Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Membaca Politik Dari Titik Nol)
SEJAK 2013 hingga saat ini saya sering berkunjung ke berbagai kota di seluruh Indonesia, selain Papua dan Aceh. Saya berkunjung selain karena diundang untuk menjadi narasumber bedah buku dan acara penulisan atau literasi, juga menjadi narasumber kegiatan organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus.
Sebagai orang yang aktif di luar rumah saya menikmati itu, tentu dengan upaya agar setiap fenomena yang ada bisa menjadi inspirasi saya untuk menulis. Sebagai traveler sekaligus penulis di blog alias bloger saya mesti mampu melakukan itu.
Salah satu aspek penting yang saya telisik adalah fenomena politik yang terjadi di tempat saya berkunjung. Secara khusus saya menatap dari dekat bagaimana aksi politik politisi dan atau para pendukungnya. Benar-benar melihat dari jarak paling dekat. Bukan untuk memata-matai tapi untuk memastikan apa yang perlu dibenahi dari kita terutama sebagai elemen muslim dalam menjalankan aksi politik. Saya santri dan karena itu sangat optimis bahwa bangsa dan negara ini bisa menjadi medan amal untuk mengejahwantah nilai-nilai luhur Islam dalam bingkai negara bangsa.
Namun demikian, saya mesti jujur mengatakan apa yang saya saksikan selama ini. Tentu sesuai dengan kaca mata dan prespektif saya yang sangat terbatas. Kesimpulan saya sederhana: Rerata kita hanya ramai berkerumun dan tidak aktif berbaris. Kita jago membentuk komunitas namun tidak dibingkai oleh kesamaan visi-misi dan orientasi.
Dari sisi pemanfaatan media sosial kita hanya ramai di group media sosial tapi tidak terlihat di luar group. Suasana group media sosial kita begitu ramai, semua hal diobrolkan. Group bernyawa politik pun berbah jadi pasar bebas. Group relawan mirip pasar dimana semua barang dagangan ada di situ. Bahkan obrolan kita malah tak ada sangkut pautnya dengan nama dan lokus group atau misalnya organisasi relawan yang dibentuk.
Kita sibuk menebar meme, info, berita dan segala rupanya yang pada dasarnya tidak ada pengaruhnya pada upaya kita untuk menang di pesta politik. Waktu dan tenaga kita dihabiskan untuk urusan yang semacam itu. Kita tidak punya target, atau paling tidak fokus pada target utamanya: memenangkan kontestasi. Kita kerap menyesal atas kekalahan pada beberapa kali kontestasi politik, namun tak ada upaya strategis untuk berbenah dan menyiapkan apa yang harus dipersiapkan sebagai prasyarat kemenangan politik di momentum selanjutnya.
Hal yang paling naif, tak sedikit diantara kita yang sibuk menebar kabar buruk lawan politik, baik dalam bentuk foto, video maupun diksi pendek yang secara umum tidak menarik bagi kaum milenial sebagai pemilih mayoritas, atau masyarakat pada umumnya. Kita sibuk dengan urusan ego kita sendiri.
Kita habiskan waktu untuk mencerca lawan politik, yang memang pada level tertentu mungkin layak dicerca karena lakonnya yang menyebalkan. Namun itu sejatinya tak perlu dilakukan, sebab tidak menarik bahkan hanya menimbulkan antipati masyarakat umum. Padahal salah satu kunci penting memenangkan pesta politik adalah menyentuh hati masyarakat. Hati masyarakat tersentuh karena kita memiliki daya tarik.
Koreksi dan peringatan dini dari sesama kita perihal buruknya lakon semacam itu pun kerap kita acuhkan. Kita habiskan setiap pertemuan hanya untuk hal-hal yang tidak berdampak pada meluasnya dukungan pada sosok yang kita dukung dan memenangkan kontestasi politik. Kita malah mengikuti irama lawan politik dengan isu ini itu yang sebetulnya sengaja diproduksi oleh lawan politik untuk mengalihkan fokus dan target kekuatan kita dalam memenangkan pesta politik. Namun lagi-lagi kita masih saja terjebak dan mau dijebak. Alih-alih kita malah ikut mempopulerkan bahkan mungkin memenangkan lawan politik.
Pada level tertentu, kita tidak berani bertarung di luar group media sosial melalui berbagai opini media, cetak atau online. Padahal ini era media, namun kita tidak berkutik dan memang enggan menguasai opini media. Kita kerap berdalih bahwa media dikuasai orang lain dan tidak bakal membela atau pro kita.
Kita aktif mengkritik konten TV dan surat kabar yang tidak sesuai dengan selera dan warna politik kita, namun kita malas memproduksi dan mengisi konten media sosial yang begitu banyak dan gratis dengan konten yang bermutu. Padahal kita punya banyak intelektual, berpendidikan dan mampu menghadirkan narasi bergizi untuk meningkatkan saldo daya tarik dalam berpolitik.
Pada level tertentu tak sedikit diantara kita yang begitu aktif membalas fitnah dan caci maki lawan politik atau kelompok bazzer atau kelompok serupanya di berbagai media sosial hanya dengan fitnah dan caci maki juga marah-marah, atau melakukan cara serupa seperti yang mereka lakukan.
Pada saat yang sama kita tidak punya semangat untuk membangun kesadaran betapa pentingnya penguasaan media sekaligus memproduksi kontennya dengan cara yang menarik sehingga menjadi magnet bagi masyarakat untuk bergabung dan memenangkan pertarungan politik. Sederhananya, kita tidak punya strategi dan tindakan setimpal tentu dengan konten yang bermutu sehingga menjadi sumber daya tarik.
Pertanyaannya, sampai kapan lakon atau aksi politik kita dijalankan dengan pola norak semacam itu? Bukan kah setiap aksi politik perlu disusun dengan strategi jitu dan dijalankan dengan aksi politik yang juga jitu? Ingat, jangan sampai negeri ini kembali dipimpin oleh oligarki dan serupanya hanya karena kita masih begini-begini saja.
Kita masih menggunakan cara-cara yang tidak bermanfaat atau tidak menarik simpati masyarakat. Ingat, jangan sampai kita masih nyaman dan bangga mengikuti alur orang lain dan tidak berjalan di atas strategi sekaligus alur kita. Kita mesti punya daya tarik, misalnya, santun, elegan, apik dan sebagainya. Sebab bila kita mengikuti alur orang lain, lalu apa bedanya kita dengan mereka?
Ingat, politik itu butuh strategi, jeli memahami konteks, dan tak mudah tersulut dengan isu-isu receh. Selama ini kita kerap termakan isu yang ramai, ikut menyebar dan meramaikannya. Ada isu ini ikut ramai di situ, ada isu baru ikut ramai di situ. Benar-benar sekadar kerumunan massa bukan barisan massa.
Kita bagai buih, mudah terbang gegara angin sepoi-sepoi. Kita pun begitu sibuk mengomentari isu orang dan habiskan waktu, tenaga dan segalanya untuk itu. Sementara kita lupa dengan target utama kita: mempersiapkan dan memenangkan pertarungan politik. Kita perlu berbenah dari sekarang, itu syarat utama kemenangan politik. Strategi dan aksi politik kita mesti jitu, publikasi konten dan pengenalan tokoh ke masyarakat juga mesti menarik.
Sungguh, menang pesta politik itu bukan sekadar butuh ramainya massa tapi yang jauh lebih penting lagi adalah daya tarik! (*)