CIREBON – Cirebon memiliki banyak potensi wisata mulai dari wisata kuliner, religi, seni dan masih banyak lagi potensi wisata lainnya. Namun saat ini yang sedang didukung Provinsi Jawa Barat yakni Wisata Heritage atau kota tua yang berada di Desa Jamblang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon.
Keseriusan Pemprov Jabar dibuktikan dengan berkunjungnya Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Provinsi Jabar, Dicky Sahromi ke bangunan tua yang berada di Desa Jamblang, Kamis (27/1/2022).
Setiba di lokasi, Dicky langsung berkeliling di bangunan tua Desa Jamblang hingga ke Klenteng Jamblang. Menurutnya banyaknya bangunan tua bisa menjadikan tempat wisata kota tua di Kabupaten Cirebon.
“Di Jamblang ini, sudah sangat populer namanya dari mulai kuliner yakni Nasi Jamblang, kini memiliki bangunan-bangunan tua bersejarah yang berdampak positif bagi masyarakat sekitar,” katanya usai berkeliling di kota tua Jamblang.
Dikatakannya, rencana revitalisasi kota tua Jamblang sudah lama ingin dilakukan namun karena pandemi covid 19 masi tertunda.
“Sudah lama cuma saat itu kita terkendala pendemi Covid 19, sehingga semua rencana tertunda, mudahan saat ini bisa kita teruskan, karena ini akan mengangkat ekonomi masyarakat sekitar,” ujar Dicky.
Salah satu bangunan yang hingga saat ini berdiri kokoh dan masih difungsikan yakni Klenteng Jamblang atau Vihara Dharma Rakhita yang sudah berusia ratusan tahun.
Konon, klenteng ini berusia sama dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang ada di dekat Alun-Alun Keraton Kesepuhan Cirebon, yakni sekitar tahun 1500an. Hal tersebut tidak terlepas dari kisah sejarah yang melatarbelakangi pembangunan klenteng ini.
Menurut ahli sejarah Cirebon, ketika Masjid Agung Sang Cipta Rasa sedang dibangun oleh para wali sekitar tahun 1480 M, ada komunitas Tionghoa dari wilayah Jamblang, yang akan membangun sebuah klenteng, mendatangi lokasi pembangunan masjid. Mereka pun meminta sisa kayu jati yang digunakan untuk membangun tiang masjid.
Sunan Gunung Jati pun menyetujuinya. Kayu tersebut akhirnya dibawa oleh komunitas Tionghoa tersebut ke Jamblang, dengan menggunakan pedati. Kemudian, kayu tersebut digunakan sebagai ‘wuwungan’, yang berarti atap. Hingga sekarang, wuwungan tersebut tetap dipertahankan keasliannya.
Kayu tersebut sempat mengeluarkan air, seolah seperti menangis. Hal itu menunjukan seakan-akan kayu tersebut bersedih karena tidak dijadikan kayu untuk masjid, melainkan untuk klenteng.
Dengan adanya kisah sejarah tersebut, merupakan bukti bahwa masyarakat Cirebon sudah menjunjung tinggi nilai toleransi sejak zaman dahulu kala. Hal itulah yang membuat budaya Cirebon ini unik, dengan segala macam akulturasinya. (dan)