Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Muhammadiyah: Ide, Narasi dan Karya”
HARI ini, Rabu 1 Maret 2023 saya mendapat kabar bahwa Ketua Umum Pemuda Hidayatullah Pusat sedang berada di Kota Cirebon alias Kota Wali. Kabar sosok yang aktif menulis ini sedang berada di Kota Udang saya peroleh dari Kang Asep Juhana (Kang Ajun), senior sekaligus sahabat saya asal Bandung yang kini bertugas dan sehari-hari bergulat di Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Kota Cirebon. Mendadak memang, namun mendapatkan kabar seperti ini benar-benar membuat saya gembira, riang dan haru. Sebuah kenyataan yang terjadi di luar dugaan saya.
“Salam…Kang hari ini ada agenda? Ada Ustadz Imam Nawawi mau silaturahim…”, tulis Kang Asep yang dikirim ke nomor WhatsApp saya. Karena saya tak kunjung memberi jawaban, beberapa menit kemudian, Kang Ajun mengirim pesan lagi ke saya. Ia bertanya sembari mengabarkan bahwa ia dan Mas Imam bersama dua temannya mau silaturahim. “Bagaimana kabarnya? Nanti siang kita cari kafe ngopi bareng. Kalau bada dzuhur bisa? Sekalian mampir ke Radar”, lanjut Kang Ajun.
Awalnya saya bertanya dalam hati siapa gerangan Imam Nawawi yang dimaksud. Tak lama kemudian, hari saya tertuju pada sosok yang selama ini akrab menyapa saya dan saling mengirim tulisan melalui nomor Handphone dan media sosial. Ternyata dugaan saya benar. Tanpa menunggu lama, saya pun menyatakan siap hadir dan menuju lokasi. Setelah Zuhur dan makan siang, saya langsung menuju Kafe Wow yang berada di Gedung Graha Pena Radar Cirebon di Jl. Perjuangan No. 9 Kota Cirebon.
Rupanya saya terlambat datang atau tiba di lokasi. Kini sudah pukul 13.20 WIB. Pertemuan Kang Ajun, Mas Imam dan dua temannya dengan Mas Yudha di lantai atas Gedung Graha Pena sudah selesai. Ya, Kang Ajun dan tim baru saja selesai melakukan pertemuan dengan salah satu penggawa Radar Cirebon di tempat penerimaan tamu, tepatnya di lantai atas. Saya kebetulan lagi ngobrol santai dengan Bang Rusdi dan Bang Imam, dua penggawa senior Radar Cirebon di Warung Kopi Wow, lantai dasar.
Tak lama kemudian, Kang Ajun mengajak Mas Imam dan temannya menuju lokasi yang sudah ditentukan, Kafe Bento Kopi di Jl. Perjuangan, tepatnya seberangan dengan pintu gerbang perumahan Majasem, Kota Cirebon. Beberapa menit kemudian saya menyusul dan bersua langsung dengan Mas Imam yang benar-benar menggembirakan saya. Bagaimana pun, selama ini kami hanya bisa menyapa dan berkabar di media sosial dan Handphone. Kini kami benar-benar bertemu langsung. Sebuah pertemuan yang bukan saja membanggakan dan mengharukan tapi juga inspiratif dan penuh kesan.
Mas Imam, demikian saya akrab menyapanya. Nama lengkapnya Imam Nawawi. Saya mengenalnya sejak beberapa tahun lalu melalui akun media sosial Facebook. Saya lupa waktu pastinya, seingat saya sekira 3 atau 4 tahun yang lalu, sebelum masa pandemi melanda dunia termasuk Indonesia. Kalau tidak setiap hari, minimal kami menyapa dan berkabar di setiap pekannya. Kami pun kerap berbagi tulisan dan link tulisan. Ia memang aktif menulis, baik di media sosial maupun di media online, termasuk di media ini: https://masimamnawawi.com.
Bertemu dengan Mas Imam adalah sebuah anugerah yang tak bisa dihitung. Sebab setahu saya, terutama selama berinteraksi secara online selama ini, ia adalah sosok multitalenta. Untuk menjelaskan sosok ini secara sederhana saya bisa bisa jabarkan sebagai berikut. Pertama, da’i yang aktif. Menjadi dai adalah pilihan hidup yang ia tempuh sejak menjadi mahasiswa di STAIL Surabaya-Jawa Timur. Produktifitasnya dalam peran dakwah diwujudkan dengan berbagai kegiatan dakwah dan sosial, baik ketika di Surabaya maupun ketika di Jakarta karena amanah menjadi Ketua Umum Pemuda Hidayatullah. Bahkan ia juga kerap berkunjung ke berbagai kota di seluruh Indonesia.
Kedua, aktivis yang giat. Menjadi aktivis adalah jalan hidup yang ia pilih. Karakter muda benar-benar menjadi ciri khasnya, sehingga ia bisa berbeda dengan tokoh muda kebanyakan. Sosok ini mampu mengintegrasikan dua hal sekaligus yaitu intelektualisme dan aktivisme. Ia kerap menjadi narasumber atau pembicara di berbagai kegiatan kepemudaan di berbagai kota. Hal ini bukan isap jempol belaka, sebab ia memang sosok yang berjalan di atas ilmu. Namun bukan berbicara dan bergerak di atas menara gading, sebab ia menjadikan kapasitas intelektualnya sebagai modal untuk bergerak dan melakukan advokasi sosial. Aktivismenya berbalut intelektualisme yang kokoh.
Ketiga, penulis produktif. Menjadi dai dan elemen muda yang aktif adalah aspek yang mewarnai Mas Imam. Itu tak bisa dibantah. Hal ini saya saksikan sendiri ketika ia didaulat menjadi narasumber atau pemateri untuk beberapa acara online. Ia selalu menyampaikan ide dan narasinya dengan apik, sehingga mudah dicerna dan dipahami oleh siapapun. Dan ternyata, ini yang menarik: sosok ini dibekali oleh kemampuan menulis. Ia aktif menulis dan mempublikasi tulisannya. Sehari-hari ia menulis. Di tengah kesibukan ia masih menjaga aktivitas menulis sebagai sebuah pilihan sadar.
Menjelaskan secara detail sosok yang murah senyum dan mudah akrab dengan semua kalangan ini memang butuh waktu dan tulisan yang panjang. Tulisan ini pun belum mampu menjelaskan secara utuh sosok yang kerap bertemu dengan kaum muda dan berkunjung ke berbagai kota ini. Bagi saya, Mas Imam adalah sosok motivator dan inspirator muda Indonesia yang layak ditiru. Terutama di tengah situasi bangsa yang semakin gersang moral ini. Selain memiliki moral yang terjaga, ia juga aktif mendalam berbagai hal. Hal ini terbaca dari berbagai tulisan yang ia publikasikan sehari-hari. Sehingga pengetahuan dan wawasannya luas, dua modal yang sangat penting bagi generasi muda yang ingin mengendalikan peradaban bangsa dan dunia ke depan.
Hal menarik yang perlu saya sampaikan juga pada tulisan ini adalah perihal tukaran majalah dan buku. Pada pertemuan kali ini saya mendapatkan hadiah dari Mas Imam berupa majalah, namanya MULIA terbitan BMH. Majalah yang berslogan “Berbagi Kemuliaan Hidup” ini terbit rutin di setiap bulannya. Tema besar yang diulas edisi kali ini (Maret 2023) adalah “Mendulang Pahala Di Bulan Berkah”. Pada kesempatan ini pun saya pun memberi kenangan pada Mas Imam buku terbaru saya yang berjudul “Muhammadiyah: Ide, Narasi dan Karya”. Buku setebal 157 halaman ini merupakan antologi atau bunga rampai artikel saya seputar Muhammadiyah yang dimuat di berbagai surat kabar dan media online sejak 2016 hingga Februari 2023 lalu.
Waktu memang ada dalam kehidupan kita, ia bersama kita tapi tidak dalam kuasa kita. Setelah berbincang sekitar sekitar 30 menit, pertemuan berharga kali ini pun segera disudahi. Mas Imam menyampaikan bahwa ia dan temannya segera berangkat kembali ke Jakarta karena ada aktivitas lain. Bertemu selama setengah jam memang sangat tak cukup untuk membincang banyak hal atau sekadar berbagai cerita tentang hal-hal unik dan inspiratif. Namun begitulah adanya, waktu memang dalam kendali Sang Kuasa, Allah, bukan dalam kendali kita. Pertemuan segera disudahi, untuk selanjutnya menanti kesempatan lain agar bisa berbincang lebih lama.
Dari berbagai obrolan kali ini, salah satu hal yang benar-benar perlu ditindaklanjut adalah menulis buku bersama. Bagaimana pun, saya dan Mas Imam sama-sama menggeluti dunia kepenulisan. Walau belum terkenal sebagai penulis ternama seperti kebanyakan orang di luar sana, namun apa yang kami tulis dan sebarkan selama ini bisa menjadi saksi bahwa semangat dan motivasi menulis adalah energi yang terus menggelora dalam diri saya dan dirinya. Dengan demikian, menulis buku keroyokan sepertinya bisa direncanakan hingga kelak menjadi kenyataan. Bagaimana sahabat baik saya: Mas Imam Nawawi? Semoga menjadi kenyataan, berkah dan bermanfaat ya pertemuan juga bukunya nanti. Allahumma aamiin! (*)