Oleh: Ustadz Abdul Azis Faradhi, Lc.
Pengajar di Madrasah Qur’an Pondok Pesantren Nurul Hakim, NTB
Selepas shalat Jum’at berjamaah (6/12/2024), Tuan Guru Bajang H. Muhammad Nawawi Hakim, Lc., M.A. memberikan nasihat kepada para santri di Masjid Zakaria Salamah, di Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri, Lombok Barat, NTB, seperti biasanya.
Pada kesempatan ini, beliau menyinggung tentang pentingnya tafakkur (memikirkan tanda dan hikmah kebesaran Allah) sebagai bentuk implementasi dari perintah Allah di banyak ayat dalam Al-Qur’an.
Beliau mengutip ucapan Sufyan Ibn ‘Uyainah tentang manfaat sekaligus urgensinya bertafakkur yaitu sebagai bentuk upaya menggali pelajaran tersirat dari segala hal yang terjadi.
“إذا المرء كانت له فكرة ففي كل شيء له عبرة”
“Jika seseorang berfikir, maka dalam segala hal yang terjadi ia akan mendapat pelajaran.”
Selanjutnya, beliau menegaskan bahwa tafakkur itu tidak terbatas objeknya. Bahkan dalam Al-Qur’an seorang mu’min diperintahkan untuk berrafakkur tentang sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan seperti pernikahan, dan sesuatu yang secara naluriah mendatangkan kesedihan seperti kematian.
Beliau mengutip ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk bertafakkur tentang pernikahan :
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
“Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir”. (QS. ar-Ruum: 21)
Kemudian beliau mengutip ayat perintah tafakkur tentang kematian :
الله يتوفى الأنفس حين موتها والتي لم تمت في منامها فيمسك التي قضى عليها الموت ويرسل الأخرى إلى أجل مسمى إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
“Allah memegang nyawa seseorang saat kematiannya dan ketika dia tidur. Allah menahan nyawa orang yang telah ditentukan kematiannya, dan melepaskan nyawa orang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh pada yang demikian terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. az-Zumar: 42)
Tak sampai di situ, beliau melempar pertanyaan sederhana kepada para santri untuk dijawab sebagai bentuk evaluasi beliau tentang konsep tafakkur yang telah dijelaskan. Beliau bertanya: “Ketika hujan, siapa yang diuntungkan?” Para santri menjawab : “Tukang Bakso, Warung Kopi!”. Bahkan ada yang menyeletuk, “Yang sudah nikaah!” Tawa kecil pun pecah.
Beliau bertanya lagi: “Lalu yang dirugikan siapa?” Para santri menjawab beragam: “Jualan es, petani tembakau, petani semangka!”
Sungguh, melihat apa dan bagaimana beliau menyampaikan tema ini dengan cara yang sederhana juga adalah bentuk tafakkur beliau dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
Yang pada akhirnya, beliau menjelaskan bahwa bertafakkur itu harus ditumbuhkan dalam diri seorang mukmin, sebagai bentuk usaha untuk menambah rasa sabar dan syukur serta husnuzzon (berbaik sangka) seorang mukmin atas kebesaran dan hikmah Allah Sang Maha Bijaksana. (*)