Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Selamat Datang di Manggarai Barat”
SEJAK 2016 lalu saya sudah sering menghadiri berbagai forum diskusi yang berkaitan dengan desa. Baik yang menyangkut regulasi dan pemerintahan desa maupun yang menyangkut dana desa dan peruntukannya. Bahkan saya aktif menulis artikel untuk berbagai media massa dan media online seputar pemerintahan desa dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti dana desa, pembangunan desa, prioritas program, desa wisata, desa budaya, desa percontohan dan sebagainya.
Belakangan, tepatnya beberapa hari lalu, saya mendapatkan beberapa foto kondisi jalan di Manggarai Barat, NTT. Lalu, saya juga mendapatkan foto kondisi beberapa jalan desa di sebuah kabupaten di NTB dan Jawa Tengah juga Jawa Barat. Sebetulnya informasi semacam ini sudah saya peroleh sejak lama dari berbagai desa lainnya di beberapa propinsi. Mengomentari hal semacam itu, saya pun menulis komentar pendek di status facebook saya, “Dana desa begitu besar, tapi kondisi jalan desa engga berubah sejak zaman Belanda hingga saat ini. BumDes juga engga ada. Dana Desa benar-benar nihil manfaat. Di sini pasti ada korupsi!”.
Komentar tersebut sengaja saya sampaikan secara terbuka, sebab salah satu musuh sekaligus penghambat pembangunan desa adalah korupsi. Setahu saya, beberapa kepala desa di Manggarai Barat, NTB dan Jawa Tengah sudah dipenjara karena tersangkut kasus korupsi dana desa. Begitu juga di Jawa Barat, tak sedikit yang mendekam di penjara karena terlibat korupsi dana desa. Biangnya sederhana yaitu tak ada program yang membutuhkan biaya besar tapi laporan keuangan selalu besar bahkan ada yang tidak sesuai kenyataan. Bahkan dana desa dikorupsi oleh oknum kepala desa dan perangkatnya.
Para warga pun melakukan berbagai upaya, dari protes secara terbuka hingga membuat laporan resmi kepada penegak hukum, atau sekadar mengirimkan surat kaleng sebagai informasi awal adanya dugaan pelanggaran hukum atau tindak pidana korupsi yang terjadi di desanya masing-masing. Mereka memiliki alat bukti yang cukup, terutama laporan keuangan yang berbeda dengan kenyataannya. Lalu, warga juga meminta laporan pengeluaran keuangan pemerintahan desa secara terbuka atau terpampang di desa, sehingga bisa diakses oleh warga desa. Namun pemerintah desa tidak melakukannya.
Berbicara korupsi dana desa sebetulnya tidak pelik. Kita bisa menelisik indikator oknum pemerintah desa itu tersangkut dugaan korupsi atau tidak, cukup dengan mengetahui dan memahami indikasinya. Seperti (1) laporan keuangan desa yang tertutup atau tidak dipublikasi kepada warga, (2) tidak adanya perubahan atau perbaikan sarana publik, (3) tidak adanya BumDes. Bila pun ada namun tidak terkelola dengan baik, (4) tidak adanya laporan keuangan secara berkala atau bulanan secara terbuka pada warga. Dan (5) tidak ada program desa yang dirasakan warga, namun laporan keuangan selalu ada bahkan menghabiskan anggaran begitu besar.
Secara umum kasus korupsi yang terjadi di hampir semua desa disebabkan karena kritik warga yang tak digubris, atau warga yang tak mau tahu dengan penggunaan dana desa di desanya. Hal lain, oknum pemerintah desa yang bermain mata untuk memanfaatkan ketidaktahuan warga pada dana desa untuk kepentingan pribadi dan kolega. Di samping itu, adanya kongkalikong antar oknum dalam pemerintah desa dalam menyalahgunakan dana desa. Belakangan ketahuan ketika ada yang mengintip dari dekat, sehingga semua terlacak dan terbaca. Hal ini terjadi hampir di semua desa yang kepala desa dan aparatusnya tersangkut kasus korupsi.
Saya tidak begitu tahu kondisi pembangunan dan dana desa di berbagai desa di Manggarai Barat. Secara khusus saya juga tidak begitu mengetahui realitas pembangunan dan dana desa di desa Golo Sengang selama beberapa tahun belakangan ini. Seingat saya, dana desa yang dialokasikan dari pusat yang bersumber dari APBN dari tahun ke tahun cukup besar. Alokasinya tentu saja untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat desa. Hal ini didasarkan pada UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN.
Tapi bila kondisi desa begitu-begitu saja, perlu ada suara nyaring yang berbicara. Bukan untuk mencari kesalahan mereka yang menjabat tapi untuk memastikan dana desa benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan dan kemajuan desa. Sehingga tak ada lagi warga yang bertanya: dana desa untuk siapa dan apa? Warga desa perlu meningkatkan jenjang kewargaan dan daya kritiknya. Pemerintah desa juga mesti mendengar kritik warga dan lebih transparan, sehingga dana desa yang dialokasikan dari APBN yang bersumber dari pajak rakyat tepat guna sesuai yang digariskan peraturan perundang-undangan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan pemerintah desa dan dana desa, serta tidak dikorupsi oleh mereka yang bermental korup dan serakah. (*)