Oleh: Ratih Yusdar
BUKAN cerita baru kalau dalam setiap musim kampanye menjelang pemilu/pilkada, calon terpilih di pemilu/pilkada tersebut tiba-tiba berubah wujud dalam gaya busana menirukan ustadz-ustadz ataupun bergaya ala kyai. Bahkan tak perduli dengan agama yang dianut yang non muslim pun ikut-iikutan berbusana layaknya seorang muslim.
Apalagi yang muslim mendadak berlaku sholeh/sholeha, berkunjung ke mesjid-mesjid maupun majelis-majelis taklim untuk mendapatkan simpati. Mereka berupaya meyakinkan masyarakat melalui penampilan, dan janji-janji manis untuk meraih suara dalam pemilihan. Politisasi agama dan money politics merupakan bumbu kampanye yang sangat subur dalam sistem demokrasi.
Ketua umum organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi, mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya.
“Menurut saya politisasi agama adalah bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati, “katanya, saat webinar Moya Institute bertema “Gaduh Politisasi Agama”. (republika.co.id, 19/11/2020).
Masih dalam forum yang sama, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Muhammad Cholil Nafis, mengatakan apa yang terjadi akhir-akhir ini bukan karena kegagalan NU dan Muhammadiyah dalam membimbing umat, tetapi lebih pada kegagalan orang yang ingin membawa isu liberal.
“Liberal ini melahirkan radikalisme. Yang kita hadapi ini buah dari proses liberalisasi. Jadi, jangan sampai kita menepi menjadi radikalisme. Bagaimana memasyarakatkan moderasi Islam agar orang tidak menepi ke kanan dan ke kiri,” ujar Cholil. (antaranews.com, 19/11/2020).
Politisasi agama dan politik uang ini tidak hanya terjadi di mesjid-mesjid maupun majelis taklim tapi merambah ke semua area keagamaan termasuklah juga ke gereja-gereja yang tentu saja bertujuan sama yaitu untuk meminta do’a dan dukungan dari jemaatnya juga.
Bawaslu dan Panwaslu yang bertugas mengawasi jalannya proses pemilihan agar bersih dan bebas dari politisasi itu memang sudah bekerja, tetapi hasilnya masih terasa kurang maksimal. Mereka memang kadang juga berhasil menemukan dan membuktikan adanya politik uang, tetapi banyak juga yang lolos. Sehingga yang paling utama adalah kesadaran masyarakat agar memilih yang terbaik dengan mengesampingkan unsur agama dan uang. (hariansib.com, 7/11/2020).
Selama ini, sepanjang hidupnya sistem demokrasi di Indonesia, maka politisasi agama dan uang tidak bisa dihindari di setiap menjelang pemilu/pilkada. Para kontestan saling berebut suara rakyat demi kursi dan ambisi mereka sehingga semua dianggap sah-sah saja selama masih bisa berkelit dari batasan regulasi yang ada. Rakyat terbuai dengan stigma yang terlanjur melekat bahwa demokrasi itu berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sehingga rakyat bersifat masa bodo menanggapi kampanye yang terselubung dibalik politisasi agama dan uang. Mereka masih yakin aja bahwa janji-janji yang diusung oleh calon-calon tersebut sudah pastilah untuk rakyat. Rakyat masih aja percaya dan selalu berpikir yang ini pasti beda dari yang itu. Sehingga masih banyak saja rakyat yang dengan mudahnya menerima pemberian apa pun yang diberikan oleh para kontestan pemilu/kada.
Akhirnya sebagian besar rakyat tidak lagi memikirkan dampak 5 tahun ke depan, yang penting siapa yang memberi dan terlihat religius di balik topeng atribut agama itulah yang baik untuk mereka pilih.
Bagaimana politisasi agama dalam perspektif Islam? Kalau ditinjau dari segi makna politisasi agama itu sendiri artinya mengelabui/membohongi orang yang beragama untuk kepentingan politik. Membohongi atau melakukan pembohongan adalah perkara yang sangat jelas bertentangan dalam Islam dan termasuk suatu tindakan tercela yang dilarang Allah.
Di dalam Al-Quran dikatakan bahwa berbohong adalah termasuk perbuatan orang-orang yang tidak beriman. Jadi bagaimana mungkin Islam menerima politisasi agama yang isinya kebohongan. Rasullullah telah menegaskan melalui hadistnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu berkata bohong, ingkar janji, mengkhianati amanah”.
Jadi, perbuatan politisasi agama yang berisi kebohongan itu adalah sifat-sifat orang munafik, dan sifat munafik itu sendiri adalah haram hukumnya dalam Islam. Maka itu dalam Islam tidak dikenal politisasi agama.
Kita belajar mencontoh dari bagaimana Nabi Muhammad SAW dahulu ketika diangkat menjadi pemimpin. Beliau bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama saja, tetapi beliau juga pemimpin bangsa dan negara.
Rasulullah menjadi pemimpin melalui kesepakatan yang alami. Sedangkan sahabat Abu Bakar yang menggantikan Rasulullah sebagai khalifah pertama diangkat melalui dukungan beberapa orang tokoh, terutama dari kalangan Muhajirin dalam peristiwa Tsaqifah Bani Sai’dah; diawali oleh Umar Bin Khattab, diikuti oleh Ustman Bin Affan, kemudian yang lainnya.
Jadi, di dalam Islam politik itu dijalankan sesuai dengan aturan agama yang bersumber pada Alqurán dan as sunnah. Bukan berdasarkan undang-undang yang dibongkar pasang oleh manusia.
Orientasi politik dalam sistem Islam difokuskan dengan masalah kekuasaan untuk menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Menerapkan hukum-hukum Allah yang telah tertuang dalam Al-Quran dan as sunnah. Dan kekuasaan tertinggi bukan terletak pada manusia melainkan ada pada kekuasaan Allah SWT. Allah Azza wa jalla yang berhak, berkuasa untuk menentukan siapa khalifah di muka bumi ini, sebagaimana firman-Nya:
: قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali ‘Imrân: 26)
Jika umat mau belajar mau memahami dan mau menta’ati segala aturan hidup sesuai dengan alqur’an dan hadist tentulah umat akan memiliki satu rasa satu visi dan satu misi dalam menegakkan syari’at Islam (Daulah Khilafah) sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ Artinya, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam secara sempurna. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (QS. Al-Baqarah: 208)
Jika seruan masuk Islam secara kaffah disikapi dengan akal yang benar dengan cara yang benar, niscaya umat juga tidak akan mau diperdaya oleh politisasi agama, tidak akan mudah di adu domba hanya karena ambisi perebutan kekuasaan yang jelas-jelas tidak bertujuan untuk menegakkan hukum-hukum Allah.
Sebagai manusia yang telah dianugerahi akal yang sehat, sebaiknya jangan pernah bosan untuk terus belajar tanpa mengenal batasan usia agar tidak mudah dikelabui oleh politisasi agama atau uang dalam setiap pemilu/pilkada.
WAllohua’lam bisshowab
*Penulis adalah Aktivis Muslimah tingal di Medan Sumatera Utara