Karya: Muhamamad Lutfi
MALAM telah tiba. Para Pandawa beristirahat setelah lelah melakukan peperangan. Sudah banyak prajurit yang mati membanjiri Kurusetra. Krisna dan para Pandawa duduk di bawah malam. Mereka istirahatkan badan mereka yang lelah itu. Permadi mengurut kakinya sambil berkeluh-kesah.
“Begawan, seandainya aku mendengarkan suara serulingmu itu, pasti hilang kesemutan di kakiku.”
“Sebentar, biar lelahku hilang dahulu.”
Setelah mengurut kakinya dan tangannya yang sedikit keram-keram karena memacu kuda perang yang dinaiki Arjuna, Krisna segera memainkan serulingnya. Melodi Krisna membuat Arjuna bersemangat kembali. Telah hilang rasa capek dan pegal di tubuh Arjuna. Dia dengarkan melodi Krisna yang menentramkan hatinya itu. Tiba-tiba, melodi Krisna terpecah oleh suara tangisan. Suara tangisan tersedu-sedu dari dalam sebuah kemah.
“Arjuna, kamu dengarkah suara orang menangis?”
“Ini seperti suara Sadewa!”
“Sekiranya apa, yang membuat Ksatria kalem dan pendiam itu bisa menangis seperti ini?”
Arjuna dan Krisna menghentikan melodi. Mereka mencari sumber suara tangisan tersebut. Tangis tersebut berasal dari sebuah kemah yang padam cahayanya. Kemah yang gelap dan hanya diisi oleh tangisan. Arjuna dan Krisna masuk ke dalam kemah tersebut. Ternyata seorang Ksatria Pandawa yang bernama Sadewa sedang menangis. Dia bertumpah air mata. Arjuna segera mendekapnya. Air mata Sadewa banjir di pangkuan Arjuna.
“Adikku… apakah yang kamu lakukan ini pantas sebagai seorang Ksatriya?”
“Saya juga manusia!”
“Tetapi tidak pantas seorang lelaki menangis.”
“Saya sedang berduka.”
“Apa yang membuatmu berduka, apakah Duryudana telah memukulmu?”
“Tidak… Kangmas!”
“Lalu?”
“Aku menangisi kepergian Paman Salya. Dia adalah satu-satunya Paman yang aku miliki. Sejak kecil dia rawat kami seprti anak sendiri. Semenjak Ibuku meninggal, dia selalu mengasihi kami selayaknya anak sendiri.”
“Kepergian Paman Salya, seharusnya tidak kamu sesalkan! Dia menjalankan kewajiban sebagai seornag Ksatriya yang menyerahkan nyawa pada keponakannya sendiri.”
“Itu yang membuat aku makin bersedih.”
Sadewa makin menangis. Air matanya makin tertumpah. Pangkuan Arjuna semakin penuh air mata Sadewa. Krisna ikut menenangkan hati bungsu Pandawa tersebut.
“Tenanglah, Sadewa!”
“Bagaimana aku bisa tenang… Begawan!?”
“Aku akan mainkan serulingku supaya kamu bisa tenang.’
“Berhenti! Jangan dimainkan! Aku sudah cukup mendengarnya!”
“Nada bicaramu seperti tidak suka denganku, Sadewa!”
“Aku resah…, bagaimana mungkin aku harus selalu memendam bakat kelahiranku ini?”
“Maksudmu?”
“Sejak lahir aku telah dianugrahkan untuk bisa melihat masa depan. Tetapi Dewa mengutukku untuk tidak boleh membicarakan masa depan yang kulihat kepada seorang pun. Bahkan, kepada Ibu dan saudara-saudaraku. Bahkan juga kepada istriku. Kalau kamu jadi aku, kamu juga akan menjadi resah!”
“Kalau aku jadi kamu, aku akan…”
“Akan apa? Kamu tidak bisa menjawabnya kan?”
“Kita sama-sama punya anugrah yang sama. Tetapi itu tidak adil. Kamu bisa melihat masa depan, tetapi kamu bebas memeberi tahukan kepada semua orang. Sedangkan aku, selalu memendam kegelapan melihat masa depan.”
“Karena memang itu tugas dan peranku.”
“Itu tidak adil! Aku makin resah. Ketika aku tahu, kalau Drupadi akan menjadi milik lima orang suami, aku menyimpan rahasia itu. Aku tidak bisa memeberi tahukannya pada siapapaun. Aku tahu penderitaan yang akan di lalui Drupadi. Tetapi, aku biarkan itu begitu saja. Ketika dia ditelanjangi di Istana oleh para Kurawa, aku tahu hal itu akan terjadi. Tetapi aku diam saja. Dewa membungkam mulutku. Aku jadi makin resah, melihat hal yang selayakya aku dapat menghentikannya, tetapi aku seolah tak bisa melajukan apa-apa.”
“Setiap orang menjalankan peran yang berbeda. Jadi, jika kamu memiliki anugrah seperti diriku, bukan berarti peran kita akan sama. Aku berhak mengatakan apa yang aku tahu karena aku memang melakukan tugas dan perintah tersebut dari para Dewa.”
“Kalau kamu jadi aku, kamu pasti akan mengalami penyesalan yang sangat dalam.”
Sadewa berdebat dengan Krisna. Sadewa tak bisa menahan anugrah yang dia miliki. Anugrah itu seakan telah membuatnya hidup dalam gelombang penyesalan. Seharusnya dia bisa mencegah semua hal itu terjadi. Tetapi, dia justru hanya berdiam diri saja dan tidak boleh mengatakan sesuatu dari apa yang dia ketahui tentang masa depan.
Krisna berdiri. Dia menantang Sadewa untuk berdiri. Dia ingin membuktikan kalau dia memang pantas untuk menjalankan peran sebagai Krisna. Dia ingin menghentikan keresahan di hati Sadewa.
“Sadewa, kalau kamu memang tahu tentang masa depan, coba lihat masa depanku!”
Sadewa melihat masa depan Krisna. Dia tahu kalau Negara Krisna akan hancur. Tetapi Sadewa juga tahu, kalau dia tak boleh membuka mulut berbicara tentang masa depan Krisna.
“Kenapa kamu diam saja? Bicaralah!”
“Kamu sudah tahu kan, kalau aku tidak boleh berbicara tentang masa depan!?”
“Kamu juga berkata, kalau seharusnya kamu bisa melakukan sesuatu untuk mencegah keburukan di masa depan. Coba lakukanlah! Lakukan hal yang bisa mencegah keburukan masa depan yang kamu lihat tadi!”
Sadewa terdiam. Apa yang dikatakan oleh Krisna memang benar. Sadewa bingung harus melakukan apa demi menjaga kedamaian masa depan Negara Krisna. Sadewa tidak tahu, apa yang harus dia perbuat agar Negara Krisna tidak hancur. Sadewa menangis kembali. Arjuna menengahi debat kedua Kstariya tersebut.
“Sudahlah Begawan! Adikku ini masih muda, dia sedang resah tentang apa yang menjadi beban pikirannya saat ini.”
“Aku hanya ingin membuat dia paham!”
“Begawan, duduklah kembali! Maafkanlah kenaifan adikku ini!”
“Aku selalu menganggap Pandawa selayaknya saudaraku sendiri.”
Arjuna mengangkat tangan dan dagu adiknya yang masih menangis tersebut. Dia tak ingin Krisna menjadi marah karena berdebat. Krisna memang jagonya diplomasi dan juga jago marah. Dia yang dahulu menjadi Diplomat kedamaian untuk Pandawa dan Kurawa sebelum pecah perang Baratayuda. Wataknya yang lembut itu, memang sulit ditebak. Tetapi, jika Begawan Krisna sudah marah, maka dia akan menjelma menjadi raksasa yang bisa menghancurkan sebuah negara dalam sekejap. Itu yang tidak ingin Arjuna lihat.
“Sadewa, cah bagus!”
“Saya, Kangmas.”
“Bangunlah, tatap aku dan Krisna. Jangan bersedih kembali. Hapus dan keringkan air matamu!”
“Saya, Kangmas.”
“Apa yang Begawan Krisna katakan memang benar. Peran manusia berbeda-beda walaupun memiliki kemampuan yang sama. Tugas dan peran itu harus dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketabahan!”
“Saya mulai mengerti, Kangmas.”
“Hentikan air matamu mengalir!”
Sadewa mengusap air matanya. Dia berdiri dan menegakkan badan kembali. Krisna kembali bertutur kepada bungsu Pandawa tersebut.
“Sadewa, jika kamu merasa bisa melakukan sesuatu, apa yang akan kamu lakukan ketika telah tahu bahwa Salya akan mati di tanganmu?”
Sadewa terdiam tak bisa menjawab.
“Kalau kamu mau melakukan penyerangan tanpa membunuhnya, maka yang kamu lakukan tidak berguna. Dia pasti yang akan membunuhmu terlebih dahulu.”
Arjuna kembali menenangkan gejolak Krisna yang dilihatnya tidak terima dengan pembicaraan Sadewa tadi. Arjuna menenangkan pengendara kereta kudanya itu.
“Sudah… tenanglah Begawan! Lagipula dia sudah berhenti menangis.”
Dalam hati Sadewa sebenarnya masih menumpahkan air mata. Beban itu terasa berat baginya. Dia masih merasakan resah menyelimuti pikirannya. (*)