BANDUNG, fajarsatu – Sebuah rumah produksi pembuatan obat keras ilegal di Cimahi, digerebek Subit 3 Direktorat Rese Narkoba Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat. Dalam peristiwa itu, satu orang ditangkap, sementata dua lainnya ditetapkan menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang).
“Direktorat Rese Narkoba Polda Jabar berhasil mengamankan salah satu home industri, pembuat obat-obatan keras ilegal yang berada di Jalan Gunung Kinibalu 2, Kec. Cimahi Utara, Kota Cimahi,” ujar Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Erdi A. Chaniago, Rabu (28/7/2021), di Mapolda Jabar Jalan Soekarno-Hatta, Bandung.
Penggrebekan dilakukan pada Kamis (22/7/2021) lalu. Pemilik tempat tersebut berinisial YH, ditangkap di lokasi.
“Tersangka yang sudah kita amankan, itu satu orang dengan inisial (YH), kemudian ada dua orang lagi yang sudah di tetapkan menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) yaitu (M) Dan (A),” imbuhnya.
Kedua DPO, lanjut dia, merupakan pemasok dan memasarkan. “Jadi YH ini merupakan pemilik dari home industri, kemudian untuk DPO M itu merupakan pemasok, dan A sebagai marketing,” ucapnya.
Dalam kasus tersebut, Polisi mengamankan dan menyita barang bukti berupa bahan baku jutaan butir obat siap edar, dan mesin produksi dari tersangka YH.
“Barang bukti yang sudah kita amankan berupa mesin dan alat, kemudian bahan baku diantaranya tepung tapioka, satu plastik bahan aktif, magnesium, dua kaleng pewarna obat, empat nungkus gelatin,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut dia, ada juga menyita 25 ribu obat merek profertil, 42 butir Nizoral, dan 2,8 juta butir obat berlogo LL, dengan total nilai barang tersebut sebesar Rp 2,8 miliar.
Polisi, kini tengah memburu kedua DPO, yang merupakan penyuplai dan penjual obat-obat palsu yang diproduksi oleh YH.
“Untuk DPO saya minta segera menyerahkan diri, sebelum Direktorat Narkoba Polda Jabar menangkapnya, karena itu bakal jadi urusan lain,” ujarnya.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, meliputi pasal 196 dan 197, dengan ancaman pidana paling lama 15 tahun kurungan, dan denda maksimal Rp 1,5 miliar. (byu)