Oleh: Nuni Toid
(Pegiat Literasi dan Member AMK)
BELUM lama ini terjadi lagi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Tidak tanggung-tanggung pelakunya seorang guru sekaligus pemilik pondok pesantren. Ia dituntut hukuman mati atas kejahatan yang dilakukannya. Namun tuntutan hukuman tersebut menuai pro dan kontra di kalangan publik.
Dilansir dari tirto.id, (13/1/2022), Kejaksaan tinggi (Kejati) Bandung, Jawa Barat menuntut Herry Wirawan (36) dengan hukuman mati atas perbuatan yang dilakukannya dengan memperkosa 13 santriwatinya di Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat selama 2016-2021.
Bukan itu saja, HW juga dituntut untuk membayar denda Rp500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta. Juga sanksi nonmaterial berupa pengumuman identitas terdakwa yang disebarluaskan serta hukuman kebiri kimia. Menurut Kepala Kejati Jawa Barat, Asep N. Mulyana, hukuman itu dilakukan sebagai komitmen untuk memberikan efek jera kepada terdakwa.
Namun Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, tidak sependapat dengan hukuman mati yang dituntut oleh Kejaksaan Tinggi Bandung. Menurutnya, hukuman mati bertentangan dengan prinsip HAM. Begitupun dengan hak hidup seseorang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun. Ia pun menolak hukuman kebiri, sebab merupakan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. (arahkata.com, 13/1/2022)
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, menanggapi ketidaksetujuan Komnas HAM dan pihak-pihak lain. Mereka bersikeras agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Namun, ia pun menolak hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. (Tribunnews.com, 15/1/2022)
Kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual terhadap anak dianggap publik belum mendapatkan hukuman yang menjerakan. Hal ini terbukti masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak. Namun di saat hukuman mati diajukan, timbullah polemik, antara membuat jera dan komitmen dalam penegakan HAM.
Padahal kasus kekerasan terhadap anak kian hari semakin meningkat. Berdasarkan pengumpulan data milik Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), jumlah kekerasan yang terjadi pada tahun 2019 sebanyak 11.057 kasus, tahun 2020 sebanyak 11.279 kasus, dan hingga data November 2021 sebanyak 12.566 kasus.
Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual, sudah semestinya hukum ditegakkan dengan maksimal. Namun atas nama HAM, seolah pelaku kejahatan seksual terhadap anak licin dari jerat hukum. Hingga mereka bisa bebas menghirup udara segar, dan kembali lagi melakukan aksinya dalam mencari mangsa. Bahkan kadang dijadikan contoh oleh pelaku kejahatan lainnya.
Ironisnya, kasus kekerasan seksual ini yang menyebabkan trauma berat, hingga merusak mental dan fisik bagi korban, masih saja pelakunya ada yang memihak dan membelanya dengan atas nama HAM. Ada apa dengan hukum negeri ini?
Negeri yang konon adalah negara hukum, namun nyatanya masih lemah dalam mengatasi kasus kejahatan yang meresahkan masyarakat, seperti kasus kejahatan kekerasan seksual pada anak. Bagaikan pisau yang tajam ke bawah, dan tumpul ke atas, negara kehilangan wibawa dalam memberantas kejahatan rudakpaksa ini.
Sebaliknya, negara akan cepat menangkap dan menjeratnya, bagi mereka yang hanya sekadar vokal mengkritisi kebijakan rezim, serta ingin melindungi negeri dari oligarki dan para kapitalis. Begitulah kejahatan di negeri ini, masih begitu leluasa, bebas tersenyum lepas. Karena berlindung atas nama kebebasan yang dianutnya. Padahal mereka adalah duri yang merusak masa depan anak-anak generasi negeri.
Namun, itulah bukti kecacatan sistem Demokrasi-sekuler saat ini. Sistem rusak itu telah memisahkan aturan agama dari kehidupan. Sehingga aturan yang berlaku bergantung pada akal manusia yang sangat subjektif. Akhirnya solusi kejahatan digantungkan pada sanksi/hukum. Sementara di sisi lain, sistem Demokrasi-sekuler tidak mampu menciptakan lingkungan pendukung, agar kejahatan tidak merajalela di masyarakat.
Seperti kita ketahui, sistem ini telah melonggarkan aturan informasi dan media dalam menayangkan pornografi dan pornoaksi. Atas nama kebebasan (liberal), pergaulan semakin permisif, termasuk aurat bebas terbuka. Akhirnya kehidupan sosial didominasi oleh rangsangan hawa nafsu seksual yang dimanapun, kapanpun akan terus memancing kejahatan kekerasan seksual. Hal itu juga diperparah dengan budaya kapitalis yang jauh dari budaya amar makruf nahi mungkar. Karena ini adalah prinsip individualisme.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam bukan hanya agama biasa yang mengatur ibadah ritual saja. Tetapi Islam juga sebuah sistem, ideologi yang mengatur seluruh kehidupan manusia.
Islam, dalam hal ini negara menerapkan syariat Islam. Semua aturan yang berlaku bersumber dari Al-Qur’an dan as-sunnah. Maka aturannya tidak mungkin berubah-ubah sesuai dengan keinginan manusia.
Islam pun dalam mengatasi segala permasalahan kekerasan seksual memiliki beberapa kebijakan yang tepat, di antaranya:
Pertama, kebijakan preventif (pencegahan). Islam mengatur secara terperinci batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yaitu 1. Perempuan wajib menutup aurat dengan berhijab syar’i (wajib memakai jilbab dan kerudung) bila di tempat umum; 2. kewajiban menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan; 3. larangan berkhalwat, tabaruj (berhias di depan nonmahram) dan berzina; 4. Islam memerintahkan perempuan didampingi mahram saat akan melakukan perjalanan safar (perjalanan lebih dari sehari semalam) dalam rangka menjaga kehormatannya; 5. Islam memerintahkan untuk memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan.
Kedua, kuratif (penanganan). Dalam hal ini, penegakan sistem sanksi Islam wajib terlaksana. Ada dua fungsi hukum Islam, yaitu sebagai zawajir (memberi efek jera) bagi pelaku pun bagi pihak lainnya dan sebagai jawabir (penebus dosa).
Ketiga, edukatif, yaitu pendidikan dan pembinaan melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Hingga masyarakat akan terbina dengan Islam. Karena standar perbuatan mereka berdasarkan syariat Islam.
Keempat, dibutuhkan peran negara yang bertanggungjawab dalam melaksanakan dan mewujudkan perlindungan keamanan bagi rakyat. Negara pun bisa melakukan kontrol terhadap media serta propaganda yang mengajak pada kemaksiatan. Sebab tugas negara menjaga generasi agar memiliki kepribadian Islam serta mencegah mereka melakukan kemaksiatan baik dalam skala individu maupun komunitas.
Islam pun memiliki sanksi tegas untuk para pelaku kejahatan seksual, yaitu bagi pelaku perkosaan yang sudah menikah (muhshan), dikenai hukuman berupa rajam (dilempari batu sampai mati). Sedangkan bagi pelaku yang belum menikah (ghairu muhshan), dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.
Demikianlah negara Islam dalam mengatasi segala kejahatan seksual. Hingga begitu sempurnanya Islam dalam menciptakan keadilan hukum termasuk kasus kekerasan seksual anak. Sebab yang dipakai adalah hukum Allah Swt. Sedangkan Khalifah (pemimpin) dan para pejabat di bawahnya hanyalah sebagai pelaksana saja.
Itulah keindahan hukum dalam Islam. Terbukti selama 13 abad lamanya telah mampu memberikan kedamaian bagi rakyat. Maka agar anak-anak generasi saat ini terlindungi dari kejahatan kekerasan seksual, sudah saatnya negara menerapkan Islam kaffah dalam setiap sendi kehidupan. Wallahu a’lam bish shawab. (*)