Oleh: Iwan Wahyudi
Kontibutor Buku “Pemuda Negarawan”
BUKU adalah jendela dunia. Sebuah kalimat yang tak bisa dipungkiri menguatkan peran dan fungsi strategis buku sebagai salah satu pintu pengetahuan bagi seseorang dan energi pembentuk peradaban sebuah bangsa. Para kaum cerdik pandai yang memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia juga menjadikan buku dalam konteks ini membaca dan menulis sebagai alat perjuangan. Dan seharusnya pula buku yang telah melahirkan para pahlawan pendiri bangsa, juga menjadi energi yang ke depan menjaga lentera pewaris kepahlawan bangsa ini.
Kepahlawan mereka yang memperjuangkan, merebut dan mempertahankan kemerdekaan tidak lahir begitu saja, sekalipun mereka memiliki genetik kepahlawanan itu dari orang tuanya. Seperti kata pepatah “Tak mungkin memberi, bila tak memiliki apapun”. Kesadaran yang kemudian menjadi laku perjuangan didapat dari pengalaman yang dirasakan atau membaca dari buku terkait hal tersebut.
Presiden pertama RI Soekarno memiliki 12 peti buku yang menemani ketika diasingkan ke Bengkulu. Saat diasingkan ke Banda Neira dan Boven Digoel, 16 peti buku ikut dibawa oleh wakil presiden pertama RI Mohammad Hatta. RA Kartini walaupun dipingit, waktu luangnya banyak diisi dengan melahap buku-buku yang dikirim oleh kakaknya Raden Mas Panji Sosrokartono. Hal yang sama juga hampir dilakukan oleh para pahlawan negeri ini.
Dari hasil membaca beragam buku, selain diimplementasikan dalam bentuk perjuangan fisik, para pahlawan melebarkan dan menyebarkan spirit perjuangan dan gagasannya melalui tulisan. Mereka tak sedikit yang langsung membuat surat kabar selain menuliskan dalam bentuk buku. Mereka sadar bahwa jika dengan bertutur hanya segelintir orang yang dapat mendengar dan tergerak. Sebagaimana ungkapan Sayyid Quthb, “Satu peluru hanya menembus satu kepala, tapi satu buku dapat menembus jutaan kepala.”
Pada tahun 1925, Tan Malaka menulis gagasan pertama konsep republik lewat bukunya “Naar de Republiek Indonesia” yang kemudian menjadi bacaan para tokoh pergerakan nasional. Mohammad Hatta dalam pidato pembelaannya pada 9 Maret 1928 selama tiga setengah jam yang terkenal dengan Indonesie Vrij atau Indonesia Merdeka, menguliti praktik eksploitasi yang dilakukan rezim kolonial di Hindia Belanda. Ini belum termasuk 42 buah buku yang pernah ditulisnya hingga tahun 1974.
Soekarno pada tahun 1930 membacakan pembelaannya pada persidangan di Landraad Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat” tak kurang ada sekitar 66 nama tokoh yang dikutip menjadi rujukannya. Diantara karya fenomenal lain yang ditulisnya dua jilid buku “Dibawah Bendera Revolusi” setebal 630 halaman.
Selain kumpulan surat-surat pada sahabatnya Abendanon (1879-1904) yang dibukukan dengan judul “Door Duisternis tot LichtDoor Duisternis (Habis Gelap Terbitlah Terang)”, RA Kartini pada usia 16 tahun menulis dijurnal Belanda dengan terkait upacara perkawinan suku Koja di Jepara dengan judul, “Het Huwelijk de Kodja’s”.
Buku Pokok-Pokok Gerilya (Fundamentals of Guerrilla Warfare) karya Jenderal Besar A.H. Nasution penjadi salah satu penduan pendidikan militer di sekolah militer Amerika Serikat, Turki bahkan Eropa. Ada pula pahlawan bernama Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) yang selama dipenjara menulis tafsir Al-Qur’an Al-Azhar selain 84 judul buku buah pena selama hidupnya.
Para pahlawan juga mereka yang perjuangan dan keteladanannya menarik dan mendorong orang lain menuliskan hal tersebut. Pangeran Diponegoro pemimpin perang Jawa 1825-1830 yang sedikit banyak membuat Belanda bangkrut, setidaknya hampir sepuluh orang menuliskan heroisme seputar pertempuran babad Diponegoro dalam versinya masing-masing. Ada Babad Diponegoro Manado yang ditulis saat dibuang di Manado, Babad Diponegoro Suryo Ngalam, Babad Diponegoro Pakualaman, Babad Diponegoro Keraton Yogyakarta, Babad Diponegoro Kedung Kebo ditulis lawannya Cokronegoro, Babad Diponegoro versi Basah Gondo Kusumo 8 Jilid ditulis panglimannya, Babad Diponegoro Libasyah Abdul Majid ditulis Putra Diponegoro, Babad Diponegoro ditulis Istrinya dan Babad Diponegoro ditulis Ibunya.
Disadari atau tidak sesungguhnya Republik ini diperjuangkan, didirikan dan dipertahankan kemerdekaannya oleh para pahlawan yang mencintai buku. Tapi kenyataan hari ini ketersediaan buku sangat rendah sekali, 1 buku diantri oleh 90 orang. Padahal sesuai dengan standard UNESCO rasio ketersediaan bahan bacaan dibanding jumlah penduduk minimal 1:2, atau dua buku untuk satu penduduk.
Ketika masa lalu Indonesia gemilang dengan para pahlawan yang tidak hanya menjadi mata air keteladanan bagi bangsa sendiri tapi juga menggetarkan penjajah serta menjadi rujukan bangsa-bangsa lain di dunia. Maka harus ada hal yang sama dilakukan generasi saat ini untuk kejayaan sekarang dan masa yang akan datang. Salah satunya dimulai dengan buku. Perlakuan terhadap buku setidaknya, Pertama, Penciptakan ekosistem masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan minat baca. Kedua, Penguatan iklim penerbitan sehingga buku yang ada baik secara kualitas dan tersedia secara kuantitas. Ketiga, Dukungan pemerintah baik secara moril maupun materil bukan hanya retorika dengan slogan “Daerah Literasi”. Dan keempat, menjadikan buku sebagai pintu melahirkan para pahlawan dalam beragam peran dan kisah keteladanan.
Pahlawan itu mereka yang ditulis dalam buku, menulis buku, membaca buku dan membagi buku. (*)