Oleh: Sutan Aji Nugraha
(Penulis adalah Pengamat Politik, tinggal di Kota Cirebon)
PRESIDEN Soekarno, dan terutama Perdana Menteri Sjahrir menjadi dua tokoh sentral yang kemudian dituduh “menjual” negara gara-gara membuka pintu dan duduk bersamadengan Belanda. Setelah mengadakan dua kali kongres, di Purwokerto pada 6 Januari 1946 dan kemudian 15-16 Januari 1946 di Solo, Tan Malaka menyampaikan deklarasi mengapa harus “Persatuan Perjuangan”.
Di depan perwakilan 141 organisasi, Tan Malaka menegaskan, “…dasarnya persatuan dalam menyelesaikan revolusi ini ialah perjuangan untuk menghadapi musuh bersama, sampai tercapai kemerdekaan 100 persen, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, jadi bukannya persatuan untuk kompromi, yang berarti berkhianat kepada kemerdekaan 100 persen menurut Proklamasi 17 Agustus 1945…. Maka persatuan perjuangan itulah nama yang saya anggap paling tepat.”
Pidato Tan Malaka ini mendapat simpati dan dukungan dari lapisan masyarakat, termasuk dari kalangan Militer. Karena Kabinet Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi ke Belanda. Apalagi setelah pidato Bung Hatta yang membocorkan bahwa akan diadakan perundingan baru dengan Belanda antara lain akan adanya dan dicapainya kesepakatan wilayah Indonesia meliputi Jawa dan Sumatera saja.
Untuk kelompok Tan Malaka menginginkan kemerdekaan 100 persen atau tidak ada kompromi dengan kaum imperialis dan kolonialis, kebijaksanaan pemerintah yang dianggap menerima tekanan luar harus dibersihkan. Maka kaum militer bekerja sama dengan kaum politik untuk melakukan apa yang dinamakan “Peristiwa 3 Juli”.
Pada 23 Maret, tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan, antara lain Tan Malaka, Achmad Subardjo, Sukarni dan yang lainnya, ditangkap dengan tuduhan perencanaan penculikan terhadap anggota-anggota kabinet. Pada 27 Maret 1946, tuduhan tersebut menjadi kenyataan, bahwa anggota-anggota kabinet dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir diculik oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jendral Sudarsono, pelaku utama penculikan yang sehaluan dengan kelompok Persatuan Perjuangan, menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden, yang menuntut agar: (1) Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II, (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik, (3) Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri, dan (3) Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Soekarno tidak menerima maklumat dan memerintahkan penangkapan para pengantarnya. Empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara.
Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) analisis, yakni (1) Model kudeta yang dilakukan oleh Mayjend Soedarsono (Persatuan Perjuangan) dengan menyerahkan langsung maklumat kepada Presiden, (2) Keterlibatan Soeharto ada 3 Juli 1946 di pagi hari yang gagal karena kedatangan Mayjend Soedarsono ke Istana Negara telah diketahui Presiden atas bocoran informasi Soeharto sendiri, yang sebelumnya membantu ‘pembebasan’ Persatuan Perjuangan’ dari penjara Wirogunan dan (3) ‘kebetulan’, nadi pasca-pergerakan 3 Juli 1946 mati dengan sendirinya. Itulah Soeharto dengan segala ‘kebetulan’ nya telah mengalami krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.
Setelah peristiwa 3 Juli 1946, Sjahrir tetap pada keyakinannya dengan melanjutkan politik diplomasinya. Keyakinan politik yang progressif dan revolusioner tidak hanya dengan angkat senjata dan berperang. Oleh karena itu, politik diplomasi Sjahrir demi pengakuan negaranya dengan melakukan “Politik beras” yaitu membantu India yang sedang dilanda kelaparan dengan 500.000 ton gabah kering, akhirnya berhasil sebagian menembus blokade Belanda. Meskipun sejumlah besar gabah di Banyuwangi dibom dan dibakar Belanda. Proyek ini sekaligus membuat simpati dunia pada Revolusi Indonesia walaupun pada waktu itu keadaan rakyat Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan India.
Yang patut dijadikan cermin kita di sini ialah soal sikap politik Persatuan Perjuangan. Sebenarnya Persatuan Perjuangan mengusulkan program rumusan mereka, yang disebut “Minimum Program”, sebagai program kabinet. Sementara pemerintah lebih memilih merumuskan program baru, Persatuan Perjuangan melarang anggotanya duduk di kursi kabinet. Adapun dalam individu-individu dari Persatuan Perjuangan sangat setuju dengan yang dilakukan Sutan Sjahrir, namun pemahaman politik jauh lebih mengalahkannya. Jadi, politik kita waktu itu adalah politik program (substantif), bukan politik dagang sapi atau kursi (artifisial) seperti sekarang ini.
Itulah kemuliaan dari politik Indonesia yang pernah dimiliki, mementingkan pemahaman politik diatas diri sendiri. Semoga peristiwa 3 Juli 1946 mampu dijadikan ilmu pengetahuan bagi politisi/politikus lokal maupun nasional saat ini dalam memperjuangkan keyakinan politik berdasarkan rasionalitas dan realitas objektif.
Menurut Sjahrir, revolusi memiiki 2 (dua) syarat, (1) Adanya pimpinan yang berjiwa progressif dan revolusioner namun bukan pemimpin yang gila berontak, (2) Adanya persamaan nasib bersama dan dipimpin oleh seorang revolusioner, bukan keadaan revolusioner yang dipaksakan.
Cerita, dongeng dan sejarah merekam batas keagungan melalui ide, gagasan dan gerakan melebur menjadi satu kesatuan utuh tanpa satu wadah, sebab perjuangan merupakan pendidikan membebaskan dan memerdekakan. Situasi kondisi sekarang ini yang ada hanyalah kudeta simpati dan empati rakyat untuk melegitimasi kekuasaan kepentingan melalui cara-cara “hitam-putih”. Jadikan semangat pancasila menjadi semangat pancasilais, bukan predator pancasilais yakni semangat untuk “memakan” atas nama nilai-nilai. Ingat, situasi kondisi tolerasi setiap zaman memang berbeda akan tetapi landasan kasus “sama”, sebuah photo akan berbeda saat kita melihat photo itu dari beberapa sudut.
Saya menekankan disini bahwa rakyat yang tergabung dalam DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) khususnya Kota Cirebon bukanlah objek politik dari sebuah pilkada serentak 2024, sudah saatnya “JENGGELEK” memberikan makna sesungguhnya, yakni mampu mempertahankan, mengembangkan serta menyempurnakan implementasi Pancasila maka berikanlah mereka (KNPI) ditempatkan sebagai partisipan politik (subjek kemanusiaan). (*)