kini, saya benar-benar tak menemukan diantara mereka yang pernah menulis artikel atau buku. Bahkan mungkin belum ada yang punya ketertarikan pada dunia literasi terutama kepenulisan. Karena itu ketertarikan saya pada aktivitas kepenulisan menemukan relevansi dan konteksnya.
Terima kasih banyak kepada siapapun yang selama ini mendoakan, membimbing, mengarahkan, mengoreksi, membaca, dan menikmati berbagai tulisan saya dalam berbagai bentuk dan beragam tema; tak terkecuali dalam bentuk buku. Tanpa itu semua, saya tak bakal bisa ketagihan menulis.
Terima kasih juga kepada kalangan media massa dan media online yang telah memuat tulisan saya serta penerbit yang telah menerbitkan tulisan saya selama ini. Atas bantuan dan kerjasama dari semuanya, saya menjadi tak kehilangan optimisme dan percaya diri.
Selebihnya, pada kesempatan yang baik ini, pada momentum usia saya genap 37 tahun, saya mengajak siapapun: Mari menulis, mumpung masih muda atau waktu masih bersama kita. Karena esok atau lusa bisa jadi tak ada daya untuk sekadar mengungkapkan abjad. Atau mungkin sudah tak ada lagi jatah hidup di alam dunia yang fana ini. Maka menulislah, minimal untuk mencicil sejarah kita masing-masing! (*)
(*) Syamsudin Kadir adalah Penulis buku “Melahirkan Generasi Unggul”