Oleh: Uqie Nai
(Alumni Branding for Writer)
PERTEMUAN elit bernama G7 yang dihadiri negara ASEAN sebagai tamu undangan, adalah pertemuan bersejarah yang tentu punya kesan tersendiri. Pertemuan ini seolah menjadi simbol aliansi dan kemitraan dengan kawasan Indo-Pasifik, dengan pembahasan mengarah pada kepentingan negara-negara G7 dalam asas demokrasi kapitalisme.
Negara ASEAN termasuk ketuanya, Brunei Darussalam yang diundang dalam pertemuan G7 di London, Inggris, awal Mei lalu (3-5 Mei 2021), membahas tentang perlunya tindakan tegas terhadap permasalahan global yang akan mengancam demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM).
Dikutip dari beberapa berita online, pertemuan tersebut adalah pertemuan tatap muka pertama dari kelompok negara demokrasi dan negara ASEAN. Inggris, melalui Menteri Luar Negerinya Dominic Raab mengatakan akan mengambil tindakan terhadap akses vaksin di seluruh dunia, menetapkan target pendidikan bagi anak perempuan di tingkat global, menyetujui tindakan ambisius perubahan iklim, serta tindakan baru untuk mencegah kelaparan.
Terkait kekerasan, Raab mendesak rezim militer yang berkuasa di Myanmar untuk kembali pada demokrasi. Langkah konkrit atas masalah tersebut Inggris mendesak pebisnisnya di Myanmar menghentikan kegiatan kerjasama yang berkaitan dengan militer.
ASEAN, Sasaran Tembak Hegemoni Kapitalis
Pertemuan G7 (Inggris, Canada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, AS) dengan ASEAN, memang yang pertama kalinya. Namun, selayaknya dipahami bahwa pertemuan itu bukan pertemuan biasa yang sekedar mencari solusi permasalahan global. Terlebih untuk negara ASEAN, tak ubahnya langkah penyerahan diri untuk dijadikan sasaran tembak negara pengusung demokrasi kapitalisme.
Pembahasan yang mengemuka tak lebih retorika menjerat mangsa. Sejuta solusi yang ditawarkan negara G7 tidak akan membawa kemaslahatan bagi ASEAN selain cengkeraman yang semakin dalam. Bahkan propaganda yang dihembuskan oleh negara kapitalis, diikuti anteknya, pada akhirnya berwujud pengkhianatan terhadap umat.
Negara-negara ASEAN melalui kepala pemerintahannya akan menjadi kepanjangan tangan negara kapitalis sekaligus melegalkan apapun demi kepentingan mereka, meski untuk itu harus menumbalkan nyawa rakyat. Ditambah lagi ketundukan pada undang-undang kapitalis memaksanya menjadi regulator atas beragam kerjasama dan kesepakatan yang dibuat.
Pun demikian halnya dengan desakan untuk menghentikan kekerasan yang disampaikan Inggris tak ubah lips service belaka. Pasalnya, kejahatan kemanusiaan itu lahir karena diadopsinya paham demokrasi kapitalisme oleh hampir seluruh negara di dunia. Baik Barat atau Timur. Lalu bagaimana mungkin kekerasan dan pelanggaran HAM berat yang menimpa warga Rohingya di Myanmar, Uighur di Cina, muslim di Palestina, Suriah, Pakistan, atau manusia secara global akan mampu diselesaikan secara demokratis?
Islam Menutup Akses Kapitalisme
Peristiwa yang menimpa dunia, terlebih kaum muslim sebagai korban tidak akan bisa diselesaikan melalui meja pertemuan, kesepakatan dan desakan penghentian, selama landasan keputusannya masih demokrasi kapitalisme. Paham ini dinilai telah gagal memimpin dan mengamankan dunia. Tak bisa ditambal apalagi diperbaiki selain harus dicampakkan.
Seharusnya dengan segala keburukan yang ditampakkan demokrasi kapitalisme, masyarakat global harus disodorkan solusi hakiki berupa ideologi Islam. Ideologi yang bisa menandingi paham batil perusak kehidupan.
Islam sebagai ideologi mampu menyelesaikan permasalahan apapun tanpa kecuali. Hal ini telah dibuktikan sepanjang masa peradabannya, yakni 14 abad lamanya hanya 200 kasus kejahatan terjadi. Sementara saat ini, ketika Islam tak lagi mendunia, kejahatan dan pelangggaran HAM menimpa kaum muslim, ribuan bahkan jutaan manusia terbunuh sia-sia dalam sepersekian detik.
Inilah mengapa Allah Swt. dengan tegas melarang hamba-Nya untuk membuka celah apapun bagi orang kafir menguasai kaum mukmin.
“…Dan Allah tidak akan pernah sama sekali memberikan jalan bagi orang-orang kafir menguasai orang-orang mukmin.” (TQS. an-Nisa [4]: 141)
Firman agung tersebut akan kembali terimplementasi dalam kehidupan bernegara oleh penerap syariat. Melalui tangannya hegemoni kapitalisme bersama turunannnya akan dicampakkan dan tidak akan diberi celah sedikit pun dengan bentuk apapun. Kaum kuffar dengan ideologinya tak akan lagi bisa berharap apalagi bermimpi menjadi bithonah, awliya, dan penguasa atas kaum muslim beserta kekayaan alamnya.
Di tangan pemimpin ini pula maksud-maksud syara’ akan diwujudkan saat mengurusi urusan umat. Ia menjadi penjaga agama, akal, harta, jiwa, keturunan dan kedaulatan negara atas landasan keimanan yang dimilikinya dan tanggung jawab yang ada di pundaknya, sebagaimana sabda baginda Rasul saw,
“Masing-masing dari kalian adalah raa’in (pemimpin/pelayan). Dan masing-masing kalian akan diminta pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah raa’in dan ia akan diminta pertanggungjawabannya…” (HR. al-Bukhari: 4789)
Maka eksistensinya sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pelayan) sangat diperlukan saat ini. Saat tangisan, teriakan kepedihan membahana di pelosok dunia memanggil namanya melalui doa, zikir dan takbir. Kaum muslim lain sebagai saudaranya yang digambarkan Rasulullah ibarat satu tubuh, harus bersegera menyambut teriakannya dengan berjuang tanpa lelah tegaknya institusi Islam bersama penerapnya. Wallahu a’lam bi ash Shawwab. (*)