Oleh: H. Daddy Rohanady
(Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat)
PROVINSI Jawa Barat memiliki Perda Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009-2029. Melihat “usia dan jangkauannya”, tentu saja perda tersebut sudah harus diup date. Perda tersebut pernah dibahas oleh Pansus VII di DPRD selama 11 bulan. Namun, hingga DPRD periode 2014-2019 berakhir, Pemerintah Pusat tak kunjung memberikan persetujuan.
Dalam perkembangannya, banyak produk perundang-undangan yang telah lahir pasca terbitnya Perda tersebut. Misalnya saja Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK). Undang-Undang tersebut lebih dikenal sebagai omnibus law dan sederet aturan yang menyertainya semisal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Selain itu, ada pula Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021 Tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan. Bahkan, sebelumnya, ada Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
UUCK juga mengamanatkan penggabungan Perda RTRW dan Perda Rencana Zonasi dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Jawa Barat juga sudah memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2019 tentang RZWP3K. Dengan amanat UUCK, berarti Perda Jabar Nomor 10/2010 tentang RTRW dan Perda Nomor 5/2019 tentang RZWP3K harus digabungkan. Mempertimbangkan hal itu, Jabar pun akan membuat perda baru.
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang RTRW dilakukan oleh Panitia Khusus VI. Kurun waktu jangkauan perdanya pun berubah menjadi 2022-2042.
Banyak hal lain yang harus dibahas dengan penggabungan dua perda tersebut. Mengapa demikian?
Banyak isu strategis yang memang harus mendapat perhatian karena menyangkut perencanaan tata ruang wilayah dan prencanaan zonasi wilayah pulau-pulau kecil dan pesisir 0–12 mil dari bibir pantai Provinsi Jawa Barat.
Isu lain yang tak kalah menarik, misalnya bagaimana dengan rencana bandara Cikembar di Kabupaten Sukabumi. Pada pembahasan Raperda RTRW tahun 2019, ada pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa bergeser dari Citarate? Padahal Jabar sudah memutuskan bandara di Sukabumi itu ada di Citarate. Lagipula, bagaimana penanganan obstacle yang ada?
Cikembar berada di antara menara sutet dan bukit. Celah untuk melakukan manuver hanya sekitar 150 meter saja. Jika sayap pesawat rentangnya mencapai 60 meter, berarti hanya ada celah kiri-kanan 45 meter saja. Itu berarti, pilot yang mendarat atau terbang dari bandara Cikembar nantinya hanyalah mereka yang “bernyali”.
Bagaimana pula nasib Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B)? Bagaimana menentukan luasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)? Bagaimana kaitannya dengan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD)?
Rekapitulasi Pemprov Jabar hanya 730.898,31 hektare, itu pun baru 2 kabupaten saja yang sudah ada SK kepala daerahnya. Padahal Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1589/2021 menyebutkan bahwa LSD Jabar sekitar 878.587,73 hektare. Ada perbedaan sekitar 140.000 hektare. Padahal dengan KP2B tersebut, Jabar baru memiliki sekitar 21 persen dari target kewajiban 30 persen.
Sebenarnya masih banyak isu lain yang harus dibahas oleh Pansus RTRW. Masih ada soal-soal yang berkaitan dengan Transit Oriented Development (TOD) Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Ini berkaitan dengan difungsikannya TOD Padalarang. Di sisi lain TOD Walini ditunda lebih dahulu pembangunannya. TOD Tegalluar juga penyelesaiannya dilakukan paralel, tetapi belum difungsikan.
Ada pula pembahasan seputar rencana pembangunan beberapa ruas jalan tol. Selain itu, ada isu seputar tanah timbul dan lahan yang justru hilang akibat abrasi. Lahan-lahan seperti itu juga, karena jumlahnya tidak sedikit, butuh penyikapan.
Ini semua nantinya pasti akan berkaitan dengan indikasi arahan zonasi serta berpengaruh pada rencana struktur dan rencana pola ruang dalam RTRW Provinsi Jabar yang sedang disusun. Padahal kita semua juga tahu bahwa ketika ada proyek strategis nasional (PSN), semua harus diakomodir. Itu juga pasti akan menggerus angka-angka tersebut.
Dalam salah satu konsultasi ke Jakarta, ada pernyataan menarik. Jika Perda RTRW yang baru tidak dapat diselesaikan oleh Jabar, dalam hal ini Pansus, penyelesaian akan diambil alih oleh Pemerintah Pusat. Benarkah demikian? Andai benar terjadi, bukankah itu bertentangan dengan samangat desentralisasi atau justru ini memang untuk melakukan re-desentralisasi?
Semoga semua masalah dapat selesai pada waktunya. Semoga pula semua pihak dapat mengakomodir kepentingan pihak lainnya. Dengan demikian, memang dibutuhkan win-win solution sehingga semua pihak akan merasa bahagia. (*)